8 March 2023

(Opini) Memetakan Peta Jalan Penguatan Governance Karbon Biru

Tangkapan layar dari laman Jakarta Post yang memuat opini Mas Achmad Santosa dan Karenina Lasrindy.

Oleh Mas Achmad Santosa dan Karenina Lasrindy

Di bawah kepemimpinan Indonesia, pertemuan G20 di Bali pada tahun silam turut mengadopsi Deklarasi Pemimpin G20 Bali (G20 Bali Leaders’ Declaration). 

Pasal 15 deklarasi tersebut menegaskan komitmen para pemimpin untuk “meningkatkan upaya” menghentikan sekaligus memulihkan hilangnya keanekaragaman hayati, termasuk melalui solusi berbasis alam (nature-based solutions) dan pendekatan berbasis ekosistem (ecosystem-based approaches), serta mengakui peran mangrove dan lamun dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. 

Mangrove dan lamun, yang dikenal sebagai ekosistem karbon biru (EKB) juga memberi manfaat bernilai tinggi terhadap perlindungan dan penghidupan masyarakat pesisir serta keanekaragaman hayati laut. 

Pencantuman EKB dalam deklarasi tersebut–yang dikenal juga sebagai “diplomasi mangrove”–merupakan tonggak sejarah Presiden Joko  Widodo (Jokowi). Di Bali, Presiden Jokowi  berhasil membawa para pemimpin G20 ke Taman Hutan Raya Ngurah Rai yang seluas 1.300 hektare untuk menanam bibit mangrove. 

Strategi ini menunjukkan komitmen kuat pemerintah Indonesia guna melindungi ekosistem pesisir. Komitmen tersebut diharapkan dapat menginspirasi negara-negara lain G20, rumah bagi sejumlah besar kawasan hutan bakau dunia. Secara keseluruhan, lima negara G20 (Indonesia, Brasil, Australia, India, dan Meksiko) memiliki 49 persen dari keseluruhan hutan bakau global. Seperlima di antaranya (3,3 juta hektare) berada di Indonesia. Pasal 15 Deklarasi Bali harus diperkuat melalui kemitraan dan tindakan nyata lebih lanjut G20 di bawah kepemimpinan India saat ini.

Pada periode 2009-2019, Indonesia diprediksi kehilangan 18.209 hektare mangrove setiap tahunnya (Arifianti et al., 2021). Deforestasi mangrove tertinggi (48,6 persen) ditemukan paling banyak terjadi di Area Penggunaan Lain (APL), disusul hutan produksi (27 persen), hutan lindung (17 persen) dan hutan konservasi (8 persen) (Arifianti et al., 2021).

Terdapat setidaknya dua peluang di balik penguatan perlindungan mangrove. Pertama, laju deforestasi mangrove global sebenarnya sudah melambat (Global Mangrove Alliance, 2022). Kedua, data terbaru juga menunjukkan peningkatan jumlah mangrove di Indonesia sejak 2019 (Peta Mangrove Nasional tahun 2021).

Namun, 21 persen mangrove masih berada di APL (702.798 hektare) dan 30 persen di hutan produksi (1.001.614 hektare). Data yang mengkhawatirkan ini mendesak opsi kebijakan yang dapatmeningkatkan perlindungan di APL dan hutan produksi. 

Peran masyarakat yang bergantung pada mangrove harus diperkuat dalam APL untuk mendukung mata pencaharian mereka. Pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya harus secara konsisten memfasilitasi dan membina mereka sebagai bagian dari perlindungan ekosistem.Penting untuk menetapkan ketentuan tertentu yang mewajibkan pengelola hutan produksi memperkuat perlindungan terhadap mangrove. 

Menarik untuk dicermati kebijakan karbon biru Indonesia yang tumbuh signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Pada 2021, Presiden Jokowi menetapkan target rehabilitasi mangrove nasional yang ambisius (walaupun menantang) seluas 600.000 hektare pada 2024.

Target ini menunjukkan urgensi untuk melindungi EKB sebagai aset penting Indonesia. Urgensi kian dipertegas dengan penerbitan Peraturan Presiden (Perpres) No. 98 Tahun 2021 tentang Nilai Ekonomi Karbon. Perpres tersebut membahas karbon biru sebagai bagian dari upaya mitigasi dengan pemerintah, pihak swasta, dan masyarakat lokal sebagai penerima manfaatnya.

Upaya penguatan perencanaan dan koordinasi kebijakan dapat dilihat dari pembentukan kelompok kerja (Pokja) Mangrove Nasional dan penyusunan Roadmap Rehabilitasi Mangrove Nasional 2021-2030, serta baru-baru ini, Strategi Nasional Lahan Basah (termasuk mangrove). 

Dalam Forum Ekonomi Dunia atau WEF  tahun ini di Davos, Indonesia dan WEF menandatangani letter of intent dan mengumumkan Indonesia sebagai mitra pertama Blue Carbon Action Partnership (Kemitraan Aksi Karbon Biru)

IOJI meluncurkan laporan tentang Tata Kelola Ekosistem Karbon Biru dalam seminar yang diselenggarakan bersama dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) pada Januari lalu. Dalam sambutannya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya menggarisbawahi  pendekatan FOLU Net Sink dan komitmen untuk mencapai “governance karbon.”

Perlindungan EKB di Indonesia diatur dalam berbagai rezim hukum yang menyediakan berbagai “instrumen perlindungan”, termasuk kawasan lindung, perhutanan sosial, kawasan ekosistem esensial dan wilayah kelola adat. Instrumen perlindungan potensial yang sedang dikembangkan adalah Kawasan Cadangan Karbon Biru yang diatur dalam rezim perencanaan tata ruang. Kawasan ini direncanakan dalam 15 Kawasan Strategis Nasional Tertentu (KKP, 2023).

Meskipun instrumen perlindungan ini tampak menjanjikan, celah ancaman tetaplah ada. Kerangka hukum dan kebijakan yang saat ini tersedia belum memberikan perlindungan yang kuat terhadap EKB. Undang-undang (UU) masih memungkinkan substitusi atau penggantian sepenuhnya (alihfungsi) instrumen perlindungan EKB. Secara spesifik, kegiatan-kegiatan ekonomi tertentu dalam UU Cipta Kerja dapat mengesampingkan instrumen perlindungan terhadap EKB.

Pembangunan proyek-proyek strategis nasional yang berpotensi menggantikan mangrove yang tersedia–meskipun EKB dianggap sebagai critical natural capital (CNC)–dapat menimbulkan kerugian yang besar. Bahkan, laporan Bank Dunia (2021) menemukan konservasi mangrove yang tersedia (existing)memiliki nilai ekonomi yang lebih besar ketimbang harus restorasi.

Oleh karena itu, pemerintah harus menghindari mengambil “jalan mudah” (easy road) untuk mengganti instrumen perlindungan EKB dengan kegiatan ekonomi lainnya. Laporan IOJI menawarkan beberapa rekomendasi kebijakan utama untuk membuka jalan bagi perlindungan yang efektif.

Pertama, mendefinisikan EKB sebagai CNC sesuai konsep strong sustainability, yang sejalan dengan pasal 33 ayat 4 UUD 1945, yang mengakui pembangunan berkelanjutan dan berkeadilan ekologis.

Kedua, menetapkan persyaratan yang ketat untuk mensubstitusi atau sepenuhnya menggantikan CNC dengan kegiatan ekonomi lainnya.

Ketiga, memperkuat tenurial pesisir untuk melengkapi dan mendukung jaminan tenurial bagi masyarakat yang bergantung pada karbon biru.

Keempat, memperjelas peran dan fungsi serta memperkuat mekanisme koordinasi antarkementerian dan lembaga terkait.

Kelima, mempercepat penyusunan rencana aksi atau roadmap pengelolaan dan perlindungan EKB dengan mengoptimalkan dan menyinergikan kerja-kerja kementerian dan lembaga melalui proses yang terintegrasi dan inklusif.

Keenam, mengembangkan sistem pengawasan dan penegakan hukum yang efektif melalui penguatan kapasitas, kapabilitas, dan integritas aparat penegak hukum. Tindakan tersebut diperlukan untuk mewujudkan sepenuhnya potensi EKB dalam pengurangan risiko bencana, melindungi dari dampak buruk iklim sekaligus mencapai targetiklim Indonesia. 

Ambisi itu termasuk memasukkan EKB dalam upaya mitigasi pada Nationally Determined Contribution kedua Indonesia yang direncanakan untuk 2025 dan, yang juga penting, untuk meningkatkan penghidupan masyarakat yang bergantung pada karbon biru.

*** Mas Achmad Santosa adalah CEO IOJI dan dosen hukum lingkungan, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia. Karenina Lasrindy adalah manajer program IOJI untuk Blue Carbon Ecosystem Governance

 

Opini ini pertama kali terbit di laman Jakarta Post pada 6 Maret 2023.

Share: