2 February 2024

Ahli Hukum Lingkungan: Pulau-Pulau Kecil Perlu Dilindungi dari Aktivitas Pertambangan

Chief Executive Officer IOJI, Mas Achmad Santosa memaparkan pandangan terkait pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Mahkamah Konstitusi , 1 Februari 2024. (Foto: Dokumentasi Humas Mahkamah Konstitusi)

Sidang Perkara Uji Materi (Judicial Review) Undang-Undang Nomor 27 tahun 2007 jo No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (UU PWP3K) yang terdaftar dalam perkara Nomor: 35/PUU-XXI/2023 terus bergulir di Mahkamah Konstitusi (MK).

Pada persidangan Kamis (1/2/2024), Pihak Terkait atas nama masyarakat Wawonii yang diwakili oleh Idris, dkk mengajukan Ahli Hukum Lingkungan dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia, yang juga Chief Executive Officer IOJI, Dr. Mas Achmad Santosa, S.H., LL.M.

Dalam paparan, Mas Achmad Santosa menjabarkan sejumlah kajian terkait sejarah dan perkembangan konsep pembangunan berkelanjutan dan hukum lingkungan. Paparan terutama terkait konsep pembangunan berkelanjutan beraliran kuat (strong sustainability) dan kegiatan penambangan di pulau-pulau kecil sebagai kegiatan yang berpotensi menimbulkan ancaman serius (potentially abnormally dangerous activities).

Lebih lanjut, Mas Achmad Santosa memaparkan bahwa Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 yang mengatur prinsip keberlanjutan dan berwawasan lingkungan harus dimaknai sebagai prinsip keberlanjutan yang kuat (strong sustainability). Prinsip keberlanjutan yang kuat ini menghendaki bahwa beberapa modal alam dan ekosistem tertentu memiliki fungsi yang tidak bisa disubstitusi dan digantikan, sehingga perlu ditetapkan sebagai Critical Natural Capital (CNC).

Berbagai studi menunjukkan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil memiliki fungsi yang sangat penting secara ekologis, sosial-ekonomi dan kultural. Di sisi lain, wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil memiliki risiko lingkungan yang tinggi, dan sangat rentan terhadap pencemaran dan kerusakan akibat bencana alam atau perubahan lingkungan secara alami maupun non-alam. Sehingga sudah sepatutnya, wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil ditetapkan sebagai CNC, sehingga tidak diperuntukkan untuk pertambangan.

Terhadap pasal yang diuji oleh Pemohon, Mas Achmad Santosa berpandangan bahwa Pasal 23 ayat (2) UU PWP3K tidak memberikan ruang bagi kegiatan pertambangan di Pulau-Pulau Kecil, dan itu sejalan dengan asas keberlanjutan sebagaimana diatur dengan jelas dalam Pasal 3 UU PWP3K yang di dalamnya menganut prinsip kehati-hatian (precautionary principle), serta sejalan dengan tujuan UU PWP3K itu sendiri yakni melindungi, mengonservasi, merehabilitasi, memanfaatkan dan memperkaya sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil sebagaimana diatur dalam Pasal 4 huruf a UU PWP3K.

Mas Achmad Santosa juga menyatakan meski Pasal 23 ayat (2) ini menggunakan kata “prioritas”, tidak berarti serta merta kegiatan tambang diizinkan karena semangat yang melandasinya adalah pembangunan berkelanjutan yang beraliran kuat (strong sustainability). Oleh karenanya, aspek perlindungan ekosistem harus dijaga, sehingga Pasal 23 ayat (2) harus dimaknai bahwa pulau-pulau kecil itu tidak boleh ditambang.

Mengenai Pasal 35 huruf k UU PWP3K yang juga diuji, Mas Achmad Santosa menegaskan bahwa Pasal 35 huruf k tersebut memberi ruang adanya kegiatan pertambangan karena mengadung larangan bersyarat. Oleh karena itu agar sejalan dengan Pasal 28H, Pasal 33 ayat (4) UUD 1945, Pasal 3 dan Pasal 4 UU PWP3K, UU Lingkungan Hidup, maka Pasal 35 huruf k harus dimaknai bahwa pengelolaan Pulau-Pulau Kecil tidak diperbolehkan untuk kegiatan pertambangan.