28 July 2023

(Resensi Buku) The Blue Compendium: From Knowledge to Action for a Sustainable Ocean Economy

Judul buku: The Blue Compendium: From Knowledge to Action for a Sustainable Ocean Economy

Penulis: 250 kontributor

Tahun terbit: 2023

Penerbit: Springer International Publishing

Resensi oleh: Elis Nurhayati

 

Blue Compendium — sebuah kajian paling komprehensif yang digagas dan ditugaskan oleh High Level Panel for a Sustainable Ocean Economy (Ocean Panel) dan telah memengaruhi kebijakan dan aksi nyata untuk perlindungan laut — adalah produk dari upaya penuh dedikasi dari banyak pihak. Buku ini ditulis oleh lebih dari 250 kontributor dan pengulas yang saling memperkaya aset pengetahuan terkait laut dunia.

Ocean Panel sendiri didirikan pada September 2018 sebagai prakarsa unik para kepala negara dan pemerintahan dari seluruh dunia, untuk menampilkan sains, ilmu pengetahuan, dan pemikiran mutakhir terkini tentang isu-isu utama lautan.

Kemitraan dan kesadaran baru yang muncul dari penyusunan Blue Compendium menjadi contoh bagaimana para pemimpin pemerintahan dan pakar ilmu pengetahuan dapat terlibat secara produktif demi kepentingan masyarakat, bahu membahu membantu mempercepat transisi menuju tata kelola laut yang lebih berkelanjutan dan berkeadilan.

Buku kumpulan paper dan laporan yang dibagi menjadi 21 chapter ini mengidentifikasi jalan yang diilhami oleh ilmu pengetahuan/sains dan didukung sepenuhnya oleh para pemimpin visioner yang menawarkan solusi kelautan inovatif dalam bidang teknologi, kebijakan, tata kelola, dan keuangan.

Guna memberi gambaran mengenai isi buku, dua puluh satu bab tersebut adalah:
Chapter 1. The future of food from the sea; 2. The Expected Impacts of Climate Change on the Ocean Economy; 3. What Role for Ocean-Based Renewable Energy and Deep-Seabed Minerals in a Sustainable Future?; 4. The Ocean Genome: Conservation and the Fair, Equitable and Sustainable Use of Marine Genetic Resources; 5. Leveraging Multi-Target Strategies to Address Plastic Pollution in the Context of an Already Stressed Ocean; 6. Technology, Data and New Models for Sustainably Managing Ocean Resources; 7. Coastal Development: Resilience, Restoration and Infrastructure Requirements; 8. National Accounting for the Ocean and Ocean Economy; 9. Ocean Finance; 10. Critical Habitats and Biodiversity: Inventory, Threshold and Governance; 11. The Human Relationship with Our Ocean Planet; 12. The Ocean Transition: What to Learn from System Transitions; 13. Towards Ocean Equity; 14. Integrated Ocean Management; 15. Illegal, Unreported and Unregulated Fishing and Associated Drivers; 16. Organised Crime Associated with Fisheries; 17. The Ocean as a Solution to Climate Change: Five Opportunities for Action; 18. A Sustainable Ocean Economy for 2050: Approximating Its Benefits and Costs; 19. A Sustainable & Equitable Blue Recovery to the COVID-19 Crisis; 20. Ocean Solutions That Benefit People, Nature and the Economy; dan 21. Transformations for a Sustainable Ocean Economy: A Vision for Protection, Production and Prosperity.

Editor buku ini juga bukan tokoh sembarangan. Jane Lubchenco adalah Profesor Kehormatan Universitas di Oregon State University, ia ahli ekologi kelautan dengan keahlian perubahan iklim, dan interaksi antara lingkungan dan kesejahteraan manusia, menerima gelar B.A. dalam biologi dari Colorado College, gelar M.S. dalam zoologi dari University of Washington, dan gelar Ph.D. dalam ekologi dari Harvard University. Karier akademiknya sebagai profesor dimulai di Harvard University (1975-1977) dan dilanjutkan di Oregon State University (1977-2009) hingga pengangkatannya sebagai Administrator NOAA (2009-2013). Setelah itu, Jane adalah Haas Distinguished Visitor 2013 dalam bidang Pelayanan Publik di Stanford University. Adapun Peter Haugan, ia adalah Direktur Program di Institute of Marine Research dan profesor oceanography di Geophysical Institute, University of Bergen, Norwegia. Peter juga menjabat co-chairs the Expert Group for the High Level Panel for a Sustainable Ocean Economy bersama Jane.

Buku gres terbitan Springer tahun 2023 ini bersifat akses terbuka (open source) dan dapat diunduh secara gratis melalui tautan https://link.springer.com/book/10.1007/978-3-031-16277-0. Bagi mereka yang lebih menyukai membaca buku dalam bentuk hard copy, tersedia juga edisi hardcover dan softcover seharga 50 dan 40 Euro. Harga ini termasuk free shipping worldwide alias gratis ongkir ke seluruh penjuru dunia.

Terselip dua bab istimewa di buku Blue Compendium ini, yang turut disumbang oleh para pendiri IOJI. Secara ringkas akan dibahas di bawah ini.

Chapter 15 Illegal, Unreported and Unregulated Fishing and Associated Drivers

Bab ini memberikan pandangan mendalam tentang penangkapan ikan ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak diatur (IUU Fishing), mencakup penyebab dan konsekuensinya, terutama bagi ekonomi kelautan. Melihat luasnya area yang membutuhkan reformasi, Kompendium Biru ini menjabarkan metodologi untuk mengatasi IUU Fishing, termasuk praktik terbaik untuk menerapkan Perjanjian Tindakan Negara Pelabuhan dan cara lain untuk mencegah hasil penangkapan ikan secara ilegal memasuki pasar. Bab ini juga membahas cara untuk mempromosikan teknologi untuk memerangi IUU Fishing, strategi untuk transisi armada IUU Fishing, dan peran kemitraan regional dan internasional.

IUU Fishing menyumbang hampir 20% dari tangkapan dunia; hingga 50% di beberapa daerah, dengan negara-negara pesisir yang lebih miskin terpengaruh secara tidak proporsional. Di Samudra Pasifik, sebuah laporan memperkirakan 24% ikan tidak dilaporkan dan diperdagangkan secara ilegal di pasar internasional. Hal ini secara langsung menyebabkan hilangnya pendapatan kotor sebesar $4,3-8,3 miliar setiap tahun untuk ekonomi formal, dan hingga $21 miliar per tahun di seluruh rantai nilai ikan.

Selain itu, metode penangkapan ikan yang merusak dan praktik penipuan digunakan untuk meraup untung dengan mengorbankan perikanan lokal, negara pesisir, dan lingkungan laut. Dalam beberapa kasus, IUU Fishing dikaitkan dengan kejahatan termasuk narkoba, senjata, dan pelanggaran hak asasi manusia.

Itu kabar buruknya. Kabar baiknya adalah kini kita punya seperangkat alat untuk menghadapi IUU Fishing. Bab ini menunjukkan bahwa langkah besar dalam regulasi, teknologi, dan kerja sama global yang dilakukan dapat menekan IUU Fishing.

Uni Eropa telah memberlakukan undang-undang yang ketat selama dekade terakhir untuk menutup pasar ikan yang ditangkap secara ilegal, dan negara-negara lain meningkatkan peraturan perundangan mereka. Badan penegak hukum global Interpol sekarang memiliki unit khusus untuk membantu negara mengidentifikasi dan menangkap pelanggar. Negara-negara seperti Thailand, Indonesia, dan Spanyol memberikan hukuman yang lebih berat kepada kapal penangkap ikan secara ilegal. Dan kemajuan besar dalam teknologi seperti learning machine dan data satelit pada pergerakan kapal memudahkan untuk menemukan dugaan pelanggaran.

Masalah yang jelas nyata di depan mata dalam mengawasi lautan adalah bahwa luasnya lautan menutupi 70% dari planet ini. Hanya sedikit negara yang memiliki sumber daya untuk memantau dan menegakkan hukum di perairan mereka sendiri secara efektif, apalagi laut lepas. Tetapi negara-negara laut dan pesisir kini memiliki kesempatan untuk berpatroli dan menyeleksi siapa yang dapat menggunakan pelabuhan mereka, yang membawa perjuangan melawan IUU Fishing dari laut lepas ke darat, dan kini penegakkan hukum berada dalam jangkauan.

Untuk itu, salah satu perkembangan terbaru yang paling signifikan dalam membatasi IUU Fishing adalah Perjanjian Tindakan Negara Pelabuhan (Port State Measures Agreement/PSMA) 2016. Satu-satunya perjanjian internasional yang mengikat yang berfokus pada pemberantasan IUU Fishing, perjanjian ini menetapkan standar dan proses minimum yang perlu diterapkan pelabuhan ketika kapal asing ingin masuk – baik untuk membongkar muatan tangkapan, mengisi bahan bakar, atau melakukan perbaikan. Setiap kapal yang dicurigai melakukan praktik IUU Fishing dapat diperiksa atau ditolak aksesnya ke pelabuhan. Tidak ada yang menghalangi pencuri lebih baik daripada tidak bisa menurunkan barang di pelabuhan untuk kemudian memasuki pasaran.
Tetapi PSMA belum seefektif yang seharusnya.

Di bawah perjanjian PSMA, petugas dapat memeriksa izin dan catatan kapal penangkap ikan setiap kali mereka meminta masuk untuk berlabuh, tetapi seringkali, informasi hilang atau bertentangan. Pelaku usaha sering mengganti nama dan bendera kapal sebelum mereka datang ke pelabuhan sehingga catatan mereka tidak dapat dilacak. Dan dengan tekanan untuk menurunkan ikan, waktu untuk menggali latar belakang kapal menjadi singkat.

Terlepas dari semua kemajuan yang dibuat, armada penangkapan ikan global dirundung oleh kurangnya identifikasi kapal dan informasi aktivitas yang diperlukan, seragam, dan kuat. Inspeksi pelabuhan lebih murah dan lebih aman daripada memantau, mengejar, dan memeriksa kapal di tengah laut, tetapi tetap masih memerlukan investasi yang memadai pada manusia, teknologi, dan pelatihan untuk melacak informasi awal dan membagikannya secara efektif ke seluruh lembaga dan negara terkait.

Dengan mengadopsi langkah-langkah yang cost effective dan relatif sederhana, pelaku usaha perikanan ilegal yang sering nakal mengganti nama dan bendera kapal atau mematikan alat pelacak kapal untuk menyamarkan aktivitas mereka akan segera dianggap mencurigakan. Pejabat pelabuhan juga akan memiliki lebih banyak waktu untuk mengecek terduga pelaku IUU Fishing dan pada saat bersamaan dapat cepat secara otomatis memberi lampu hijau kepada para pelaku usaha perikanan/nelayan yang patuh.

Penulis utama makalah yang menjadi dasar bab ini adalah Sjarief Widjaja, Tony Long dan Hassan Wirajuda. Penulis yang berkontribusi termasuk Hennie Van As, Per Erik Bergh, Annie Brett, Duncan Copeland, Miriam Fernandez, Ahmad Gusman, Stephanie Juwana, Toni Ruchimat, Steve Trent dan Chris Wilcox. Mereka sepakat bahwa penerapan transparansi global yang radikal, kerja sama internasional yang terpadu, dan persyaratan masuk yang ketat dan seragam di semua pelabuhan adalah formula untuk mengakhiri perampokan ikan besar-besaran di lautan.

Chapter 16 Organised Crime in the Fisheries Sector
Bab ini menyajikan pengetahuan terkini tentang kejahatan terorganisir di sektor perikanan dalam konteks mengejar ekonomi laut yang berkelanjutan.

Tindak pidana di bidang perikanan yang telah bertahun-tahun menjadi perhatian masyarakat internasional semakin terorganisir. Seringkali bersifat transnasional, kejahatan semacam itu dapat terwujud dalam berbagai pelanggaran, yang paling umum adalah kejahatan ekonomi seperti pencucian uang, penipuan, pemalsuan, penggelapan pajak dan bea cukai, korupsi dan perdagangan manusia. Bukti anekdotal, ilmiah dan berbasis kasus dari banyaknya manifestasi kejahatan terorganisir dalam perikanan; dampak buruknya yang meluas terhadap ekonomi, masyarakat, dan lingkungan secara global; dan implikasi keamanan internasionalnya sekarang tersedia untuk umum.

Terlepas dari namanya, kejahatan terorganisir dalam perikanan tidak hanya tentang penangkapan ikan ilegal (IUU Fishing). Sementara penangkapan ikan ilegal merupakan masalah serius di banyak wilayah di dunia, kejahatan terorganisir di sektor perikanan meluas lebih jauh. Ini terjadi secara global di seluruh rantai nilai perikanan: di darat, di laut, di pesisir, dan di dunia maya. Terlepas dari lokasi di mana kejahatan terjadi atau bagaimana itu terjadi, efek berbahayanya berdampak besar pada populasi manusia di seluruh dunia.

Kejahatan terorganisir di sektor perikanan dapat terjadi dalam berbagai bentuk termasuk perdagangan narkoba dan manusia, dokumentasi tangkapan yang curang, pencucian uang dan korupsi — kejahatan yang berpotensi memiliki implikasi kemanusiaan yang mengerikan. Kejahatan-kejahatan ini digerakkan oleh keuntungan, mengalihkan pendapatan pemerintah ke ekonomi biru bayangan dengan mengorbankan masyarakat pesisir dan mengejar tujuan utama pembangunan berkelanjutan seperti pemberantasan kelaparan dan kemiskinan ekstrim, juga perdamaian, keadilan, dan institusi yang kuat. Kejahatan-kejahatan ini juga dapat secara langsung membahayakan mereka yang dieksploitasi.

Masyarakat di banyak negara laut dan pesisir, khususnya negara berkembang, bergantung pada sektor perikanan untuk sumber pangan dan mata pencaharian. Negara-negara laut besar sangat rentan terhadap gangguan di sektor ini, seperti yang baru-baru ini terekspos oleh dampak COVID-19. Jaringan kriminal yang beroperasi di sektor perikanan memperparah kerentanan ekonomi masyarakat pesisir lokal, mengancam ketahanan pangan yang sudah lemah dan mengalihkan pendapatan negara yang sangat dibutuhkan. Tetapi selalu ada harapan: mengatasi kejahatan terorganisir dalam perikanan secara efektif akan membantu mendorong ekonomi laut yang berkelanjutan yang, pada gilirannya, akan menguntungkan masyarakat yang bergantung pada laut dan sumber dayanya.

Tulisan ini mengacu pada berbagai bukti tersebut dan lantas menyajikan rekomendasi praktis praktik terbaik di seluruh dunia untuk mengatasi kejahatan terorganisir dalam perikanan, menekankan perlunya pemahaman bersama tentang masalah dan implementasi penegakan hukum kooperatif berbasis keterampilan berbasis intelijen di tingkat global, difasilitasi dengan kerangka kerja legislatif dan peningkatan transparansi.

Hasil temuan dari paper ini pernah didiskusikan melalui webinar ‘The Shadow Blue Economy: Tackling Organized Crime in Fisheries‘ pada 18 Agustus 2020. Webinar ini dimoderatori oleh Siri Bjun, Wakil Kepala Program Kejahatan Maritim Global, Kantor PBB untuk Narkoba dan Kejahatan dan menampilkan kata sambutan dari Menteri Perikanan dan Makanan Laut Norwegia Odd Emil Ingebrigtsen, bersama penulis Emma Witbooi, Kamal-Deen Ali, Mas Achmad Santosa, dan Sarika Maharaj. Mi Zhou dari Organisasi Perburuhan Internasional dan Gunnar Stølsvik, Direktur Spesialis, Kementerian Perdagangan, Industri dan Perikanan Norwegia, juga bergabung dalam diskusi panel.

Penulis utama makalah ini adalah Emma Witbooi, Kamal-Deen Ali dan Mas Achmad Santosa. Penulis yang berkontribusi termasuk Gail Hurley, Yunus Husein, Sarika Maharaj, Ifesinachi Okafor-Yarwood, Inés Arroyo Quiroz dan Omar Salas.

Para penulis sepakat bahwa banyak negara sudah membuat banyak kemajuan. Tulisan ini menyoroti Indonesia sebagai salah satu negara tersebut, di mana penegakkan hukum dan reformasi kebijakan yang berkaitan dengan kejahatan perikanan menyebabkan peningkatan stok ikan dari 7,31 juta ton pada tahun 2014 menjadi 12,54 ton pada tahun 2016. Menurut Kementerian Keuangan Indonesia, pendapatan pajak dari sektor perikanan meningkat pada tahun 2018 sebesar 1,6 triliun rupiah ($113 juta).

Kejahatan terorganisir di sektor perikanan merupakan penghalang utama untuk mencapai ekonomi laut yang berkelanjutan. Saat dunia mulai bangkit dari pandemi COVID-19, saat ini, lebih dari sebelumnya, kita membutuhkan laut yang sehat dan sektor perikanan yang bebas dari kejahatan untuk menyediakan layanan ekosistem utama dan manfaat ekonomi bagi mereka yang membutuhkannya.
Kedua tulisan ini terbit pertama kali di tahun 2020 oleh World Resources Institute. Selain terbit ulang menjadi bab 15 dan 16 di buku Blue Compendium Springer, kedua bab tersedia online di tautan ini: https://oceanpanel.org/blue-papers/organised-crime-associated-fisheries

Share: