13 April 2023

Pelajaran penting dari Penelantaran Awak Kapal Perikanan Migran Indonesia

Sudah saatnya serikat nelayan, komunitas migran, lembaga swadaya masyarakat dan masyarakat sipil mendorong pemerintah Indonesia dan komunitas internasional untuk menegakkan konvensi dan undang-undang yang menjamin perlindungan hak-hak awak kapal perikanan (AKP) migran.

Indonesia merupakan salah satu sumber tenaga kerja terbesar di dunia, termasuk AKP yang dipekerjakan di Distant Water Fishing (DWF) kapal berbendera asing. Meski kontribusinya signifikan terhadap perekonomian, baru pada 2017 mereka diakui sebagai pekerja migran.

Anak buah kapal migran Indonesia acapkali mengalami eksploitasi dan perlakuan buruk, seperti jam kerja yang tidak dapat diprediksi,ketidakadilan praktik ketenagakerjaan, kurangnya komunikasi dan, yang banyak didera di tengah laut: isolasi.

Persoalan tersebut dapat mengakibatkan masalah kesehatan mental dan bahkan kematian.

Terlepas dari seruan untuk meratifikasi Konvensi Organisasi Buruh Internasional (ILO) atau K188 dan implementasi undang-undang untuk melindungi hak-hak AKP migran, birokrat Indonesia kerap terlibat dalam serangkaian pendapat yang bertentangan. Kondisi tersebut berpotensi memicu kelambanan dalam penguatan pelindungan bagi AKP migran.

Refleksi dari Tengah Laut

Berkolaborasi dalam artikel “The Precarity at Sea: Lessons from Indonesian Migrant Fishers”, Pamungkas A. Dewanto, Jeremia Humolong Prasetya dan Fadilla Octaviani berupaya mengingatkan pentingnya melindungi hak-hak AKPl migran. Dengan begitu, tak akan terjadi lagi nasib buruk seperti yang dialami Wanto.

Wanto merupakan AKP migran asal Pemalang, Jawa Tengah. Ia tak sengaja jatuh dari kapal tempat dia bekerja selama dua minggu di lepas pantai dekat wilayah Spanyol.

Tiga minggu sebelumnya, Wanto berbicara kepada ketiga penulis. Ia menceritakan pengalamannya yang genting sebagai nelayan di kapal berbobot 200 ton, berlayar ke Samudra Hindia di Maurice, di atas kapal penangkap ikan berbendera Cina.

Selama dua tahun, Wanto tak menginjak tanah, bahkan tak berkomunikasi dengan keluarga atau teman di rumah karena keterbatasan sarana komunikasi. Setelah dua tahun, Wanto akhirnya pulang, ingin menikmati gaji yang diperolehnya selama dua tahun.

Namun, bahkan hingga meninggal, Wanto tak mendapatkan gaji yang layak diterima, begitu pula keluarga yang ditinggalkannya. Agen tenaga kerja tempatnya direkrut ternyata tutup permanen akibat pandemi pada 2020.

Ia kehilangan seluruh gaji yang seharusnya diterimanya selama dua tahun dan tidak tahu bagaimana cara mendapatkannya kembali yang menyebabkan masalah keluarga. Sebagai hasil dari dua tahun “isolasi” dan kerja bebasnya, mentalnya menjadi tidak stabil dan rentan.

Bagaimana ketiga penulis mencermati kasus ini? Simak artikel selengkapnya di sini.