Fakultas Hukum Universitas Diponegoro menyelenggarakan seminar internasional tentang batas maritim di Semarang, Jawa Tengah pada 29 Agustus 2023. Seminar ini bertajuk “International Seminar on Maritime Delimitation: Recent Development and Relevant Factors”.
Dalam pembukaan seminar, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, yang diwakili oleh Kepala Bidang Perikanan Tangkap pada Dinas Kelautan dan Perikanan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah, menyampaikan bahwa delimitasi maritim menjadi tonggak atau simbol dimulainya kedaulatan suatu negara akan kewenangan eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut serta penegakan keamanan dan kedaulatan negara. Sehingga, proses penentuan delimitasi ini sangat penting.
Keamanan Maritim dan Delimitasi Maritim
Seminar terdiri atas dua sesi. Dua co-founder IOJI berbicara di kedua sesi tersebut yaitu Mas Achmad Santosa pada sesi pertama dan Arif Havas Oegroseno pada sesi kedua. Turut hadir pada seminar ini Fadilla Octaviani (Co-founder dan Chief Operating Officer IOJI) dan Andreas Aditya Salim (Co-founder dan Senior Advisor Program Maritime Security IOJI).
Pada seminar ini, IOJI memaparkan hubungan antara batas maritim dan keamanan laut disertai juga dengan penjelasan mengenai beberapa emerging issues di bidang keamanan laut berkaitan dengan batas maritim misalnya IUU fishing dan juga yang bersifat transboundary (lintas batas negara) misalnya oil pollution dan pelanggaran HAM di atas kapal.
Mengenai keamanan laut, sampai saat ini belum ada definisi universal yang mengikat mengenai keamanan laut. Setiap negara dapat memiliki definisi keamanan maritim-nya masing-masing. Meskipun demikian, Christian Bueger dalam “What is Maritime Security?” menjelaskan ruang lingkup keamanan maritim yaitu lingkungan hidup (marine environment), pembangunan ekonomi (economic development), keamanan nasional (national security) dan keamanan manusia (human security).
Berbeda dengan Bueger, Lutz Feldt, Dr. Peter Roell, Ralph D. Thiele (2013) menyebutkan keamanan maritim merupakan “kombinasi langkah-langkah preventif dan responsif terhadap ancaman dan praktik pelanggaran hukum yang disengaja.”
Mengenai delimitasi maritim, secara sederhana delimitasi maritim dapat diartikan sebagai proses untuk menetapkan garis batas maritim sesuai dengan ketentuan konvensi PBB tentang hukum laut. Hal ini penting untuk dilakukan terutama bagi negara yang berdekatan karena keberadaan batas maritim akan memberikan kejelasan mengenai hak dan tanggungjawab negara dalam satu atau lebih zona maritim.
Sebagai contoh, Pasal 15 Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut tahun 1982 (UNCLOS 1982) menyatakan bahwa “Negara yang letaknya berhadap-hadapan atau yang berdampingan tidak berhak untuk menetapkan batas laut teritorialnya melampaui garis tengah yang diukur dari garis sama jarak dari garis pangkal terdekat.”
IOJI menekankan bahwa kedaulatan dan keamanan negara is beyond batas maritim. Keberadaan batas maritim tidak berarti laut aman. Ketiadaan batas maritim, apalagi, membuat permasalahan semakin rumit.
Selama proses perundingan berjalan, negara yang berunding hanya boleh melaksanakan kegiatan yang tidak menimbulkan perubahan kondisi fisik area yang dirundingkan. Hal ini adalah bentuk perwujudan prinsip “good faith”, “spirit of understanding and cooperation”, dan “not to jeopardize the reaching of the final agreement” sebagaimana diatur oleh Pasal 300 dan Pasal 73 ayat (4) UNCLOS.
Realita implementasi ketiga prinsip tersebut di atas sampai saat ini masih jauh dari ideal. Negara-negara diharapkan lebih aktif dalam mendayagunakan mekanisme penyelesaian sengketa (conciliation, arbitration, dan ITLOS atau ICJ) untuk memastikan penegakan prinsip-prinsip ini.
Isu yang mengemuka: (1) Pelindungan HAM di Laut, Tantangan dan Kompleksitas Yurisdiksi
Pada tingkat global, lebih dari 30 juta orang di laut diprediksi menjadi korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Dari jumlah tersebut, sebanyak 27 juta orang di antaranya merupakan awak kapal perikanan migran (AKP migran).
Pelanggaran HAM terhadap AKP migran terjadi pada setiap tahap migrasi: sebelum, saat dan setelah bekerja.
Sebelum bekerja, dokumen pribadi mereka kerap ditahan perusahaan perekrut. Perjanjian kerja ditandatangani hanya beberapa hari sebelum keberangkatan, meniadakan kesempatan bagi AKP migran untuk memahami hak-hak yang dimilikinya.
Di laut, mereka harus bekerja hingga 18-22 jam per hari. Terisolasi selama berbulan-bulan jauh dari daratan, mereka harus hidup dan bekerja dengan tempat tidur, alat keselamatan dan sanitasi yang tak layak.
Seusai bekerja, banyak ABK migran dikenakan pemotongan pengurusan administrasi dan pemotongan lain sebelum sampai setelah bekerja, tidak diungkapkan sejak awal mengenai jumlah, rincian, dan tujuannya.
“Sebagai Constitution of the ocean, UNCLOS tidak mengatur secara komprehensif pengaturan pelindungan hak asasi manusia (HAM) secara komprehensif, meskipun beberapa Pasal relevan dengan HAM, yaitu Pasal 73, 94, 98, 99 dan 292.” kata Chief Executive Officer IOJI, Mas Achmad Santosa.
Pasal 94 UNCLOS mengatur tentang tanggung jawab negara kapal untuk exercise jurisdiction and control atas, salah satunya, social matters of the ship, dan mengambil langkah yang diperlukan untuk memastikan kondisi pengawakan dan perburuhan sesuai dengan standar internasional keselamatan di laut.
Namun, konvensi internasional terkait perburuhan seperti Konvensi Pekerja Migran, Konvensi ILO C188, Konvensi Cape Town, maupun STCW-f belum banyak diratifikasi oleh negara-negara sehingga tidak dapat dikatakan sebagai generally accepted international regulations. Konsekuensinya, implementasi pertanggungjawaban negara dalam hal ini masih jauh dari harapan, apalagi masih banyak praktik Flag of Convenience oleh negara-negara di dunia.
Upaya mewujudkan pelindungan AKP migran asal Indonesia masih memiliki tantangan. Beberapa sebabnya, antara lain (i) masih lemahnya tata kelola pelindungan ABK migran sejak tahap perekrutan hingga penempatan, (ii) karakteristik sektor perikanan yang bersifat lintas negara dan melibatkan yurisdiksi berbagai negara, (iii) rendahnya tingkat ratifikasi konvensi-konvensi terkait pelindungan pekerja migran.
Isu mengemuka: (2) Operasi Kapal Ikan Vietnam di Laut Natuna Utara
Pada Desember 2022, Indonesia-Vietnam menyepakati batas ZEE. Namun sampai sekarang belum ada publikasi titik-titik batas ZEE Indonesia-Vietnam dalam peta resmi.
Berdasarkan pemantauan AIS dan citra satelit, kapal ikan Vietnam yang mayoritas menggunakan alat tangkap pair trawl, sering beroperasi di area tumpang tindih dan bahkan jauh ke Selatan di dalam area ZEE Indonesia yang tidak menjadi area tumpang tindih baik sebelum Desember 2022 maupun setelah Desember 2022.
Selain kapal ikan, kapal Vietnam Fisheries Resources Surveillance juga terdeteksi konsisten berpatroli di garis landas kontinen Indonesia-Vietnam menegaskan posisi single maritime boundary Vietnam dalam perundingan batas ZEE dengan Indonesia. Menariknya hal ini masih terjadi pasca Desember 2022.
“Ketiadaan batas maritim (sebelum Desember 2022) membuat masalah semakin rumit. Dalam konteks Laut Natuna Utara, kapal-kapal ikan Vietnam sangat sering beroperasi dengan pair trawl di area tumpang tindih klaim ZEE dan area di luar tumpang tindih klaim ZEE sebelah selatan (menuju Pulau Natuna Besar),” disampaikan oleh CEO IOJI, Mas Achmad Santosa.
“Namun demikian, adanya keberadaan batas maritim, tidak berarti laut aman. Pasca Desember 2022, kapal ikan Vietnam masih beroperasi di area yang dahulunya adalah area tumpang tindih klaim ZEE dan area di luar tumpang tindih klaim ZEE sebelah selatan. Kapal Pemerintah Vietnam (Vietnam Fisheries Resources Surveillance) juga masih melakukan patroli di sepanjang garis Landas Kontinen Indonesia-Vietnam pasca Desember 2022,” dilanjutkan oleh Mas Achmad Santosa.
IOJI menekankan pentingnya publikasi yang segera setelah batas maritim disepakati. Publikasi batas maritim adalah kewajiban yang diatur di dalam UNCLOS dan sudah menjadi praktik lazim negara-negara di dunia. Ketiadaan informasi titik-titik koordinat batas maritim berpotensi menimbulkan kesalahpahaman dan bahkan konflik.
Lebih lanjut, ketiadaan informasi batas maritim ini juga dapat menghambat partisipasi publik dalam keamanan maritim sebagaimana dikehendaki oleh PP 13 Tahun 2022 tentang Penyelenggaraan Keamanan, Keselamatan, dan Penegakan Hukum di Laut.
Isu mengemuka: (3) Transboundary Oil Pollution
Terdapat berbagai permasalahan di laut bersifat transboundary, terlepas dari ada atau tidak adanya batas maritim, misalnya oil pollution. Keberadaan batas maritim berkontribusi pada kejelasan tanggung jawab negara. Dari sisi teknis operasional penanganan oil pollution, negara yang telah memiliki batas maritim maupun belum memiliki batas maritim harus bekerja sama untuk menangani oil pollution (Pasal 194 ayat (1) UNCLOS).
Contoh transboundary oil pollution adalah tumpahan minyak dari perairan timur Johor yang seringkali terbawa arus laut sehingga akhirnya mencemari pesisir pantai di Batam dan Bintan. Pencegahan dan penanganan transboundary oil pollution memerlukan komitmen tinggi dari negara pantai dan negara bendera kapal.
Dukungan pendanaan untuk penanganan tumpahan minyak tersedia melalui mekanisme Revolving Fund Committee. Sejak dibentuk tahun 1981 sampai saat ini, dana talangan Revolving Fund Committee baru dipergunakan dua kali.
Keberadaan batas maritim berkontribusi pada kejelasan tanggung jawab negara. Dari sisi teknis operasional penanganan oil pollution, negara yang telah memiliki batas maritim maupun belum memiliki batas maritim harus bekerja sama untuk menangani oil pollution (Pasal 194 ayat (1) UNCLOS).
IOJI merekomendasikan pemerintah Indonesia untuk memperkuat kehadirannya di laut untuk menangkal aktivitas yang destruktif di area yang masih dirundingkan batasnya.
Selain itu, IOJI juga merekomendasikan pemerintah segera memublikasikan peta resmi batas maritim setelah kesepakatan terjadi, sebagaimana diwajibkan UNCLOS sekaligus sebagai bentuk penghormatan atas hak masyarakat terhadap informasi sejalan dengan UU 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
Pemerintah Indonesia juga perlu lebih tegas dan konsisten dalam melaksanakan maritime law enforcement untuk kegiatan yang jelas-jelas melanggar hak berdaulat/kedaulatan Indonesia di laut. Salah satu enabling factor-nya adalah segera menyelesaikan penataan kelembagaan keamanan laut.