25 September 2022

Potret Kerawanan Pekerja Migran Indonesia Pelaut Perikanan

Melalui studi “Potret Kerawanan kerja Pelaut Perikanan di Kapal Asing: Tinjauan Hukum, Hak Asasi Manusia (HAM) dan Kelembagaan”, IOJI menawarkan sejumlah rekomendasi bagi pemerintah guna memperkuat pelindungan dan pemberdayaan Pekerja Migran Indonesia Pelaut Perikanan (PMI PP).

Pasokan ikan di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) kian berkurang. Penurunan jumlah ikan mendorong para pelaku penangkapan ikan bergeser keluar dari ZEE negara terkait hingga memasuki kawasan laut yang tak masuk dalam yurisdiksi negara manapun atau high seas

Pada akhirnya, mereka pun tak segan—atau memang tak sadar karena ketiadaan perangkat navigasi yang mumpuni, meski jarang terjadi—turut menerobos ZEE negara lain. Sebagian besar menaiki kapal ikan jarak jauh atau long-distance fishing water fleets. 

Mampu bertahan di tengah laut pada periode waktu yang panjang, kapal ikan jarak jauh menuntut pemiliknya untuk mengeluarkan biaya operasional yang sangat besar. Artinya, terdapat beberapa komponen biaya lain yang harus dikurangi supaya kapal tak perlu sering-sering masuk-keluar bengkel. 

Dari sekian banyak komponen pengeluaran, pengurangan yang paling gamblang dilakukan pemilik kapal lakukan adalah ini: biaya pekerja.

Pengurangan biaya pekerja merupakan satu dari sejumlah faktor penyebab perbudakan modern (modern slavery)—terestimasi sekitar 25 juta orang menjadi korban perbudakan modern di sektor perikanan dan agrikultur.

Di laut, tempat tanpa tembok dengan batas yang samar-samar, perbudakan manusia semakin tak terkendali. 

Tambahkan itu dengan kerangka hukum yang belum efektif memberikan perlindungan sepenuhnya bagi para pekerja migran kelautan. Bisa jadi perbudakan kian masif dan pekerja migran kelautan semakin sulit menemukan jalan keluar. 

 

Menuju Pelindungan yang Efektif dan Berkeadilan

Dalam studi “Potret Kerawanan Kerja Pelaut Perikanan di Kapal Asing: Tinjauan Hukum, HAM dan Kelembagaan” yang diterbitkan pada 2022, Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) menemukan kerangka hukum pada tingkat internasional, regional dan nasional yang tak saling bersesuaian. 

Kondisi ini memicu kemunculan permasalahan baru dalam praktik pelindungan bagi PMI PP yang sudah rentan mengalami praktik perbudakan di laut.

IOJI mencatat beberapa pelanggaran menahun terhadap PMI PP, termasuk eksploitasi dalam proses seleksi dan penempatan kerja, kontrak kerja hingga penyelesaian sengketa yang tak berpihak pada mereka.

Melalui studi mendalam bersama dengan peninjau ahli dari Stanford University, Amerika Serikat ini, IOJI merekomendasikan sejumlah perbaikan kerangka hukum dan tata kelola pelindungan. Rekomendasi diharapkan dapat memulihkan posisi tawar PMI PP yang acapkali rendah dalam penyelesaian sengketa. 

Pada tingkat nasional, IOJI merekomendasikan kewajiban keberadaan perundingan bersama (collective bargaining agreement) disertai standar perjanjian kerja bagi PMI PP dan standar kondisi kerja di atas kapal sesuai ILO C-188—konvensi tentang pekerjaan dalam penangkapan ikan. Tak hanya kerangka hukum pada tingkat nasional, IOJI juga merekomendasikan pemulihan pijakan pada level regional dan internasional. 

Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Hukum dan HAM “perlu mendorong kerja sama di tingkat ASEAN untuk menciptakan pembentukan standar hak yang sama bagi pekerja migran perikanan pada tingkat regional,” catat IOJI dalam rekomendasi.

Sementara pada tingkat internasional, “Kementerian Luar Negeri perlu mendorong ratifikasi dan implementasi ILO C-188, STCW-F 1995 (Standar Pelatihan, Sertifikasi, dan Dinas Jaga Bagi Awak Kapal Penangkap Ikan) dan CTA 2012 (kesepakatan Cape Town tentang keselamatan pekerja perikanan) di tingkat regional dan global sehingga dapat diterapkan secara universal.”

Studi selengkapnya dapat dibaca di sini.

Siaran pers dapat dibaca di sini.