Penggunaan teknologi adalah kunci dalam mewujudkan transparansi untuk melacak dan mendeteksi adanya dugaan praktik illegal fishing. Teknologi dimaksud harus memiliki kemampuan, antara lain, mendeteksi identitas dan keberadaan kapal, melacak lintasan pergerakan kapal, memberikan akses terhadap informasi pemilik manfaat (beneficial owner) dan aktor-aktor yang terlibat sebagai pemilik dan operator kapal, dan informasi pendukung lainnya seputar kapal, yaitu laporan inspeksi, data kunjungan kapal ke pelabuhan, hingga sanksi yang pernah dikenakan terhadap kapal.
Dalam rangka mendukung aktivitas deteksinya, IOJI menggunakan berbagai perangkat teknologi dan akses informasi, sekaligus bekerjasama dengan beberapa penyedia data dan informasi internasional, seperti Lloyd’s List Intelligence (LLI), Marine Traffic, dan Unseenlabs. Perangkat teknologi tersebut memberikan akses terhadap data identitas kapal, pergerakan kapal melalui Automatic Identification Systems (AIS), citra satelit radar dan optik dari Sentinel, serta data frekuensi radio navigasi pada kapal untuk melacak kapal yang tidak terdeteksi transmisinya melalui AIS. Dengan menggunakan berbagai data dan informasi yang berhasil dikumpulkan dari berbagai sumber, IOJI melakukan analisis kronologis dan analisis hukum mengenai ancaman keamanan laut dan pelanggaran yang terjadi di wilayah perairan dan yurisdiksi Indonesia.
Laut Arafura yang terletak di wilayah Indonesia bagian timur merupakan bagian dari WPP-NRI 718 yang kaya akan sumber daya ikan yang bernilai ekonomi tinggi. Oleh karena itu, wilayah ini selalu menjadi daya tarik bagi kapal ikan berskala industri untuk melakukan penangkapan ikan. Berdasarkan lampiran Kepmen KP 19/20221, tingkat pemanfaatan sumber daya perikanan di seluruh WPP Indonesia didominasi oleh fully-exploited dan over-exploited, termasuk WPP-NRI 718 dengan berbagai jenis tangkapannya.
Sejak Februari 2024, IOJI mendeteksi adanya aktivitas penangkapan ikan secara ilegal di WPP-NRI 718. Berdasarkan data AIS, terdapat dua kapal ikan yang bergerak bersama-sama dari Tiongkok menuju perairan Indonesia. Kapal ikan tersebut diketahui bernama Run Zeng 03 (IMO 9835549) dan Run Zeng 05 (IMO 9835551). Selepas meninggalkan pelabuhan di Tiongkok pada 11 April 2023, transmisi AIS kapal ikan Run Zeng 03 tidak terpantau. Sedangkan AIS kapal ikan Run Zeng 05 terpantau di beberapa titik lokasi di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia, mengarah ke wilayah perairan Indonesia bagian timur.
Kapal Run Zeng 03 dan Run Zeng 05 merupakan kapal ikan berbendera Rusia dengan ukuran 870 GT dan panjang kapal sekitar 50 meter. Kapal dengan alat tangkap trawl tersebut tidak terdaftar dan tidak memiliki izin menangkap ikan di Indonesia. Kedua kapal tersebut diketahui dimiliki oleh perusahaan yang sama, yaitu DOPK Progress yang beralamat di Tiongkok. Berikut identitas Run Zeng 03 dan Run Zeng 05 berdasarkan data International Maritime Organization (IMO).
Informasi pemilik dan operator kedua kapal sebagai berikut:
Ship manager/Commercial manager
DONGGANG RUNZENG OCEAN FISHING 4239604 |
65-1, Donggang Beilu, Donggang, Liaoning, China.
(since 14/0 ke 8/2020) |
Registered owner
DOPK PROGRESS 6173544 |
Care of Donggang Runzeng Ocean Fishing Co Ltd , 65-1, Donggang Beilu, Donggang, Liaoning, China.
(since 14/08/2020) |
ISM Manager
UNKNOWN 9991001 |
UNKNOWN
(since 09/06/2020) |
Tabel 1. Pemilik dan Operator Kapal Run Zeng 03 dan Run Zeng 05
Transmisi AIS kapal Run Zeng 05 yang menunjukkan urutan pergerakan sebagai berikut:
Tanggal | Koordinat
(Lon, Lat) |
Lokasi | Sumber Data |
11 April 2023 | 121.7252, 28.6497 | Pelabuhan Taizhou, Tiongkok. | Marine Traffic |
3 Mei 2023 | Pelabuhan Tanjung Priok, DKI Jakarta | Lloyd’s List Intelligence | |
19 Oktober 2023 | 106.2283, -7.0219 | Pelabuhan Bayah, Pelabuhan Ratu, Lebak, Provinsi Banten. | Lloyd’s List Intelligence |
30 Januari 2024 | 131.2719, -5.6575 | Laut Banda | Lloyd’s List Intelligence |
1 Februari 2024 | 128.0638, -3.8072 | Teluk Ambon | Marine Traffic |
Tabel 2. Urutan Pergerakan Kapal Run Zeng 05 Berdasarkan Data AIS Dari Berbagai Sumber
Gambar 3 di bawah ini menunjukkan koordinat AIS kapal Run Zeng 05 pada peta, sejak 11 April 2023 di Taizhou, Tiongkok hingga 1 Februari 2024 di Teluk Ambon, Indonesia.
Berdasarkan data yang berhasil dikumpulkan oleh IOJI, kapal Run Zeng 05 sempat ditahan dan mendapatkan inspeksi oleh otoritas di pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta pada 3 Mei 2023. Hasil inspeksi menemukan sejumlah kekurangan atau defisiensi pada kapal tersebut, di antaranya terkait dengan sertifikasi kru dan awak kapal, keselamatan kru dan pengelolaan limbah di kapal 2. Kapal Run Zeng 03 dan Kapal Run Zeng 05 diketahui tidak terdaftar dan tidak memiliki surat izin penangkapan ikan (SIPI) di Indonesia. Sejumlah AKP berkebangsaan Tiongkok diduga naik ke kapal Run Zeng melalui pelabuhan Tanjung Priok. 3
Pada 28 Juni 2023, diberitakan oleh media nasional, bahwa Kapal Run Zeng 03 dan Run Zeng 05 sempat berlabuh di Pelabuhan Ratu, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. Diinformasikan bahwa terdapat total 13 kru dari kedua kapal, yang kesemuanya berkewarganegaraan Tiongkok.4
Sejak transmisi AIS-nya terdeteksi pada 19 Oktober 2023 di Pelabuhan Ratu hingga terakhir terdeteksi pada 1 Februari 2024, kapal Run Zeng 03 dan Run Zeng 05 kurang lebih berada selama 4 bulan di ZEE Indonesia. Hingga saat ini, transmisi AIS kedua kapal tersebut belum terdeteksi kembali, atau dalam keadaan mati. Dengan memperhatikan bahwa kedua kapal tersebut adalah kapal penangkap ikan asing skala industri, membawa kru yang kesemuanya berkebangsaan asing pada saat tiba di Pelabuhan Ratu, tidak memiliki izin melakukan penangkapan ikan di wilayah Republik Indonesia, ditemukan defisiensi saat inspeksi dilakukan oleh otoritas pelabuhan Tanjung Priok, tidak dapat terlacak dengan baik menggunakan alat navigasi AIS (dark vessel), maka kapal tersebut berisiko tinggi sebagai kapal ikan pelaku illegal fishing dan kejahatan transnasional di wilayah Republik Indonesia.
“Hingga saat ini transmisi AIS kedua kapal Run Zeng belum terdeteksi kembali, atau dalam keadaan mati.”
Selanjutnya, pada 11 April 2024, terjadi insiden yang melibatkan kapal Run Zeng 03 dengan 25 Awak Kapal Perikanan (AKP) warga negara Indonesia di Desa Warabal, Kepulauan Aru5. Dari insiden ini akhirnya, diketahui bahwa kedua kapal ilegal tersebut mempekerjakan AKP berkewarganegaraan Indonesia. Insiden ini berawal ketika enam orang AKP Indonesia meloncat ke laut dan berenang menuju daratan dalam rangka menyelamatkan diri dari kapal Run Zeng 03 karena mengalami perlakuan kerja yang tidak layak dan bahkan mengarah pada praktik tindak pidana perdagangan orang (TPPO). Perlakuan tersebut meliputi bekerja tanpa ikatan kontrak dan gaji yang jelas, mendapatkan makanan dari makanan sisa AKP Tiongkok dan minum air dari tetesan pendingin AC. Dari keenam orang yang menyelamatkan diri tersebut, satu orang ditemukan meninggal dunia6. Kelima orang yang selamat dari insiden tersebut mendapatkan pertolongan dari nelayan lokal Desa Warabal. Kapal nelayan lokal dari Desa Warabal kemudian juga membantu mengevakuasi 19 AKP Indonesia lainnya yang mengalami tekanan dari kapal Run Zeng 03. Berdasarkan pengakuan AKP Indonesia, Kapal Run Zeng melakukan operasi penangkapan ikan di Laut Arafura.
“Dari keenam orang AKP Indonesia yang menyelamatkan diri dengan meloncat ke laut, satu orang ditemukan meninggal dunia.”
Praktik illegal fishing oleh kapal Run Zeng 03 dan 05 di Laut Arafura, WPP-NRI 718 melibatkan kapal ikan Indonesia yang berjenis kapal pengangkut ikan, yaitu KM. Mitra Utama Semesta (KM MUS). KM MUS berperan dalam mentransfer AKP Indonesia ke kedua kapal Run Zeng. Pada April 2024, total AKP Indonesia yang dipindahkan ke kedua kapal Run Zeng sejumlah 55 orang. 25 orang ditempatkan di Run Zeng 03 dan sisanya ditempatkan di Run Zeng 05. Selain melakukan transfer AKP Indonesia ke kapal Run Zeng, berdasarkan kesaksian AKP Indonesia, KM MUS juga menerima muatan ikan dari kapal Run Zeng dan memindahkan stok BBM ke kapal Run Zeng. Berdasarkan data lintasan AIS KM MUS, kegiatan alih muatan tersebut diperkirakan berlangsung antara 09 hingga 12 April 2024, yang lokasinya dapat dilihat pada gambar di bawah ini. Ditjen PSDKP KKP kemudian berhasil menahan KM MUS pada 14 April 2024 di Laut Arafura dan dibawa ke Pangkalan PSDKP Tual. Sejak hari itu, dua kapal Run Zeng terus diburu.
“Berdasarkan kesaksian AKP Indonesia, KM MUS menerima alih muatan ikan dari kapal Run Zeng dan memindahkan BBM ke kapal Run Zeng.”
Aktivitas transfer AKP Indonesia ke kapal Run Zeng tidak hanya kali itu dilakukan oleh KM MUS. Sebelumnya, pada Desember 2023, KM MUS juga melakukan hal yang sama, yaitu berangkat dari Pelabuhan Perikanan Juwana dan mengirimkan 60 AKP Indonesia ke kapal Run Zeng. Setelah kegiatan alih muat selesai dilakukan antara KM MUS dan kapal Run Zeng pada April 2024, 60 AKP Indonesia yang sebelumnya sudah berada di kapal Run Zeng digantikan dengan 55 AKP Indonesia yang baru.
Setelah insiden AKP Indonesia yang menyelamatkan diri dari Run Zeng 03 dan penangkapan KM MUS pada April 2024, diperkirakan masih ada sekitar 30 AKP Indonesia yang berada di kapal Run Zeng 03 dan Run Zeng 05 yang masih terus dikejar oleh Ditjen PSDKP KKP. Kapal tersebut diperkirakan masih berada di sekitar Laut Arafura. Pada 6 dan 8 Mei kapal Run Zeng 03 dan Run Zeng 05 terdeteksi di wilayah ZEE Australia oleh Maritime Border Command (MBC) Australia. Otoritas Australia membantu melacak kapal Run Zeng.
Pada 19 Mei 2024, Kapal Run Zeng 03 berhasil ditangkap oleh Ditjen PSDKP KKP di Laut Arafura setelah buron selama satu bulan. Bersama dengan penangkapan kapal Run Zeng 03, PSDKP KKP mengamankan kapal berukuran 157 GT, berbendera Indonesia dan berasal dari Probolinggo bernama KM Y. KM Y berperan membantu operasional Run Zeng 03 di Laut Arafura. Berdasarkan pengecekan perizinan berusaha subsektor penangkapan dan pengangkutan ikan di KKP, diketahui KM Y dengan bobot 157 GT, yang berasal dari Probolinggo adalah KM Yulian dan terdaftar atas nama perseorangan.
Berdasarkan data AIS, diketahui KM Yulian beroperasi di WPP-NRI 718 tepatnya di Pelabuhan Wanam, Papua.
Tidak Diberlakukannya Ketentuan Port State Measures Agreement (PSMA) terhadap Kapal Run Zeng 03 dan Run Zeng 05
Kejadian kapal Run Zeng 03 dan Run Zeng 05 yang sempat bersandar dan diinspeksi di Pelabuhan Umum Tanjung Priok pada Mei 2023 sebenarnya telah melanggar ketentuan perjanjian internasional Agreement on Port State Measures to Prevent, Deter, and Eliminate Illegal, Unreported, and Unregulated Fishing (PSMA). Indonesia telah meratifikasi PSMA melalui Peraturan Presiden Nomor 43 Tahun 2016 tentang Ketentuan Negara Pelabuhan Untuk Mencegah, Menghalangi, dan Memberantas Penangkapan Ikan yang Ilegal, Tidak Dilaporkan, dan Tidak Diatur (Perpres 43/2016). Tujuan akhir PSMA adalah mencegah tangkapan ikan hasil IUU fishing masuk ke pasar manapun, sehingga menghentikan kapal pelaku IUU fishing berhenti menjalankan operasinya merupakan pelaksanaan dari PSMA. Untuk melaksanakan Perpres 43/2016, Indonesia telah menerbitkan peraturan pelaksanaan melalui Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 39 Tahun 2019 (PermenKP 39/2019) dan menetapkan pelabuhan-pelabuhan tempat pelaksanaan PSMA melalui Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 52 Tahun 2020 (KepmenKP 52/2020).
KepmenKP 52/2020 menetapkan empat pelabuhan tempat pelaksanaan PSMA, yaitu:
Berdasarkan ketentuan PSMA, setiap kapal perikanan berbendera asing yang akan memasuki wilayah pelabuhan Indonesia, baik dengan tujuan transit, melakukan kegiatan alih muatan ikan, atau kegiatan lainnya termasuk mengisi bahan bakar atau melakukan pergantian awak kapal, harus memberikan notifikasi dan meminta izin untuk memasuki salah satu dari keempat pelabuhan di atas. Kapal Run Zeng 05 terdeteksi memasuki pelabuhan Tanjung Priok yang bukan merupakan pelabuhan tempat pelaksanaan PSMA. Dengan tidak diberlakukannya ketentuan PSMA terhadap kapal Run Zeng 05, maka sulit mendeteksi potensi pelanggaran yang terjadi di atas kapal tersebut, misalnya: adanya dugaan tindak pidana perdagangan orang (TPPO), penangkapan ikan dilakukan secara ilegal, dan sebagainya. Hal ini disebabkan otoritas pelabuhan tidak melakukan verifikasi kepada negara bendera kapal (flag State) untuk memastikan keabsahan perizinan dan kegiatan kapal tersebut.
Implementasi PSMA di Indonesia masih menemukan tantangan, di antaranya adalah:
Berdasarkan ketentuan PSMA di Indonesia, Sekretariat Otoritas PSM melakukan analisis terhadap permohonan masuk KIA ke pelabuhan untuk menentukan apakah KIA tersebut boleh memasuki wilayah designated port. Dalam hal terdapat indikasi bahwa KIA yang bersangkutan melakukan kegiatan IUU fishing, maka Tim Inspeksi PSM dapat melakukan inspeksi langsung ke atas kapal pada saat KIA tersebut bersandar di pelabuhan. Namun, seluruh proses ini hanya dapat diberlakukan bagi KIA yang masuk ke designated ports. Berdasarkan keterangan KKP, masih banyak KIA yang melakukan kegiatan transit, pengisian bahan bakar, dan pergantian AKP di pelabuhan umum di luar designated ports PSMA. Hal ini tentu menghambat pencegahan terjadinya IUU Fishing sebagaimana tujuan diberlakukannya PSMA.
Minimnya koordinasi ini terlihat dari penanganan kasus Run Zeng 03 dan Run Zeng 05. Kedua kapal tersebut sempat memasuki Pelabuhan Umum Tanjung Priok dan bahkan dilakukan inspeksi oleh petugas pelabuhan. Hasil inspeksi menemukan beberapa kejanggalan terhadap kedua kapal tersebut, tetapi tidak ditindaklanjuti dengan pemeriksaan oleh KKP. Akibatnya, kedua kapal berhasil keluar dari wilayah pelabuhan sampai akhirnya ditangkap oleh aparat penegak hukum. Apabila koordinasi antara KKP dan Kemhub berjalan dengan baik, penegakan hukum atas kedua kapal yang terindikasi melakukan IUU fishing di wilayah perairan dan yurisdiksi Indonesia dapat lebih cepat diberlakukan. Selain itu, indikasi kedua kapal Run Zeng sebagai high-risk vessels juga tidak terdeteksi oleh petugas pelabuhan.
Sebagaimana dijelaskan, ketentuan PSMA diberlakukan terhadap pelabuhan-pelabuhan yang ditunjuk sebagai pelabuhan tempat pelaksanaan PSMA (designated ports). Saat ini, jumlah pelabuhan perikanan di Indonesia mencapai 567 (2023), dan jumlah pelabuhan umum sebanyak 2.439 (2020). Dari jumlah pelabuhan tersebut, hanya empat pelabuhan yang ditetapkan sebagai designated ports (kurang dari 0,2% dari total jumlah pelabuhan). Hal ini memberikan celah besar masuknya KIA ilegal ke pelabuhan lainnya. PSMA sebenarnya mewajibkan Negara peratifikasi untuk mengintegrasikan ketentuan PSMA dengan pengawasan kelaiklautan dan keamanan (port State control7). Namun di Indonesia, hal tersebut belum dapat dilakukan dengan optimal karena ketentuan khusus PSMA dan prosedur penanganan KIA untuk masuk ke pelabuhan saat ini hanya berlaku secara terbatas di designated ports8. Sementara itu berdasarkan keterangan KKP 9, pelabuhan perikanan di Indonesia memang tidak didesain untuk menerima kapal perikanan asing dengan ukuran yang tergolong besar (>100 GT), sehingga menyebabkan kapal-kapal asing tersebut lebih memilih untuk masuk ke pelabuhan umum yang tidak terikat ketentuan PSMA. Penambahan penetapan designated ports menjadi penting, khususnya pelabuhan-pelabuhan umum yang selama ini menjadi tempat masuknya KIA.
Salah satu strategi keberhasilan implementasi PSMA adalah adanya pertukaran informasi di tingkat kawasan dan internasional yang dapat dijadikan dasar untuk menolak kapal-kapal yang terindikasi sebagai pelaku IUU fishing memasuki pelabuhan negara lain. Dalam kerangka implementasi PSMA, sistem pertukaran informasi dilakukan melalui Global Information Exchange System (GIES) yang dikembangkan oleh UN FAO. Sebenarnya sistem pertukaran informasi ini juga sudah dimiliki oleh beberapa organisasi regional untuk pengelolaan perikanan (Regional Fisheries Management Organization/RFMO), seperti Indian Ocean Tuna Commission (IOTC). Namun masih terdapat hambatan yang dihadapi saat ini yakni: masing-masing negara pelabuhan belum dapat secara langsung mengakses hasil inspeksi KIA dari pelabuhan negara sebelumnya. Oleh karena itu, verifikasi harus dilakukan melalui komunikasi dengan negara bendera KIA yang bersangkutan dan deteksi mandiri. Selain itu, data dan informasi pada masing-masing platform harus dimasukkan secara sendiri-sendiri oleh petugas Sekretariat Otoritas PSM, sehingga semakin membuka celah terjadinya human error saat penginputan data.10
Kasus ini menambah lagi contoh praktik kejahatan perikanan lintas batas negara dan terorganisir (transnational organized fisheries crime) di wilayah perairan dan yurisdiksi Indonesia. Fakta-fakta yang berhasil terkumpul sejauh ini sesuai dengan definisi dan ruang lingkup Transnational Organized Crime dalam United Nations Convention against Transnational Organized Crime (UNTOC).11
Kapal Run Zeng 03 dan Run Zeng 05 terdaftar dimiliki dan dioperasikan oleh pemilik/operator di China. Keduanya teregistrasi di Rusia, melibatkan KM MUS dan KM Yulian yang berbendera Indonesia, diduga kuat menangkap ikan tanpa izin di Indonesia, dan merekrut awak kapal secara tidak sah di Indonesia. Perencanaan dan persiapan tindak pidana ini patut diduga melibatkan lebih dari dua orang yang berasal dari dua negara yang berbeda, setidaknya China dan Indonesia, untuk tujuan mengambil keuntungan finansial dan/atau materiil dari penangkapan ikan tanpa izin di Laut Arafura.
Berdasarkan hukum yang berlaku di Indonesia, tindak pidana yang dilakukan oleh para pelaku dapat dikategorikan sebagai tindak pidana serius (serious crime)12. Penangkapan ikan oleh kapal ikan asing tanpa izin diancam pidana oleh UU Perikanan13 melalui Pasal 9214 atau Pasal 9315 ayat (2). Lebih lanjut, Pasal 101 UU Perikanan menyebutkan dalam hal tindak pidana “dilakukan oleh Korporasi, tuntutan dan sanksi pidananya dijatuhkan terhadap pengurusnya dan terhadap korporasi dipidana denda dengan tambahan pemberatan 1/3 (sepertiga) dari pidana denda yang dijatuhkan.”
Tingginya ancaman pidana yang diatur dalam UU Perikanan tersebut telah memenuhi kriteria serious crime di dalam UNTOC. Di samping dugaan tindak pidana perikanan, masih ada juga ancaman sanksi pidana atas dugaan tindak pidana lainnya antara lain: transaksi bahan bakar ilegal dan tindak pidana perdagangan orang.
Praktik tindak pidana lintas batas negara di sektor perikanan ini perlu ditelusuri lebih lanjut oleh aparat penegak hukum berdasarkan kaitannya dengan tindak pidana keikutsertaan dalam kelompok kejahatan lintas batas (organized criminal group)16, tindak pidana pencucian uang (TPPU)17, tindak pidana korupsi18 dan penghalangan keadilan (obstruction of justice)19 sesuai dengan ketentuan UNTOC.
Sebelumnya, Indonesia pernah menangani kasus-kasus transnational organized fisheries crime yang melibatkan kapal ikan berbendera asing, seperti Silver Sea 2, STS-50, MV NIKA, dan MV Viking, serta kasus perbudakan dan perdagangan orang yang terjadi di Benjina, Maluku. Dalam kasus di Benjina, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menemukan gross violation of human rights terhadap Awak Kapal Perikanan (AKP) yang berasal dari berbagai negara. AKP tersebut bekerja pada kapal-kapal ikan, yang di dimiliki oleh PT Pusaka Benjina Resources dan group-nya, dan juga mengeksploitasi sumber daya perikanan Indonesia secara masif dan ilegal karena menggunakan alat tangkap ikan yang tidak ramah lingkungan serta menggunakan izin penangkapan ikan yang sudah tidak berlaku atau expired.
Berdasarkan data AIS, IOJI mendeteksi keberadaan dan pergerakan kapal perikanan berjenis pengangkut ikan bernama Fu Yuan Yu F77 di Laut Arafura, WPP-NRI 718. Pada laporan deteksi dan analisis IOJI yang dirilis tanggal 6 Februari 2024, kapal ini sudah terdeteksi sejak 5 September 2023 dan berangkat dari Pelabuhan Perikanan PT SIS di Tual menuju daerah penangkapan ikan WPP-NRI 718 di Laut Arafura.
Berdasarkan data perizinan berusaha subsektor penangkapan dan pengangkutan ikan Kementerian Kelautan dan Perikanan, tidak ditemukan kapal yang terdaftar dengan nama Fu Yuan Yu F77. Saat ini kapal Fu Yuan Yu F77 tidak terdaftar dan tidak memiliki izin penangkapan ikan di Indonesia. Fu Yuan Yu F77 pernah terdaftar di Indonesia sebagai kapal perikanan yang melakukan aktivitas perikanan pada tahun 2009 hingga 2015 atas nama PT Binar Surya Buana sebagai kapal pengangkut ikan yang berukuran 1500 GT dan panjang kurang lebih 78 meter. Kapal tersebut merupakan salah satu kapal dari 1.132 kapal yang terkena moratorium kapal eks asing pada 2015.
IOJI melakukan overlay data AIS dan citra satelit radar Sentinel-1 untuk memvalidasi keberadaan kapal tersebut. Berikut ini adalah hasil overlay data AIS kapal Fu Yuan Yu F77 dan Sentinel-1 pada 3 April 2024 di Laut Arafura.
IOJI melakukan perhitungan perkiraan panjang objek kapal yang diperkirakan kapal Fu Yuan Yu F77 hasil deteksi berdasarkan citra satelit Sentinel-1 dan mendapatkan hasil pengukuran 80 – 90 meter (Gambar 9). Spesifikasi panjang kapal Fu Yuan Yu F77 yaitu 78 meter. Terdapat selisih angka hasil pengukuran dan spesifikasi panjang kapal yang mungkin disebabkan karena adanya jejak gelombang (wave signature). Selisih yang tidak jauh antara angka hasil pengukuran panjang kapal dari citra satelit dan spesifikasi panjang kapal mengindikasikan bahwa objek yang terdeteksi berdasarkan AIS dan citra satelit merupakan kapal Fu Yuan Yu F77 atau kapal yang lain yang memiliki panjang sekitar 80 meter. Informasi yang didapat dari PSDKP KKP mengindikasikan bahwa kapal tersebut merupakan Kapal Ikan Indonesia yang sudah didaftarkan, namun AIS yang terpasang masih atas nama Fu Yuan Yu F77. Belum didapatkan informasi mengenai nama kapal tersebut. Informasi ini perlu ditelusuri lebih lanjut untuk mengonfirmasi bahwa AIS yang terdeteksi atas nama Fu Yuan Yu F77 adalah benar Kapal Ikan Indonesia. Pembuktian lapangan secara visual merupakan salah satu cara untuk memastikan informasi terkait Fu Yuan Yu F77.
Kehadiran kapal yang tidak mengoperasikan AIS dengan benar, atau disebut dengan kapal ‘gelap’, menjadi ancaman keamanan laut dan keselamatan pelayaran. Kapal ‘gelap’ yang tidak mengoperasikan AIS secara benar, seperti mematikan AIS atau memalsukan keberadaan kapal (spoofing), mengindikasikan bahwa kapal tersebut tengah menyembunyikan identitas dan lokasinya dari kapal lain dan aparat penegak hukum negara pantai, sehingga berpotensi menimbulkan risiko kecelakaan di laut (collision at sea) 20. Selain itu, kapal ‘gelap’ seringkali menggunakan flags of convenience (FOC) untuk menutupi identitas aslinya dengan tujuan melakukan kegiatan ilegal dan mengelabui aparat penegak hukum. 21
Kebenaran deteksi kapal Fu Yuan Yu F77 berdasarkan AIS, perlu dipastikan dengan pengamatan di lapangan. Ada kemungkinan AIS yang terdeteksi atas nama Fu Yuan Yu F77 belum tentu merupakan kapal yang dimaksud. Dalam hal kapal tersebut ternyata bukan kapal Fu Yuan Yu F77, maka kapal tersebut tidak mengoperasikan AIS dengan benar karena tidak mencantumkan identitas kapal sesuai dengan data dan detail kapal secara faktual.
Pasal 5 Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 18 Tahun 2022 tentang AIS (Permenhub 18/2022) mengatur kewajiban nakhoda untuk mengaktifkan dan memberikan informasi yang benar melalui AIS, termasuk nama dan jenis kapal. Tujuannya agar informasi AIS yang ditransmisikan dari kapal tersebut konsisten dengan informasi detail kapal, sehingga mudah dikenali oleh kapal-kapal di sekitarnya dalam rangka keselamatan pelayaran. Pelanggaran terhadap ketentuan tersebut akan dikenakan sanksi administratif berupa penundaan keberangkatan kapal sampai dipasang AIS di Kapal dan/atau denda administratif sebesar Rp 75.000.000,-. 22
Selain itu, tidak mengoperasikan AIS dengan benar merupakan pelanggaran terhadap Pasal 193 Undang-Undang No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran (UU Pelayaran), yaitu kewajiban Nakhoda untuk mematuhi ketentuan mengenai tata cara berlalu lintas, alur-pelayaran, sistem rute, daerah-pelayaran lalu lintas kapal, dan Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran. Pelanggaran terhadap Pasal 193 UU Pelayaran dapat dikenakan sanksi administratif berupa peringatan, pembekuan izin atau pembekuan sertifikat, atau pencabutan izin atau pencabutan sertifikat23. Pelanggaran terhadap Pasal 193 UU Pelayaran juga diancam pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda maksimum Rp 200.000.000,00 24. Apabila AIS yang terdeteksi atas nama Fu Yuan Yu F77 adalah benar kapal ikan asing yang beroperasi mengangkut ikan tanpa izin, maka kapal tersebut terindikasi melakukan pelanggaran terhadap Pasal 94 Undang-Undang Perikanan dan diancam pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 1.500.000.000,00.
Atas dasar dugaan pelanggaran hukum sebagaimana dimaksud di atas, maka penting bagi aparat penegak hukum Indonesia untuk memastikan kebenaran keberadaan kapal dengan AIS yang terdeteksi atas nama Fu Yuan Yu F77 tersebut. Apabila kapal tersebut ditemukan melakukan pelanggaran hukum berupa tidak mengoperasikan AIS secara benar dan melakukan pengangkutan ikan di wilayah perairan dan yurisdiksi Indonesia, maka upaya penegakan hukum perlu dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Laut Natuna Utara (LNU) adalah area laut Indonesia yang marak dengan aktivitas illegal fishing dan paling banyak dilakukan oleh kapal ikan Vietnam. Berdasarkan riset yang dilakukan oleh KKP pada tahun 2018, perkiraan minimum nilai kerugian ekonomi di ZEE-WPP-NRI 711 dari aktivitas 280 kapal yang melakukan illegal fishing mencapai 2,98 triliun rupiah. 25
Citra satelit optis (Sentinel-2), menunjukkan tingginya aktivitas kapal ikan dengan alat tangkap pair trawl di LNU, ZEE Indonesia 26. Berdasarkan citra satelit, pada 7 dan 29 Maret 2023 terdeteksi masing-masing 31 dan 32 kapal ikan Vietnam yang tersebar merata di zona utara Laut Natuna Utara. Jarak terdekat kapal-kapal tersebut dari Pulau Laut, yang merupakan salah satu pulau terluar Indonesia, kurang lebih hanya 50 mil. Pada 3 April 2023 jumlah kapal pair trawl yang terdeteksi meningkat sejumlah 61 kapal. Video yang diterima oleh IOJI dari Nelayan di Natuna menunjukkan rekaman aktivitas kapal ikan pair trawl yang tanggal 30 Maret 2024. 27
IOJI mengapresiasi keberhasilan Ditjen PSDKP menangkap 3 (tiga) kapal ikan asing berbendera Vietnam di Laut Natuna Utara dalam sebuah operasi penegakan hukum yang dipimpin langsung oleh Dirjen PSDKP.28
“Sepanjang tahun selalu terjadi aktivitas illegal fishing di Laut Natuna Utara oleh kapal ikan Vietnam”
Gambar di bawah ini menunjukkan tren jumlah kapal ikan Vietnam yang terdeteksi di Laut Natuna Utara zona non sengketa yang terdeteksi dengan menggunakan AIS dan citra satelit sejak Maret 2021 hingga April 2024.
“Data menunjukkan ketika jumlah patroli KRI menurun di LNU, jumlah kapal pair-trawl Vietnam cenderung meningkat, dan sebaliknya ketika jumlah patroli KRI meningkat, jumlah mereka yang terdeteksi cenderung menurun.”
Grafik tren pada gambar di atas (Mei 2021 hingga Februari 2024) adalah kombinasi dari data deteksi IOJI dan kajian Cahyo Wibowo (2024). Grafik tersebut menunjukkan bahwa jumlah kapal ikan asing Vietnam berkorelasi dengan jumlah kapal patroli Indonesia (dalam hal ini diwakili oleh jumlah KRI yang berpatroli di Laut Natuna Utara) yaitu ketika jumlah patroli KRI menurun di LNU, jumlah kapal Vietnam yang terdeteksi melalui citra satelit cenderung meningkat, dan sebaliknya ketika jumlah patroli KRI meningkat, maka jumlah kapal ikan Vietnam yang terdeteksi cenderung menurun, baik yang terdeteksi melalui citra satelit maupun AIS. Kondisi ini terus berulang dalam 3 tahun terakhir.
Lebih lanjut, berkenaan dengan kesepakatan antara Indonesia dan Vietnam mengenai batas Zona Ekonomi Eksklusif tanggal 22 Desember 2022, data menunjukkan bahwa kesepakatan dimaksud belum berdampak pada penurunan intensitas illegal fishing di LNU oleh kapal Vietnam.
“…berkenaan dengan kesepakatan antara Indonesia dan Vietnam mengenai batas Zona Ekonomi Eksklusif tanggal 22 Desember 2022, data menunjukkan bahwa kesepakatan dimaksud belum berdampak pada penurunan intensitas illegal fishing di LNU oleh kapal Vietnam”
Analisis Hukum
Hukum internasional telah memberikan rambu-rambu yang jelas bagaimana seharusnya sikap tindak negara-negara yang bersebelahan dan memiliki zona maritim yang berbatasan. Dalam skenario dimana batas maritim belum ditetapkan, rambu-rambu dimaksud sudah jelas, lebih jelas lagi pada skenario kesepakatan batas maritim sudah diraih oleh kedua negara.
Pada skenario pertama, UNCLOS mengatur bahwa kedua negara yang sedang dalam proses perundingan batas maritim wajib dan berupaya maksimal membuat perjanjian sementara (provisional arrangement) agar aktivitas manusia di area yang belum selesai batas maritimnya tersebut tetap dapat terlaksana dengan kondusif dan minim konflik.
Kewajiban ini mengandung tiga elemen penting, yaitu: (i) perjanjian sementara dibuat atas dasar semangat saling pengertian dan kerjasama; (ii) perjanjian sementara harus diupayakan semaksimal mungkin dan mudah dilaksanakan; dan (iii) perjanjian sementara tidak boleh mengganggu atau menghambat proses perundingan penyelesaian batas maritim. Berdasarkan ketiga elemen tersebut, disimpulkan bahwa UNCLOS menghendaki para pihak untuk memiliki itikad baik dan menjauhkan diri dari tindakan-tindakan yang berpotensi untuk mengganggu proses penyelesaian batas maritim.
Merujuk pada Putusan the Permanent Court of Arbitration pada kasus Guyana melawan Suriname, Pasal 74 ayat (3) UNCLOS tidak mewajibkan para pihak untuk menihilkan aktivitas di area tumpang tindih klaim. Namun demikian, jenis dan bentuk aktivitas yang boleh dilaksanakan di area tersebut harus merupakan aktivitas yang tidak mengganggu atau menghambat proses perundingan batas maritim kedua negara. Misalnya, riset kelautan yang sifat kegiatannya tidak merusak dan tidak berpotensi mengganggu hak berdaulat kedua negara di area tumpang tindih klaim. Sementara, aktivitas eksploitasi sumber daya tergolong dapat mengganggu dan menghambat tercapainya penyelesaian batas maritim dari kedua negara.
Pada skenario kedua, dimana telah terdapat kesepakatan batas ZEE, aktivitas penangkapan ikan oleh kapal ikan tanpa izin negara pantai adalah pelanggaran hak berdaulat negara pantai dan, berdasarkan Pasal 73 UNCLOS, negara pantai berhak untuk menegakkan hukum terhadap kapal dimaksud dan melaporkan kepada negara bendera kapal untuk mendapatkan remedy atas kerugian yang telah terjadi (Pasal 94 ayat (6) UNCLOS). Advisory opinion oleh the International Tribunal for the Law of the Sea Case No. 21 juga menegaskan bahwa negara bendera, “… is under an obligation, in light of the provisions of article 58, paragraph 3, article 62, paragraph 4, and article 192 of the Convention, to take the necessary measures to ensure that vessels flying its flag are not engaged in IUU fishing activities.” 29
Narahubung
Januar Dwi Putra
Direktur Program Keamanan Maritim dan Akses Keadilan
januardp@oceanjusticeinitiative.org
Publikasi
Rekaman diskusi laporan deteksi dan analisis ini dapat disaksikan ulang melalui channel youtube IOJI
Footnotes