Oleh Gabriella Gianova dan Andreas Aditya Salim
“The ship has reached the shore,” presiden konferensi, Rena Lee, mengumumkan di markas besar Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York, Amerika Serikat, pada 5 Maret. Pernyataannya menandai hari bersejarah bagi negara anggota Konvensi PBB tentang Hukum Laut karena naskah perjanjian tentang Konservasi dan Pemanfaatan Berkelanjutan Keanekaragaman Hayati Laut di Luar Yurisdiksi Nasional (“Perjanjian BBNJ”) selesai dibahas setelah negosiasi yang memakan waktu bertahun-tahun.
Perjanjian BBNJ dirancang untuk perlindungan dan pemanfaatan berkelanjutan keanekaragaman hayati laut di wilayah laut yang berada di luar yurisdiksi negara-negara (laut lepas) dan dasar laut dan tanah di bawah laut yang terletak di luar yurisdiksi negara-negara (the area). Area-area ini bersama-sama disebut Area di Luar Yurisdiksi Nasional (ABNJ).
Saat ini, sebagian besar ABNJ tidak terlindungi dan menghadapi berbagai ancaman seperti perubahan iklim, polusi, hilangnya keanekaragaman hayati, dan ancaman lain yang ditimbulkan oleh aktivitas manusia di laut. Kesepakatan BBNJ diharapkan dapat menjaga lingkungan laut di tengah ambisi manusia untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi lautan.
Perjanjian ini bisa dibilang merupakan perjanjian multilateral terlengkap yang menggabungkan prinsip-prinsip perlindungan lingkungan, antara lain prinsip pencemar-membayar, prinsip kehati-hatian, pendekatan ekosistem, ketahanan ekosistem, non-transfer kerusakan atau bahaya dan pendekatan terpadu untuk pengelolaan laut.
Ada empat komponen penting dari perjanjian BBNJ. Yang pertama adalah pemanfaatan Sumber Daya Genetik Laut (MGR) secara berkelanjutan dan pembagian manfaat yang adil dan merata dari pemanfaatan tersebut. MGR berarti setiap bahan tumbuhan laut, hewan, mikroba atau asal lainnya yang mengandung unit fungsional hereditas yang bernilai aktual atau potensial.
Isu MGR mencakup pengumpulan MGR di laut, tindakan sebelum pengumpulan, bagaimana keuntungan dapat dibagi secara adil dan merata antara negara maju dan negara berkembang serta mekanisme pemantauan dan transparansi.
Kedua, Manajemen Berbasis Wilayah (ABMT). ABMT merupakan mekanisme manajemen wilayah laut, termasuk kawasan lindung laut, atas kawasan yang ditentukan secara geografis dimana satu atau beberapa kegiatan yang berada di dalam kawasan tersebut dikelola dengan tujuan untuk mencapai tujuan konservasi dan pemanfaatan berkelanjutan tertentu sesuai dengan perjanjian BBNJ.
Sebagaimana jelas tertulis dalam definisinya, tujuan utama ABMT adalah untuk melindungi, melestarikan, memulihkan, dan memelihara keanekaragaman hayati dan ekosistem, termasuk dengan maksud untuk meningkatkan produktivitas dan kesehatan mereka, dan memperkuat ketahanan terhadap stressor, termasuk yang terkait dengan perubahan iklim, naiknya kadar asam air laut dan pencemaran laut.
Perjanjian BBNJ mewajibkan para anggotanya untuk mengusulkan, baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama, pembentukan ABMT. Oleh karena itu, negara pihak sangat diharapkan untuk berperan aktif dalam isu khusus ini.
Ketiga, analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL). AMDAL berarti proses untuk mengidentifikasi dan mengevaluasi potensi dampak lingkungan dari suatu kegiatan untuk pengambilan keputusan. Karena laut sangat terhubung secara fisik dan biologis, kerusakan di suatu wilayah dapat menyebabkan kerusakan di wilayah lain.
Oleh karena itu, perjanjian BBNJ mewajibkan pihak yang akan melakukan kegiatan untuk menilai, melalui empat langkah, yaitu penapisan dan pelingkupan, penilaian dan evaluasi dampak serta pencegahan, mitigasi dan pengelolaan potensi dampak buruk, untuk memutuskan apakah kegiatan yang diusulkan aman untuk lingkungan laut. AMDAL harus tersedia untuk umum dan dikonsultasikan.
Keempat, Peningkatan Kapasitas dan Transfer Teknologi Kelautan (CBTMT). CBTMT yang didukung dengan sumber daya yang cukup dan berbasis kebutuhan sangat penting untuk memastikan partisipasi tinggi dari negara berkembang, terutama yang terkurung daratan, negara yang secara geografis tidak beruntung, negara berkembang kepulauan kecil, negara pesisir Afrika, negara kepulauan, dan negara berkembang berpenghasilan menengah dalam implementasi BBNJ.
Perjanjian BBNJ mengatur CBTMT harus menjadi proses yang digerakkan oleh negara, transparan, efektif dan berulang yang partisipatif, lintas sektoral, dan tanggap gender.
Penting bagi Indonesia untuk meratifikasi perjanjian BBNJ karena beberapa alasan.
Pertama, pembagian keuntungan. Perjanjian ini memberikan banyak peluang bagi Indonesia untuk berpartisipasi dalam implementasi perjanjian ini melalui beberapa mekanisme, yaitu kerjasama internasional, pembagian keuntungan moneter dan non-moneter serta mekanisme clearing-house-nya.
Mekanisme clearing house adalah salah satu mekanisme operasional utama dari perjanjian BBNJ yang berfungsi sebagai database terpusat mengenai MGR, EIA, ABMT dan CBTMT untuk negara anggota serta memfasilitasi kerjasama internasional antar negara anggota. Sangatlah penting bagi pemerintah Indonesia untuk proaktif dalam menggunakan mekanisme ini.
Kedua, perlindungan lingkungan laut. ABNJ berbatasan dengan yurisdiksi Indonesia (Samudra Hindia di Barat dan Samudra Pasifik di Timur Laut). Kerusakan lingkungan di ABNJ berbahaya bagi lingkungan laut dalam yurisdiksi Indonesia.
Untuk kepentingan melindungi lingkungan lautnya, Indonesia harus aktif selama proses pembentukan ABMT serta dalam pengembangan AMDAL, khususnya bila kegiatan yang diusulkan berdekatan dengan yurisdiksi Indonesia. Pemerintah Indonesia mulai sekarang harus mempersiapkan diri agar partisipasi yang berarti dalam kegiatan-kegiatan tersebut di atas dapat tercapai.
Ketiga, peningkatan kapasitas dan transfer teknologi kelautan. Pemanfaatan dan pengelolaan MGR membutuhkan biaya yang besar dan teknologi yang sangat canggih. Namun karena perjanjian BBNJ memberikan perhatian yang besar kepada negara-negara berkembang termasuk Indonesia melalui mekanisme CBTMT, tantangan tersebut seharusnya tidak menjadi penghalang Indonesia untuk berpartisipasi dalam pelaksanaan perjanjian BBNJ. Di sini, sekali lagi, yang terpenting adalah pemerintah proaktif dalam implementasi CBTMT.
Terakhir, mekanisme penyelesaian sengketa. Pemanfaatan sumber daya alam merupakan bidang yang rawan konflik dan tidak terkecuali Indonesia. Dalam hal ini, perjanjian BBNJ mengatur mekanisme kepatuhan dan penyelesaian sengketa bagi para anggotanya.
Kapanpun dan dimanapun terjadi ketidakpatuhan dalam pelaksanaan perjanjian BBNJ, Indonesia harus memperjuangkan penghentian ketidakpatuhan tersebut dan ketika konflik tidak dapat dihindari, mekanisme penyelesaian sengketa dalam perjanjian BBNJ harus digunakan.
Ringkasnya, kesepakatan BBNJ berarti peluang bagi Indonesia: Memperoleh manfaat dan melindungi lingkungan laut. Indonesia harus meratifikasi perjanjian ini jika ingin memanfaatkan kesempatan ini.
Sambil menunggu berlakunya perjanjian BBNJ, pemerintah harus mempersiapkan diri untuk tahap implementasi dengan merumuskan dan menyelaraskan kebijakan yang relevan serta mengalokasikan sumber daya yang cukup.
* Para penulis adalah peneliti di Indonesia Ocean Justice Initiative.
** Artikel ini merupakan versi penerjemahan dalam bahasa Indonesia. Artikel opini ini sebelumnya terbit dalam bahasa Inggris pada laman The Jakarta Post.