21 March 2023

Dialog Transparency International akan Ekonomi Biru yang Adil dan Transparan

Co-founder IOJI, Stephanie Juwana turut menjadi pemapar dalam diskusi terkait ekonomi biru yang adil dan transparan di Indonesia, 21 Maret 2023.

Co-founder IOJI, Stephanie Juwana menyimpulkan empat hal yang mesti diperhatikan dalam pengembangan ekonomi biru. Mulai dari aspek keadilan hingga transparansi.

Transparency International (TI) Indonesia, Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia dan Pusat Studi Agraria (PSA) Institut Pertanian Bogor (IPB) mengadakan dialog terkait ekonomi biru yang adil dan transparan di Indonesia.

Terselenggara pada 20-21 Maret 2023, dialog ini memfasilitasi pemerintah, masyarakat sipil, asosiasi profesi, kelompok nelayan dan akademisi memetakan tantangan dalam implementasi program ekonomi biru.

Co-founder IOJI, Stephanie Juwana turut menjadi pemapar dalam diskusi ini. Ia memulai presentasi bertajuk “Governance untuk Mewujudkan Blue Economy yang Berkeadilan”.

Stephanie mengingatkan agar agenda blue economy jangan hanya difokuskan pada peningkatan kontribusi moneter dari sumber daya kelautan. Aspek keberlanjutan sumber daya kelautan dan keadilan jangan sampai dikorbankan. Pada kertas kerja “Blue Growth and Blue Justice” pada 2020, Bennett et al. memaparkan 10 ketidakadilan di laut yang dapat terjadi jika aspek keadilan tidak diperhatikan dalam agenda blue economy. Masing-masing adalah:

  1. Perampasan (dispossession), pemindahan (displacement) dan ocean grabbing
  2. Ketidakadilan lingkungan dari pencemaran dan limbah
  3. Degradasi lingkungan dan pengurangan ketersediaan layanan ekosistem
  4. Dampak mata pencaharian bagi nelayan skala kecil
  5. Hilangnya akses ke sumber daya laut yang dibutuhkan untuk ketahanan pangan dan kesejahteraan
  6. Distribusi manfaat ekonomi yang tidak merata
  7. Dampak sosial dan budaya dari pembangunan laut
  8. Marginalisasi perempuan
  9. Pelanggaran Hak Asasi Manusia
  10. Pengecualian dari pengambilan keputusan dan tata kelola

Dalam kesimpulannya, Stephanie mencatat beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pengembangan ekonomi biru. Masing-masing adalah:

  1. Tidak dapat hanya berorientasi pada peningkatan pendapatan dari sektor kelautan, namun juga harus memperhatikan aspek keadilan
  2. Aspek keadilan dapat dituangkan pada recognitional, procedural, dan distributional justice
  3. Mewujudkan ekonomi biru yang berkeadilan membutuhkan reformasi governance
  4. Transparansi adalah salah satu aspek penting dalam governance

 

Berpihak pada Masyarakat

Pada kesempatan yang sama, TI Indonesia, DFW Indonesia dan PSA IPB meluncurkan kertas kebijakan bertajuk “Rambu-Rambu Kebijakan Ekonomi Biru di Indonesia”. Kertas kerja ini secara garis besar menyoroti ekonomi biru Indonesia terkesan masih tidak berpihak pada subjek utamanya, yakni masyarakat pesisir lokal dan nelayan kecil tradisional. 

Beberapa rekomendasi kertas kebijakan yang telah disampaikan kepada Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) itu, di antaranya:

  1. Monitoring, pengawasan, dan penegakan hukum, dari perizinan hingga evaluasi implementasi kebijakan ekonomi biru– dan peka terhadap kearifan lokal.
  2. Transformasi digital dan teknologi (interoperabilitas dan integrasi data, kecerdasan buatan, dan sebagainya) perlu menjadi perhatian KKP untuk integrasi data yang mutakhir– hal paling dasar untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas K/L terkait.
  3. Harmonisasi dan formulasi kebijakan ekonomi biru ala pemerintah yang kolaboratif, dari Kementerian di level pusat hingga pemerintah provinsi dan pelaksana teknis di daerah agar kebijakan ekonomi biru ini masih dalam koridor yang benar.
  4. Pelibatan masyarakat yang partisipatif dalam perumusan aturan dan turunan kebijakan agar aturan yang ada berpihak pada masyarakat, tidak sekadar kepentingan nelayan dan pengusaha skala besar.
  5. Advokasi penerjemahan ekonomi biru yang sifatnya tidak hanya definisi normatif, tetapi kembali pada definisi yang kebijakan ekonomi biru yang adil dan tidak berujung pada pertumbuhan biru dan perampasan ruang.
  6. Kerja-kerja kolaborasi yang tidak hanya sebatas di ruang-ruang tertutup, tetapi masyarakat sipil juga perlu turun ke lapangan untuk merangkul dan melihat realita yang ada.

Share: