Oleh Andreas Aditya Salim
The Jakarta Post, 25 Januari 2023
Tahun 2022 ditutup dengan pencapaian besar dalam bidang hukum laut, yaitu kesepakatan batas zona ekonomi eksklusif (ZEE) antara Indonesia dan Vietnam. Sayangnya, saat komunitas internasional sedang merayakannya, kemeriahan tersebut ternodai oleh manuver China Coast Guard (CCG).
Kami, Indonesia Ocean Justice Initiative, mengetahui CCG 5901, kapal terbesar yang dimiliki CCG, bermanuver di Laut Natuna Utara dekat Blok Tuna dari 30 Desember 2022 hingga 10 Januari 2023.
Barangkali muncul argumen bahwa CCG itu semata-mata menggunakan haknya untuk berlayar secara bebas di ZEE negara lain. Namun, telaah yang cermat terhadap Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS) menunjukkan argumentasi berbeda.
UNCLOS menetapkan kapal dari semua negara memiliki hak untuk berlayar di ZEE negara lain. Namun, tak pernah ada niat dari para perancangnya untuk tak membatasi kebebasan navigasinya.
Pertama, navigasi berarti berlayar dengan arah tertentu, bukan hak untuk berlayar bolak-balik dan berhenti tanpa alasan di sekitar lepas pantai vital dalam yurisdiksi suatu negara. Secara hukum, memang benar bahwa tidak seperti lintas damai dan lintas transit, UNCLOS bungkam tentang arti kebebasan navigasi. Ketiadaan kejelasan tekstual memicu terjadinya interpretasi.
Hakikat navigasi, sebagaimana didefinisikan oleh UNCLOS dalam konteks lintas damai dan lintas transit, merupakan perlintasan yang terus-menerus dan cepat. Berhenti dan berlabuh hanya diperbolehkan dalam keadaan tertentu, misalnya force majeure. Aturan dikembangkan dengan hati-hati untuk melindungi kepentingan negara bendera dan negara pantai.
Kedua, para penyusun UNCLOS menyadari bahwa persoalan ruang laut saling terkait erat dan perlu diperhatikan secara menyeluruh. Frasa “saling terkait erat” menggambarkan interaksi langsung antara satu pihak yang menjalankan haknya dengan hak pihak lain. Dalam hal ini, UNCLOS menetapkan kewajiban untuk memperhatikan masing-masing kewajiban agar interaksi berjalan dengan damai.
Sederhananya, ketika sebuah kapal berlayar di ZEE suatu negara, ia harus berhati-hati agar tidak melanggar hak berdaulat negara tersebut. Manifestasi paling sederhana dari kehati-hatian ini adalah tidak mendekati wilayah eksplorasi atau eksploitasi negara tersebut. Jika ragu, kedua belah pihak harus saling berkonsultasi untuk menemukan opsi terbaik bagi keduanya.
Ketiga, UNCLOS mewajibkan negara anggotanya untuk melaksanakan hak-haknya dengan itikad baik. “itikad baik” adalah sebuah prinsip hukum yang berlaku secara luas dan tidak dapat didefinisikan secara pasti. Namun demikian, paling tidak “itikad baik” dapat dimaknai bertindak dengan tidak melanggar hak negara lain atau bertindak secara wajar dan dengan memperhatikan dengan sungguh ekspektasi yang sah dari negara lain.
Jadi, menjalankan hak untuk tujuan yang tidak dimaksudkan, seperti yang dilakukan CCG 5901, adalah salah, meskipun secara tekstual bisa dibilang benar. Pengiriman beberapa kapal perang ke Laut Natuna Utara merupakan respons yang sah dan tepat dari TNI AL. Navigasi tidak teratur oleh CCG 5901 mengindikasikan itikad buruk, yang berpotensi melanggar kewajiban-kewajiban yang diatur oleh UNCLOS.
Praktik tersebut tidak dapat diterima dan harus dihentikan. Bisa ditebak, China akan kembali menyuarakan klaimnya yang melanggar hukum dan usang atas apa yang disebut “sembilan garis putus-putus”. Apapun yang terjadi, Indonesia tidak boleh mundur satu inci pun di hadapan kekuatan otot CCG.
Perjanjian ZEE antara Indonesia dan Vietnam membuka jalan bagi kedua negara untuk bekerja sama dalam menanggapi CCG. Dengan batas laut yang jelas, Indonesia dan Vietnam kini memiliki waktu dan tenaga untuk fokus melakukan patroli di wilayah tersebut.
Memperkuat hubungan antara Penjaga Pantai Indonesia dan Penjaga Pantai Vietnam dalam hal ini sangatlah penting. Selain itu, sama pentingnya bagi pemerintah Indonesia untuk menjajaki langkah-langkah hukum dan diplomatik strategis melawan China, khususnya terkait navigasi CCG 5901 baru-baru ini di Laut Natuna Utara.
***Penulis merupakan co-founder sekaligus penasihat senior wadah pemikir Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI)
***Artikel opini ini merupakan versi penerjemahan dalam bahasa Indonesia. Opini pertama kali terbit di The Jakarta Post dalam bahasa Inggris.