11 December 2022

Keketuaan Indonesia di ASEAN 2023 dan Dukungan untuk Ekonomi Biru

Nelayan kecil di Bitung, Sulawesi Utara. (Dok. IOJI)

Pertumbuhan ekonomi ASEAN sebesar 5,5 persen pada 2022 menjadikan kawasan ini sebagai wilayah dengan pertumbuhan tercepat dunia. Memegang Keketuaan ASEAN pada 2023, Indonesia mengajak negara-negara di satu kawasan untuk tak hanya mengejar pertumbuhan inklusif, melainkan juga pertumbuhan yang berkelanjutan dan berkeadilan.

Mengusung tema “ASEAN Matters: Epicentrum of Growth”, Indonesia akan mengetuai Perhimpunan Negara-Negara Asia Tenggara (ASEAN) pada 2023. Pemerintah berfokus pada pertumbuhan ekonomi inklusif dan berkomitmen pada Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau SDGs.

Selain itu, Indonesia akan memperkuat implementasi ASEAN Outlook on the Indo-Pacific (AOIP) yang inklusif demi terciptanya kawasan damai, saling terhubung, inklusif, dan kompetitif.

Indonesia juga mendorong ekonomi biru dan peralihan menuju energi terbarukan. Keduanya diharapkan selaras dengan prinsip aksesibilitas, keterjangkauan, dan keberlanjutan bagi masyarakat ASEAN.

ASEAN menyepakati komitmen bersama terkait ekonomi biru pada konferensi tingkat tinggi (KTT) yang terselenggara 2021 silam–atau ketika Brunei Darussalam memegang keketuaan. Seruan kembali berulang setahun berikutnya di bawah kepemimpinan Kamboja.

Komitmen tersebut dibentuk atas kesadaran bahwa laut merupakan salah satu kunci penggerak pertumbuhan ekonomi. Mengacu pada fungsi tersebut, ASEAN merasa perlu menjaga keberlanjutan laut supaya pemanfaatannya optimal dan berjangka panjang.

Akhir-akhir ini pula, Indonesia giat menyerukan implementasi blue economy karena besarnya potensi yang tersedia di laut dan pesisir. Bank Dunia memprediksi ekonomi biru akan membuka 7 juta lapangan kerja dan keuntungan sebesar 27 miliar dolar AS terhadap produk domestik bruto Indonesia.

ASEAN secara kolektif telah menyepakati deklarasi atas komitmen terhadap ekonomi biru ini. Meski demikian, kerangka kerja ekonomi biru yang digunakan secara kolektif oleh para negara anggotanya belum tersedia.

Kerangka kerja ekonomi biru juga tak secara khusus tercakup dalam rangkaian agenda dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Mengetuai ASEAN pada 2023, Indonesia berpeluang besar menghadirkan agenda tersebut dalam perundingan regional.

Kapasitas sebagai negara maritim terbesar di ASEAN memungkinkan Indonesia menentukan agenda dan capaian apa yang dapat diraih negara-negara satu kawasan. Memegang keketuaan ASEAN, artinya pula Indonesia berpeluang menghadirkan ekonomi biru sebagai agenda penting dalam KTT mendatang.

Nelayan kecil di Bitung, Sulawesi Utara. (Dok. IOJI)

Indonesia dapat menjadi formatur kebijakan dan kerangka kerja ekonomi biru. Dengan begitu, komitmen negara anggota tak sebatas pada deklarasi secara kolektif saja, melainkan juga terimplementasi secara baik.

Apalagi Indonesia telah memiliki pengalaman bekerja sama dengan beberapa komunitas dan negara lain terkait ekonomi biru. Misalnya saja dengan Swedia dan Kepulauan Seychelles melalui program pengembangan ekonomi biru di Pulau Maratua, Kalimantan Timur. Pemberdayaan dan pemenuhan pemanfaatan potensi sumber daya laut melalui program tersebut dapat menjadi contoh–jika tak ingin menyebut pijakan–bagi negara-negara lainnya di kawasan ASEAN.

Namun, perlu diingat pula bahwa apapun upaya penguatan ekonomi biru tak semudah itu berjalan jika sengketa perairan belum dapat teratasi.

Saat ini, Indonesia dan ASEAN menghadapi peningkatan kompetisi pengaruh dan proyeksi kekuatan antara negara-negara besar di kawasan Asia Pasifik.

Ketegangan geopolitik, pembentukan aliansi pertahanan di luar ASEAN, potensi kehadiran kapal selam bertenaga nuklir dan perlombaan senjata antara negara-negara besar di Asia Tenggara dan Indo-Pasifik membayangi ASEAN dan menjadi realitas baru di kawasan, sebagaimana ditulis oleh Beginda Pakpahan, analis politik dan ekonomi, pada kolom opini Harian Kompas. Indonesia dan ASEAN, tulisnya kemudian, “berada pada posisi yang sulit dan dilematis merespons situasi tersebut. Dinamika lingkungan internal dan eksternal dari kawasan Asia Tenggara juga memengaruhi perdamaian dan stabilitas di kawasan.”

Jika terjadi miskalkulasi, tak tertutup kemungkinan ketegangan meningkat dan terjadilah konflik terbuka di Asia Tenggara, Asia Timur, dan Indo-Pasifik. Contoh kasus yang perlu kita cermati karena bisa memengaruhi perdamaian dan stabilitas kawasan adalah Laut China Selatan. Hingga hari ini, negara-negara besar sibuk memperuncing persaingan dan memamerkan kekuatan di perairan strategis tersebut. Indonesia bersama ASEAN perlu memainkan peran lebih untuk menjamin perdamaian dan stabilitas kawasan.