17 February 2023

(Resensi Buku) The Outlaw Ocean: Journeys Across the Last Untamed Frontier 

Judul: The Outlaw Ocean: Journeys Across the Last Untamed Frontier

Penulis: Ian Urbina

Jumlah halaman: 560

Tahun terbit: 2019

Penerbit: Knopf

 

Resensi oleh Anastasia Ika

Laut lepas (high seas) kerap menjadi tempat terjadinya tindakan terlarang, dan Ian Urbina—jurnalis investigasi pemenang Penghargaan Pulitzer—terayun-ayun gelombang laut demi menemukannya.

Urbina berkeliling dunia dalam misi berisiko. Berpindah antarkapal, ia menyusun katalog terkait aktivitas tercela manusia di tengah laut yang tak berbatas. Penyelundup, pedagang manusia, bajak laut dan pencemar mengisi lebih dari 400 halaman The Outlaw Ocean: Journeys Across the Last Untamed Frontier

Ia mengambil tema yang luar biasa, yakni tentang degradasi bencana: manusia, lingkungan, perbatasan, dan supremasi hukum (atau setidaknya ilusi tentangnya). 

Di perairan dingin Samudra Antartika, Urbina menaiki kapal dalam pengejaran lambat selama berbulan-bulan terhadap operasi perburuan ikan yang terkenal kejam. Di rumah bordil tepi laut Thailand, pelacur yang diperdagangkan menarik perhatian para lelaki muda yang, tanpa mereka sadari, telah menjadi pekerja budak di kapal penangkap ikan. 

Urbina menyibak tabir tebal pada budaya kriminal global, tepat ketika kerusakan yang ditimbulkan di lautan semakin parah.

 

Kerakusan Berujung Kematian di Tengah Laut

Malam pada 14 Agustus 2010, kapten Oyang 70, sebuah kapal penangkap ikan Korea Selatan (Korsel), mengemudikan bejananya keluar dari Pelabuhan Chalmers, Selandia Baru. Pelayaran malam itu, tulis Urbina pada pembuka bab “The Scofflaw Fleet”, akan menjadi perjalanan terakhir sang kapten.

Oyang 70 mengangkut 8 petinggi anjungan asal Korsel, 36 awak kapal Indonesia, 6 dari Filipina seorang lainnya berkebangsaan China. Upah rata-rata awak kapal asal Indonesia sekitar US$180 per bulan (kini setara Rp2,7 juta). 

Di atas Oyang 70, persoalannya tak cuma soal upah rendah. Sejumlah awak kapal mengaku kerap dipanggil dengan nama-nama binatang. Sehari-hari mereka minum air kecokelatan dan berbau logam. Upah mereka dipangkas jika terlalu lama makan—yang menunya seringkali hanya nasi dan ikan mentah hasil tangkapan. 

Urbina mewawancarai sejumlah mantan awak Oyang 70 asal Indonesia pada 2017. “Awak kapal menyebut tempat bekerja mereka sebagai ‘lemari pendingin yang terapung di tengah laut’ lantaran sistem pemanas tak pernah berfungsi,” tulis Urbina. Kecoa mati di mana-mana, yang menyebabkan bau menyengat di segenap kabin kumuh para awak kapal. 

Malam itu para awak menyadari mereka telah menangkap ikan, jauh lebih banyak ketimbang yang dapat dimuat di kapal. “Tak ada yang tahu pasti berapa total beratnya karena tak ada baterai pada timbangan,” tulis Urbina. 

Kapal seberat 1.870  ton itu kian terombang-ambing di tengah cuaca buruk. Beberapa awak tampak memprotes petinggi anjungan, berharap mereka dapat membuang kembali sejumlah kilogram ikan ke laut. Protes yang, tentu, tak didengar.

Oyang 70 akhirnya karam. Sebanyak tiga awak kapal asal Indonesia ditemukan meninggal dalam insiden tersebut. Belasan penyintas menderita hipotermia akut. Jasad kapten kapal tak pernah ditemukan. “Adalah kerakusan, bukan air laut, yang menenggelamkan Oyang 70,” tulis Urbina.