20 March 2023

Cerita para Jurnalis Investigasi Kejahatan Lingkungan Hidup di Wilayah Perairan dan Pesisir Indonesia

Enam jurnalis dinyatakan sebagai champion peliputan investigasi terkait kejahatan lingkungan hidup. Bekerja di wilayah “abu-abu”, seorang di antaranya mesti menyamar demi memperoleh data dan bukti akurat.

Di Pulau Batuwingkung, Sangihe, Sulawesi Utara, Ronny Adolf Buol berusaha mencari tahu praktik penangkapan illegal hiu. Melaut bersama nelayan setempat, tampaklah padanya proses penangkapan hiu yang sebagian besar menggunakan alat tangkap rawai permukaan. Tangkapan terbesar adalah hiu lanjaman.

Tak berhenti di situ, jurnalis zonautara.com itu menelusuri tujuan distibusi daging illegal tersebut. Ia akhirnya memperoleh jawaban: daging hiu dijual ke Manalu dan Petta—titik pendaratan komoditas utama ikan di Sangihe.

Lokakarya “Championing Environmental Crime Reporting in Indonesia, 2021-2023” di Perpustakaan Nasional, Jakarta Pusat pada 20 Maret 2023.

Petta merupakan salah satu titik temu pelaut dari Filipina dan Indonesia. “Di Petta, sirip hiu berkualitas terbaik dijual hingga Rp1,45 juta per kilogram,” katanya melanjutkan, “dan tak saya temukan pengawasan dari aparat terkait di sana.” Dalam paparannya, ia menyebutkan personel Balai Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut (BPSPL) Makassar cukup terbatas dan tak ada yang ditempatkan di Sangihe.

Ceritanya berkesuaian dengan peliputan Abdus Somad, jurnalis jaring.id. Melaut di kawasan pantai utara (pantura) Pulau Jawa, Abdus menemukan penangkapan beberapa spesies hiu dan pari yang dilindungi. 

“Di pantura, isu hiu dan pari cukup sensitif. Sekali kita ‘masuk’ dan menyatakan diri sebagai jurnalis, pasti akan diusir,” kata Abdus dalam paparannya. Demi memenuhi kebutuhan akan data-data penunjang liputannya, Abdus akhirnya menyamar: sebagai nelayan, kuli angkut ikan dan calon pembeli tangkapan.

“Kalau tidak begitu, kami [jurnalis investigasi] tak akan mendapatkan apa-apa,” katanya.

 

Hutan Mangrove yang Menyusut di Timur Indonesia

Tantowi Djauhari terdiam sejenak. Ia tampak menghela napas dan mengusap bagian bawah matanya sebelum berkata, “hutan mangrove di Bintuni sudah rusak.”

Hutan mangrove di Teluk Bintuni, Papua Barat seluas 228.419 hektare. Luasnya berkontribusi sebesar 52 persen dari keseluruhan hutan mangrove di Papua Barat. 

Kini, kata Tantowi, “hutan mangrove Bintuni terus menyusut.” Dalam liputannya, ia mendapati beberapa penyebab, antara lain, peran perusahaan konsesi yang tak melakukan reboisasi maupun penebangan liar oleh masyarakat setempat di zona pelindung. “Padahal hutan mangrove di teluk Bintuni didamba-damba sebagai paru-paru Papua Barat,” kata Tantowi.

Penyusutan hutan mangrove juga ditemukan Alfonsa Jumkon Wayap. melakukan peliputan mendalam di kawasan hutan mangrove di Teluk Youtefa, Jayapura, ibu kota Papua. “Secara sosial dan adat, hutan mangrove di Teluk Youtefa menjadi sumber mata pencaharian perempuan setempat,” kata Alfonsa.

Dulu, para perempuan adat setempat mencari kerang dan kepiting di Teluk Youtefa pada musim melaut. Lumrahnya berlangsung mulai Maret hingga Agustus. 

Tangkapan kerang dan kepiting hingga delapan ember per orang itu kemudian disimpan di lubang penyimpanan di bawah rumah mereka. Kelak, menjelang akhir tahun, ikan dan kerang akan dimasak sebagai pengganti ikan selama suami mereka tak melaut.

“Dulu begitu, sekarang tidak lagi,” kata Alfonsa. Hutan mangrove Teluk Youtefa mulai tercemar. Pembangunan menyisakan sampah-sampah yang tersangkut pada akar-akar pohon bakau. Kerang-kerang mati.

 

Melaut Bersama Nelayan Kecil

Melaut bersama nelayan dan berbekal buku catatan koordinat, Yogi Eka Sahputra mendapati terumbu karang rusak di perairan non-sengketa di Natuna. Beberapa nelayan juga mengeluhkan tangkapan mereka berkurang sekitar 50 persen di koordinat-koordinat tersebut. 

“Temuan nelayan kemudian kami overlay dengan analisis IOJI,” kata Yogi dalam paparannya. Hasil pantauan satelit yang dilakukan IOJI menunjukkan keberadaan kapal-kapal ikan Vietnam di sekitar koordinat yang dicatat nelayan setempat.

Sementara itu, kontributor Tempo, Irsyan Hasyim Inding menginvestigasi potensi “bibit konflik di jalur tuna” di Bitung, Sulawesi Utara. Peliputannya berawal dari 51 anak buah kapal yang dirumahkan, sesudah perizinan kapal penangkap ikan mereka dicabut oleh Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan. 

Ia juga sempat meliput ke perairan Halmahera. Di sana, kapal-kapal besar merangsek ke wilayah tangkap nelayan kecil.  “Temuan kami di dua tempat itu mengindikasikan beberapa pelanggaran, termasuk soal ketenagakerjaan, yang selama ini aturannya masih berkelindan,” kata Irsyan. 

Keenam jurnalis tersebut merupakan champion peliputan investigasi yang terselenggara atas kolaborasi KBR, Environmental Justice Foundation, Environmental Reporting Collective dan Tempo Institute. 

Paparan mereka atas proses peliputan investigasi di pelbagai wilayah perairan Indonesia berlangsung dalam lokakarya “Championing Environmental Crime Reporting in Indonesia, 2021-2023” di Perpustakaan Nasional, Jakarta Pusat pada 20 Maret silam. 

Share: