31 August 2023

Diskusi Kolektif Antarpihak untuk Memperkuat Pelindungan AKP Migran di ASEAN

COO IOJI, Fadilla Octaviani menjadi salah satu pemantik diskusi yang diadakan oleh Human Rights Working Group (HRWG) and Better Engagement Between East & Southeast Asia (BEBESEA). Diskusi terselenggara di Jakarta pada 30-31 Agustus 2023.

 

Pekerja migran perikanan di kawasan ASEAN menghadapi berbagai pelanggaran ketenagakerjaan dan hak asasi manusia (HAM).

Pelanggaran-pelanggaran ini ditemukan di sepanjang tahapan migrasi, umumnya jam kerja yang berlebihan, gaji yang tidak dibayar, kekerasan fisik, serta kondisi kerja yang buruk. Bahkan, terdapat banyak kasus dimana pekerja migran perikanan terbukti mengalami kerja paksa dan perdagangan manusia.

Migrasi pekerja migran perikanan tidak hanya terjadi ke luar kawasan ASEAN, namun juga dalam kawasan (intra-regional). Indonesia, Filipina, Kamboja, Laos, dan Myanmar mengirimkan banyak pekerja perikanan (sending countries)

Sedangkan, Thailand dan Malaysia merupakan negara tujuan bagi pekerja migran perikanan (destination countries).

Pemimpin ASEAN mengadopsi Deklarasi ASEAN tentang Penempatan dan Perlindungan Nelayan Migran pada KTT ASEAN ke-42 yang diadakan di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur, Indonesia pada Mei silam. Deklarasi ini merupakan langkah awal bagi ASEAN untuk meningkatkan kerja sama antara negara anggota ASEAN tentang pelindungan Awak Kapal Perikanan (AKP) migran asal ASEAN.

Pascadeklarasi, negara-negara anggota ASEAN dimandatkan untuk mengembangkan pedoman bersama yang akan memandu negara-negara anggota dalam melaksanakan Deklarasi ini dan menjadikannya sebagai tindakan bersama pada tingkat nasional dan regional. 

Memanfaatkan momentum ini, IOJI diundang sebagai salah satu narasumber pada diskusi yang diselenggarakan oleh Human Rights Working Group (HRWG) dan Better Engagement Between East & Southeast Asia (BEBESEA) bersama dengan berbagai praktisi masyarakat sipil dan akademisi yang berasal dari negara-negara ASEAN dan Asia Timur.

Diskusi diadakan di jakarta pada 30-31 Agustus untuk menggali informasi dan ide dalam pengembangan bersama mengenai rekomendasi masyarakat sipil untuk pengembangan dan pelaksanaan dari pedoman bersama terkait penempatan dan pelindungan pekerja migran perikanan.

 

Penempatan dan Pelindungan AKP Migran: Isu dan Peluang Kunci

Chief Operating Officer sekaligus Team Leader untuk program Access to Justice Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI), Fadilla Octaviani menjadi salah satu pemantik diskusi. 

“Meskipun terdapat beberapa angka yang tersedia, kepastian jumlah yang dapat diandalkan dari awak kapal perikanan (AKP) migran Indonesia tidak diketahui. Seringkali keberadaan mereka baru diketahui ketika ada pengaduan,” kata Fadilla dalam presentasinya.

Ketidakpastian jumlah AKP migran asal Indonesia yang disebutkannya mengacu pada beberapa data resmi pemerintah dalam beberapa tahun terakhir. 

Nelayan kecil di Bitung, Sulawesi Utara. (Dok. IOJI)

Kementerian Koordinator Bidang Maritim dan Investasi, misalnya, pada 2021 mencatat 1,2 juta warga negara Indonesia (WNI) bekerja di atas kapal niaga dan perikanan. Sebelumnya pada 2016, Kementerian Luar Negeri mencatat lebih dari 200.000 bekerja di atas dua jenis kapal tersebut sepanjang 2013-2015. 

Sementara itu, Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) mencatat sebanyak 30.864 WNI bekerja di atas kapal niaga dan perikanan pada 2011-2019. BP2MI menerima 451 aduan dari AKP migran Indonesia sepanjang 2018-2020. Dari jumlah tersebut, sebanyak 30% merupakan aduan dari AKP migran yang bekerja di atas kapal perikanan Taiwan. 

UNCLOS merupakan aturan yang mengampu perlindungan hak asasi manusia di laut. Namun, sebagai konstitusi laut, UNCLOS tidak melindungi HAM di laut secara komprehensif. 

Ada sejumlah elemen dalam UNCLOS yang dapat diterima dengan hak asasi manusia, yang di dalamnya tersirat prinsip-prinsip HAM, yaitu hak untuk hidup (right to life). Misalnya kewajiban menyelamatkan orang yang dalam keadaan kesusahan, larangan bagi negara pantai untuk menerapkan pidana penjara atau bentuk hukuman fisik lainnya sebagai hukuman atas pelanggaran penangkapan ikan serta tanggung jawab negara bendera untuk menjamin kondisi tenaga kerja memenuhi standar keselamatan internasional. Namun, elemen-elemen dalam UNCLOS ini tidak mampu memberikan pelindungan HAM yang komprehensif bagi AKP migran.

 

Berlomba Menerapkan Standar Terendah Ketenagakerjaan

Dalam penguatan pelindungan bagi awak kapal perikanan migran, pelaksanaan tanggung jawab negara bendera diharuskan untuk mematuhi peraturan, prosedur, dan praktik internasional yang diterima secara umum (generally accepted international rules) dan mengambil langkah apa pun yang mungkin diperlukan untuk menjamin ketaatannya.

Instrumen internasional yang relevan dengan perlindungan nelayan migran Indonesia, misalnya Konvensi Pekerja Migran, Konvensi ILO C188 Pekerjaan di Bidang Penangkapan Ikan, Perjanjian Cape Town 2012, serta Konvensi Internasional tentang Standar Pelatihan, Sertifikasi, dan Pengawasan Personil Kapal Penangkap Ikan belum secara luas diratifikasi oleh negara-negara di dunia.

Akibatnya, standar dan aturan dalam instrumen tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai generally accepted international rules, yang harus dijadikan acuan oleh negara-negara.

Dengan demikian, skenario terendah dalam standar ketenagakerjaan dapat diterapkan oleh negara-negara bendera untuk menarik pendaftaran kapal di negaranya masing-masing. Lebih jauh lagi, hal ini diperburuk oleh praktik bendera kemudahan (flag of convenience) yang tidak menerapkan upaya signifikan untuk memastikan kepatuhan terhadap standar ketenagakerjaan yang minimal sekalipun.

 

Tumpang-tindih Kewenangan dan Kelembagaan di Indonesia

Pendekatan multi-lembaga belum dilaksanakan secara efektif, sehingga menyebabkan tumpang tindih kewenangan dan program yang tidak sinkron. Kurangnya koordinasi antar instansi juga menjadi penyebabnya.

Banyaknya penempatan yang tidak prosedural dan belum adanya data terpadu mengenai migran nelayan Indonesia. Pelayanan Terpadu Satu Pintu (LTSA) di berbagai daerah belum memberikan pelayanan penempatan dan perlindungan terpadu bagi Pekerja Migran Indonesia.

Relasi kekuasaan yang timpang dimulai dari awal tahap rekrutmen: penyimpanan dokumen pribadi, pengenaan biaya ilegal, penandatanganan kontrak secara paksa, dan pemotongan gaji. 

Ketidaktersediaan informasi mengenai penempatan di atas kapal menyebabkan kurangnya pemahaman pekerja terhadap hak-hak dasar yang dimiliki.

 

Peluang Penguatan Kebijakan

Nelayan kecil di Bitung, Sulawesi Utara. (Dok. IOJI)

IOJI mengidentifikasi beberapa peluang penguatan kebijakan pada tingkat global, regional, maupun nasional yang dapat meningkatkan pelindungan bagi AKP migran. 

Beberapa peluang pada tingkat global, termasuk (1) mempromosikan ratifikasi yang luas terhadap instrumen-instrumen internasional, sehingga memungkinkan tanggung jawab negara bendera secara efektif, (2) melakukan kerja sama internasional antar negara pengirim, tujuan negara, negara bendera, negara pelabuhan, dan negara pantai dalam mencegah dan menanggulangi pelanggaran ketenagakerjaan, termasuk bekerja sama dengan INTERPOL dan ILO dan (3) penggunaan right to visit (Pasal 110 UNCLOS) oleh kapal perang sebagai salah satu mekanisme untuk melakukan pemeriksaan terhadap kapal di laut lepas yang diduga tidak hanya terlibat dalam perdagangan manusia (slavery), melainkan juga melakukan pelanggaran HAM maupun kerja paksa terhadap AKP migran.

Sementara pada tingkat regional, peluangnya dapat berupa, salah satunya, memastikan hak akses terhadap komunikasi yang cukup di atas kapal, dicantumkan pada setiap perjanjian kerja laut, collective bargaining agreement, maupun perjanjian kerja sama bilateral antar negara ASEAN ataupun antara negara di ASEAN dan negara penempatan AKP migran di luar ASEAN.

Pada tingkat nasional, Indonesia perlu melakukan perbaikan dan kemajuan pada tata kelola penempatan dan perlindungan AKP migran, termasuk (1) menyelesaikan dualisme sistem penempatan AKP migran antara Kementerian Ketenagakerjaan dan Kementerian Perhubungan, serta mengefektifkan masa transisi selama 2 tahun untuk mendorong perusahaan menyesuaikan izinnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, (2) menyelesaikan Peraturan Presiden yang mengatur tugas dan wewenang Atase Ketenagakerjaan sebagaimana diamanatkan Undang-undang dan (3) mengembangkan mekanisme pengawasan kepatuhan yang efektif terhadap perusahaan penempatan serta standar pemantauan dan pengawasan pekerja migran selama bekerja di luar negeri.