Diskusi tentang keamanan maritim seringkali dilakukan dengan mengacu pada ‘ancaman’ dan ‘tantangan’ yang ada dalam ranah maritim.
Ancaman dan tantangan itu misalnya sengketa maritim antarnegara, terorisme maritim, pembajakan, perdagangan narkotika, orang dan barang terlarang, proliferasi senjata, penangkapan ikan ilegal, kejahatan lingkungan, atau kecelakaan dan bencana maritim.
Di Indonesia, ancaman dan tantangan tersebut tak lagi terbatas pada tantangan tradisional. Lebih dari itu, tantangan meluas kepada hal-hal non-tradisional, termasuk yang dipicu perubahan iklim.
Perubahan iklim memengaruhi sistem alam, yang pada gilirannya berdampak negatif pada sistem manusia, yang dapat menimbulkan, atau berkontribusi pada terjadinya kejahatan maritim.
Salah satu bentuk kejahatan maritim (misalnya penangkapan ikan ilegal) dapat berkontribusi pada munculnya kejahatan lain (misalnya pembajakan).
Pada saat yang sama, perubahan iklim telah diakui sebagai masalah utama bagi masyarakat pesisir. Dalam konteks ini, masalah tersebut berpotensi memberi dampak sosial-ekonomi, lingkungan dan kesehatan.
Sejumlah negara sedunia berkonsensus tentang perlunya memperdalam pemahaman terkait hubungan antara efek perubahan iklim dan ancaman terhadap keamanan maritim. Meski begitu, relasi antara perubahan iklim dan keamanan maritim belum secara efektif diterjemahkan ke dalam kebijakan.
Berangkat dari kondisi tersebut, IOJI bermitra dengan Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Kemenko Polhukam) dan International Conservation Caucus Foundation (ICCF) menyelenggarakan seminar dan lokakarya tentang keamanan laut.
Bertajuk “Pembangunan Keamanan Laut untuk Mendukung Pencapaian Target RPJPN 2025-2045”, seminar dan lokakarya terselenggara di Hotel Borobudur Jakarta pada 5 Juli 2023.
Dalam sambutan kunci, Menteri Politik, Hukum dan Keamanan Mahfud MD mengingatkan penguatan sektor kelautan sebagai salah satu visi emas RPJPN 2025-2045.
Presiden RI Joko Widodo meluncurkan Rancangan Akhir Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045 yang disusun Kementerian PPN/Bappenas untuk mewujudkan Visi Indonesia Emas 2045 pada 15 Juni 2023.
Presiden menegaskan tiga hal pokok yang menjadi acuan pembangunan Indonesia. Maing-masing stabilitas bangsa yang terjaga, keberlanjutan dan kesinambungan, serta sumber daya manusia yang berkualitas.
“Jangan hanya menang dari segi jumlah, tetapi juga harus dari segi kualitas SDM-nya. Baik secara fisik, skill, karakter produktif, dan karakter disiplin yang harus kita benahi total, termasuk penguasaan iptek,” ungkap Presiden seperti disitir dari web Bappenas.
Memahami bentuk dan sumber ancaman keamanan laut serta tingkat kewaspadaan dan kemampuan sistem keamanan laut nasional saat menjadi penting, kata Mahfud dalam sambutan kunci.
Dengan begitu, semua pihak yang berkepentingan dapat menyusun rencana penguatan sistem keamanan laut nasional yang mampu mengawal target-target pembangunan kelautan.
Dua Panel Diskusi
Seminar keamanan laut yang turut digagas IOJI terbagi atas dua panel diskusi.
Panel pertama menghadirkan tiga narasumber: Anggota Komisi 1 dan Badan Legislasi DPR RI, Christina Aryani; Kepala Badan Keamanan Laut RI, Laksamana Madya TNI Aan Kurnia; dan Asisten Operasi Kepala Staf TNI Angkatan Laut RI, Laksamana Muda TNI Denih Hendrata mewakili Kepala Staf TNI Angkatan Laut.
Diskusi berlanjut pada panel kedua dengan narasumber Bobby Adhityo Rizaldi yang merupakan Anggota Komisi I dan Co-chair Kaukus Kelautan DPR-RI,
Bogat Widyatmoko, Deputi Bidang Politik Hukum dan Keamanan BAPPENAS, dan Collin S.L. Koh dari Rajaratnam School of International Studies, Nanyang Technological University, Singapura.
Collin secara khusus membahas masalah geopolitik di Laut China Selatan. Ia menyampaikan tantangan non-tradisional seperti IUU fishing, perdagangan ilegal dan pencemaran laut akan tetap ada hingga 20 tahun mendatang.
Collin menambahkan, situasi geopolitik di kawasan rawan konflik seperti di Laut Cina Selatan harus dianggap serius karena akan semakin mengeskalasi ancaman nontradisional menjadi ancaman tradisional.
Alih-alih berkurang, katanya, “koordinasi dan kolaborasi antar pemangku kepentingan sudah seharusnya bertambah.”