22 September 2022

INLU 2022: Diskusi Panel IOJI tentang Keadilan dan Hukum Lingkungan Laut

IOJI berperan menyelenggarakan diskusi panel yang membahas isu perubahan iklim, keamanan maritim dan pelanggaran HAM di laut bertempat di Auditorium Yustinus Kampus Atma Jaya Semanggi Jakarta, 22/9. (Dok. IOJI)

 

IOJI menjadi salah satu mitra The Indonesia-Netherlands Legal Update (INLU) 2022 yang berlangsung secara hybrid pada 19-29 September 2022 silam. IOJI berperan menyelenggarakan diskusi panel yang membahas isu perubahan iklim, keamanan maritim dan pelanggaran HAM di laut bertempat di Auditorium Yustinus Kampus Atma Jaya Semanggi Jakarta, 22/9. Dengan isu-isu perubahan iklim, keamanan maritim, dan pelanggaran hak asasi manusia yang masih banyak terjadi di laut, peran hukum lingkungan menjadi lebih signifikan. Menanggapi persoalan tersebut, diperlukan penataan ulang hukum lingkungan yang menganut konsep keberlanjutan yang kuat, didukung oleh ruang demokrasi yang luas, tata kelola yang baik, dan aturan hukum yang efektif.
___

Kepentingan melindungi alam sekaligus menjamin kebutuhan akan penghidupan manusia acapkali menjadi persoalan dilematis di seantero dunia. Begitu juga di Indonesia, negara yang dua pertiga wilayah geografisnya merupakan perairan.

Alih-alih berkesinambungan, kebutuhan untuk melestarikan keanekaragaman hayati perairan dan menyejahterakan masyarakat yang menggantungkan hidup dari laut sering antagonistis. Tak bisa dimungkiri ketika hubungan manusia dan lingkungan laut lamat-lamat kian kompleks.

 

Hukum Lingkungan dan Keadilan Biru (Blue Environmental Law and Justice)

Panel dimulai dengan sesi pembukaan yang mencerminkan keefektifan hukum lingkungan, dan menggali potensi berbagai bentuk hukum lingkungan dan keadilan biru atau blue environmental law and justice. Dr. Mas Achmad Santosa, CEO IOJI, sebagai salah satu pembicara menekankan perlunya mengadopsi prinsip-prinsip keberlanjutan dan keadilan laut yang kuat dalam hukum lingkungan laut. Prinsip-prinsip eksisting yang dapat menjadi titik awal pengembangan blue environmental law and justice adalah Blue Justice (Bennet et al., 2012), Blue New Deal (Armstrong, 2022), dan Sustainable Ocean Economy (HLP SOE, 2020).

Beberapa prinsip dalam paradigma new ocean ini telah tertuang dalam kerangka hukum nasional Indonesia. Hukum lingkungan laut perlu dikembangkan untuk membantu masyarakat internasional beralih dari ekonomi laut yang tidak berkelanjutan menuju ekonomi laut yang berkelanjutan

Di sela-sela kontradiksi keduanya, tercetus satu hal yang kerap terlupakan kala berdiskusi soal laut: pelanggaran HAM yang terus berlanjut di sektor kelautan.

 

Keadilan Laut

Isu pelanggaran terhadap HAM di laut merupakan salah satu topik dalam panel diskusi Indonesia-Netherlands Legal Update (INLU) 2022. Panel diskusi yang turut diinisiasi IOJI ini terselenggara secara hybrid pada 22 September 2022.

Sebagai salah satu pembicara, Chair of the Foundation for International Human Rights Reporting Standards (FIHRRST), Marzuki Darusman, secara khusus menyoroti hak-hak pekerja industri perikanan di Asia Tenggara—kawasan regional yang terdekat dengan Indonesia.

Dr. Darusman menjelaskan, sekurang-kurangnya 17.000 pekerja di kapal ikan diperbudak saat bekerja di perairan Asia Tenggara. Ia mencatat setidaknya tiga tantangan dalam pelindungan pekerja di kapal ikan Asia Tenggara: kurangnya ratifikasi konvensi kunci, tumpang tindih kewenangan dan kesulitan pemantauan di laut.

Menanggapi Dr. Darusman, Chief Operating Officer IOJI yang juga koordinator tim penulis studi “Potret Kerawanan Pekerja Migran Indonesia Pelaut Perikanan”, Fadilla Octaviani, memaparkan risiko HAM di sepanjang rantai pasokan makanan laut (seafood). Risiko terutama rentan terjadi pada PMI PP.

Itulah pula yang mendasari IOJI turut menyampaikan serangkaian rekomendasi kebijakan melalui kajian mendalam bertajuk “Potret Kerawanan kerja Pelaut Perikanan di Kapal Asing: Tinjauan Hukum, HAM dan Kelembagaan”.

 

Kerangka Hukum Inovatif

Direktur Workstream 2 IOJI, Stephanie Juwana secara khusus memaparkan persoalan tata kelola ekosistem karbon biru di Indonesia. Paparan berfokus pada pengelolaan ekosistem mangrove yang terdegradasi di wilayah pesisir Nusantara. Guna memulihkan tata kelola ekosistem mangrove, kata Stephanie, wilayah pesisir membutuhkan instrumen perlindungan inovatif yang potensial dikembangkan di Indonesia. Misalnya Ecologically or Biologically Significant Marine Areas (EBSA) dan Other Effective Conservation Measures (OECM).

EBSA tak mengacu pada pembatasan suatu kegiatan. Lebih dari itu, EBSA merupakan bentuk pengakuan atas signifikansi biologis atau ekologis suatu kawasan. EBSA bermanfaat untuk mempertimbangkan kriteria perlindungan laut atau penilaian dampak lingkungan.

Sementara itu, OECM terhitung sebagai pendekatan konservasi baru terhadap suatu tempat yang terpisah dari kawasan lindung. OECM bermanfaat ketika diterapkan tanpa mengecualikan budaya, spiritual, sosial-ekonomi serta nilai-nilai lain yang relevan dengan kehidupan masyarakat setempat.

Mengakhiri paparan, tak lupa Stephanie mengingatkan peran masyarakat yang mutlak dibutuhkan dalam menjaga sekaligus mengelola ekosistem karbon biru.

Siaran pers dalam bahasa Indonesia, dapat dibaca di sini.

Siaran pers dalam bahasa Inggris, dapat dibaca di sini.