21 April 2022

Tambang Laut Dalam: Waktunya Indonesia Terlibat Perundingan di Luar Yurisdiksi

Produksi besar-besaran kendaraan listrik akan menciptakan permintaan mineral dasar laut yang lebih masif dari sebelumnya. Bagaimanapun, keberlanjutan ekosistem laut Indonesia harus terus terjaga. Indonesia mesti berperan dalam diskusi di luar yurisdiksi.
___

Sejak 1995, “Indonesia berangsur-angsur menghilang dari kursi kepemimpinan organisasi internasional dan perkembangan hukum internasional, termasuk yang terkait tambang laut dalam (deep seabed mining).”

Demikian tulis Damos Dumoli Agusman dalam hasil kajian “The Dynamic Development on Indonesia’s Attitude Toward International Law” pada 2015. Fenomena ini, lebih lanjut ia menulis, “disebabkan reformasi 1998 yang membuat pemerintah berfokus pada masalah domestik ketimbang internasional.”

Dalam Rencana Strategis Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) Tahun 2020 – 2024, pemerintah menetapkan penguatan pembangunan smelter sebagai salah satu prioritasnya. Alih-alih memanfaatkan smelter yang tersedia maupun eksplorasi di landas kontinen, pemerintah memilih untuk membangun yang baru.

Pada saat yang sama, dunia tengah menghadapi peningkatan permintaan akan kendaraan listrik. Sumber kelistrikan sebetulnya dapat diupayakan melalui eksplorasi tambang laut dalam ketimbang pembangkit listrik bertenaga batu bara.

Dalam webinar “Eksplorasi Mineral Laut Dalam di Indonesia: Potensi, Tantangan, Kebijakan dan Teknologi”, Peneliti Madya Badan Penelitian dan Pengembangan KESDM, Hananto Kurnio mengatakan “pemerintah akan kehilangan momentum jika lamban merespons kesempatan ekonomi ini.”

Argumen pendukung gagasan penambangan dasar laut dalam yang dikemukakan oleh beberapa pembicara adalah: pentingnya menemukan cadangan mineral baru bagi generasi mendatang di tengah-tengah deposit yang terus menurun.

Tambang laut dalam merupakan aktivitas ekstraksi mineral yang relatif baru diperkenalkan di dunia. Dilakukan di lantai samudra, lokasi penambangan ini lumrahnya pada kedalaman 1.400–3.700 meter di bawah permukaan laut.

Moch. Faisal Karim dan Willy Dwira Yudha dalam kajian “Poliheuristic Theory and Indonesia’s Absence in Deep-Sea Mining” menulis, Indonesia absen dalam perundingan mengenai penambangan mineral laut dalam di teritorial maupun di luar yurisdiksi nasional.

Keduanya berpendapat ketidakhadiran tersebut didasari keputusan sadar yang dibuat oleh elite pemerintah guna menghindari biaya politik yang berlebihan, penurunan dukungan publik dan penurunan kepercayaan terhadap Presiden Joko Widodo.

Lebih lanjut mereka menulis, pemerintah Indonesia secara sadar menghindari pengerjaan proyek penambangan dasar laut dalam. Sebabnya, satu proyek membutuhkan setidaknya Rp175 triliun (setara dengan USD12,1 miliar).

Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) menilai pemerintah perlu terlibat dalam penyusunan instrumen tambang laut dalam di luar kerangka yurisdiksi nasional. Selain untuk memperjuangkan kepentingan nasional, keterlibatan juga bermanfaat untuk menunjukkan kepemimpinan Indonesia di dalam forum hukum laut internasional.