31 January 2023

Seminar “Penguatan Blue Carbon Ecosystem Governance”

Restorasi ekosistem karbon biru tak hanya tentang pemulihan fungsi ekologi. Pemerintah harus memastikan masyarakat berperan serta dan memperoleh keuntungan dari praktik pemulihannya.

“Mangrove sama pentingnya dengan rumput laut, udang, kepiting dan bandeng,” demikian Subhan membuka presentasinya dalam seminar “Penguatan Blue Carbon Ecosystem Governance”. Mangrove, katanya kemudian, “menyuplai oksigen dan pakan bagi udang dan bandeng yang menjadi sumber penghidupan para petambak.”

Subhan merupakan seorang petambak di delta Sungai Mahakam, Salo Sombala, Kalimantan Timur. Dulu, ia membabat mangrove sebagai bagian dari usaha membuka usaha tambak. “Awalnya pendapatan kami besar. Tetapi lama-lama berkurang. Di situlah saya menyadari, pengrusakan [ekosistem mangrove] yang kami lakukan ini salah,” kata Subhan.

Pada 2019, “kami secara berkelompok mulai menanam kembali mangrove dan menerapkan budi daya yang berkelanjutan,” katanya. Pada tahun itu pula ia dan para anggota kelompok tani hutannya membentuk Kelompok Tani Hutan Ramah Lingkungan Salo Sombala, dengan Suhan sebagai ketuanya.

Pada satu hektare lahan, mereka menanam 800 mangrove sekaligus menambak dua ton rumput laut, 10 ribu ekor udang windu dan 2.000 bandeng. “Kami berusaha mengedukasi petambak akan manfaat penyatuan mangrove dan budi daya polikultur di tempat yang sama,” kata Suhan. 

Praktik yang diinisiasi Subhan disebut dengan silvofishery. Dalam silvofishery, pembudi daya memadukan fungsi ekologi dan ekonomi ekosistem mangrove tanpa harus menghilangkan keberadaan mangrove di kawasan tersebut. “Dengan memadukan fungsi ekologi dan ekonomi mangrove, kami berharap tambak-tambak yang tadinya gundul dapat kembali hijau dan sejuk,” kata Suhan.

 

Keterlibatan Masyarakat

Upaya yang dilakukan Subhan dan teman-teman sesama petambak di delta Sungai Mahakam selaras dengan pernyataan Center for International Forestry Research (CIFOR) Principal Scientist, Prof. Daniel Murdiyarso.

Dalam restorasi karbon biru, “pemerintah perlu memastikan masyarakat berperan serta dan memperoleh keuntungan, baik secara ekonomi maupun lingkungan yang mampu menopang kehidupan mereka,” kata Daniel di sela-sela presentasi seminar peluncuran kajian IOJI,  “Ekosistem Karbon Biru sebagai Critical Natural Capital: Blue Carbon Ecosystem Governance di Indonesia”.

Peran serta dan perolehan keuntungan bagi masyarakat berkesesuaian dengan setidak-tidaknya empat Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs): mengentaskan kemiskinan (SDG 1), mengakhiri kelaparan (SDG 2), kesehatan dan kesejahteraan yang baik (SDG 3) dan perdamaian, keadilan dan kelembagaan yang kuat (SDG 16). 

Sementara terhadap lingkungan hidup, fungsi penguatan atau pemulihan ekosistem karbon biru sesuai dengan penanganan perubahan iklim (SDG 13) dan kehidupan di bawah air (SDG 15). Untuk mencapai sekurang-kurangnya enam SDGS itu, “pertama-tama restorasi haruslah berbasis ilmiah dan didukung governance yang kuat,” kata Daniel mengingatkan. 

 

Mengerucut hingga Provinsi

Deputi Bidang Koordinasi Pengelolaan Lingkungan dan Kehutanan, Kementerian Koordinasi Maritim dan Investasi (Kemenko Marves), Nani Hendiarti menyatakan governance karbon biru di Indonesia merupakan “tata kelola berbasis ekosistem.” Lantaran berbasis ekosistem, governance tak bisa berfokus hanya pada mangrove, melainkan semua keanekaragaman hayati yang terdapat di pesisir. 

“Ketika tampaknya justru mangrove yang ‘lebih dulu’ diurus, salah satunya karena mangrove yang ‘paling siap’. Database mangrove lebih baik dibanding lamun,” kata Nani. Ia menyatakan pemerintah juga telah mempersiapkan peta jalan governance hutan mangrove guna mempercepat pengelolaan yang berkelanjutan. 

Dari enam elemen peta jalan yang dipresentasikan Nani, salah satunya adalah program public-private partnership.

Lead Environmental Specialist Bank Dunia yang tergabung dalam Mangrove for Coastal Resilience (M4CR), Andre Rodriguez de Aquino.

“Investasi dalam program public-private partnership kami di hutan mangrove turut membantu rehabilitasi 75 ribu hektare bakau di empat provinsi Indonesia,” kata Lead Environmental Specialist Bank Dunia yang tergabung dalam Mangrove for Coastal Resilience (M4CR), Andre Rodriguez de Aquino. 

M4CR merupakan proyek kolaborasi antara Bank Dunia, KLHK dan Kemenko Marves dalam pemulihan ekosistem mangrove di pesisir Indonesia. Program M4CR berlangsung di Kalimantan Utara, Kalimantan Timur, Kepulauan Riau dan Sumatra Utara. Andre memprediksi M4CR di keempat provinsi tersebut akan mengurangi hampir 70 juta tonnes of carbon dioxide equivalent (tCO2eq). 

Meski angka-angkanya merepresentasikan potensi besar pengelolaan pada skala nasional, Andre tak menampik governance ekosistem karbon biru yang kompleks di Indonesia. “Kita tak sedang bicara tentang proyek di satu tempat seluas 1.000 hektare. Di Indonesia, terdapat 600.000 hektare hutan bakau yang tersebar di berbagai provinsi,” kata Andre. 

Lantaran tercakup dalam wilayah provinsi, “perlu keterlibatan pemerintah daerah dalam penyusunan regulasi terkait karbon biru,” kata Andre kemudian. Pengingatnya sejalan dengan pernyataan Daniel: “Governance karbon biru tak bisa hanya skala nasional. Lebih dari itu, pengembangan governance ekosistem karbon biru harus pula melibatkan pemerintah daerah.”