31 January 2023

Memperkuat Tata Kelola Ekosistem Karbon Biru Memerlukan Kebijakan Terpadu

Indonesia telah kehilangan 50 persen hutan bakau dalam tiga dekade terakhir. Ketidakberadaan kebijakan terpadu membuat perlindungan hutan bakau sulit dilakukan, salah satu ekosistem karbon biru yang mendukung kehidupan masyarakat pesisir.

Pada Hari Kedua Seminar, Ir. Hartono, Kepala BRGM dalam sambutannya mengapresiasi studi IOJI yang termasuk rekomendasi yang saat ini sedang dikerjakan oleh BRGM. Untuk memperkuat regulasi bakau, BRGM bersama dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sedang mempersiapkan payung hukum untuk pengelolaan bakau dalam bentuk Peraturan Pemerintah tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Bakau.

Di banyak daerah pesisir Indonesia, masyarakat “sangat bergantung pada ekosistem yang tersedia di hutan bakau,” kata Direktur Program Aliansi Restorasi Ekosistem Bakau Yayasan Konservasi Alam Indonesia (MERA-YKAN), M. Imran Amin. Pada saat yang sama, ekosistem karbon biru (EKB) rentan terhadap aktivitas sosial-ekonomi yang merajalela, serta konflik atas penggunaan ruang dan sumber daya.

Pengingat ini disampaikan dalam webinar setelah peluncuran studi IOJI yang berjudul “Ekosistem Karbon Biru sebagai Modal Alam Kritis: Tata Kelola Ekosistem Karbon Biru di Indonesia” pada 30-31 Januari 2023.

“Manajemen bakau yang efektif dan berkelanjutan dapat memperkuat pendapatan masyarakat pesisir dan negara,” katanya. Tidak hanya oleh pemerintah, manajemen juga harus melibatkan sinergi dan partisipasi aktif dari semua pemangku kepentingan.

Ini berarti bahwa tata kelola EKB juga harus melibatkan masyarakat lokal dengan cara yang penting (berarti).

Namun, yang sering terjadi adalah bahwa orang masih merasa tidak yakin tentang keamanan kepemilikan dalam area EKB yang paling dekat dengan mereka. Keamanan kepemilikan mencakup masalah yang terkait dengan kepemilikan dan penggunaan lahan. Misalnya, akses masyarakat terhadap sumber daya, hak untuk menikmati manfaat dari ekosistem terdekat, dan hak untuk berpartisipasi dalam pengelolaannya.

Direktur Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan, Firdaus Agung, menyatakan bahwa skema pengelolaan ekosistem karbon biru oleh masyarakat di daerah pesisir dapat dilakukan dalam dua skema. Setiap skema adalah:

1. Kemitraan dengan unit pengelolaan area konservasi – melalui pembentukan sub-zona penggunaan masyarakat
2. Identifikasi dan penetapan area pengelolaan masyarakat berdasarkan hukum adat dan identifikasi pemanfaatan ruang laut untuk mata pencaharian – melalui fasilitasi penetapan area pengelolaan adat dan kesesuaian aktivitas pemanfaatan ruang laut untuk masyarakat lokal dan/atau tradisional.

Untuk memaksimalkan upaya ini, masyarakat pesisir memerlukan skema pendanaan yang berkelanjutan; baik untuk kehidupan dan mata pencaharian mereka maupun untuk pantai sekitarnya.

Pendanaan Berkelanjutan

Pendanaan berkelanjutan di area EKB “membutuhkan politik anggaran yang optimal. Saat ini, alokasi anggaran pemerintah untuk perlindungan dan agenda kehutanan masih terbatas,” kata Peneliti Senior di Indonesia Budget Center (IBC), Roy Salam. Dia memberikan contoh pendanaan yang hanya 0,3 persen dari total dana saldo lingkungan sebesar 724 triliun IDR.

Dia mencatat beberapa tantangan dalam inovasi pendanaan berkelanjutan EKB. Di antaranya adalah (1) kaku nya birokrasi dalam menerjemahkan dokumen strategis, (2) kekhawatiran tentang transfer pengetahuan, dan (3) implementasi kebijakan pendanaan di tingkat pemerintah daerah.

Dr. Sonny Mumbunan, Koordinator Pusat Perubahan Iklim dan Keuangan Berkelanjutan di Universitas Indonesia, menilai bahwa pengembangan skema distribusi manfaat yang adil sering kali disertai dengan seleksi instrumen atau skema yang ambigu. Contohnya adalah definisi biaya dan manfaat. Selain itu, posisi spasial masyarakat terkait akhirnya menentukan aspek “adil”.