17 January 2023

(Resensi Buku) Routledge Handbook of Maritime Security

Judul: Routledge Handbook of Maritime Security (kumpulan tulisan)

Penyunting: Ruxandra-Laura Boşilcă, Susana Ferreira, Barry J. Ryan

Jumlah halaman: 408

Tahun terbit: 2022

Penerbit: Routledge

 

Resensi oleh Gabriella Gianova dan Andreas Aditya Salim

Buku ini berisi analisis kritis dan substansial tentang keamanan laut dan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat strategis yang menyentuh aspek ekonomi, sosial-budaya, dan hukum.

Tulisan-tulisan dalam buku ini disusun oleh para ahli keamanan laut terkemuka yang membahas mengenai teori-teori tentang keamanan maritim, bagaimana implementasi dari teori-teori tersebut dan dilengkapi dengan uraian mengenai tantangan-tantangan teraktual dalam kegiatan pengamanan wilayah laut. 

Terdapat dua bagian dalam buku ini, yaitu bagian pertama tentang perspektif dan pendekatan baru terhadap keamanan maritim dan bagian kedua yang membahas mengenai perkembangan-perkembangan terkini dalam praktik keamanan di laut di tingkat regional dan internasional.

Terdapat 12 bab dalam bagian pertama buku ini. Bab pertama menekankan peran penting laut dalam modernisasi Eropa. Bab 2 membahas secara historis ketegangan sekaligus kerjasama antara aktor negara dan non-negara di laut.

Bab 3 menjabarkan tentang peran negara di laut, dan mengkaji pengaruh keamanan maritim pada konsepsi tradisional tentang ruang laut. Bab 4 mengambil perspektif geopolitik. Perspektif geopolitik melihat keamanan maritim sebagai elemen dari aksi militer yang lebih luas yang dikenal sebagai strategi maritim. 

Bab 5 menjelaskan bahwa persaingan militer akan terus bertahan, tetapi akan semakin dikerahkan untuk tujuan penegakan hukum internasional melalui lembaga keamanan maritim internasional. Dalam Bab 6 tentang global maritime governance, penulis membahas mengenai interaksi konsep kedaulatan dengan pengelolaan area laut dan keamanan. 

Bab 7 membahas perspektif hukum. Hukum bidang kemaritiman telah memberikan dua kontribusi signifikan terhadap pengaturan laut, yaitu menekan konflik antar negara terkait masalah kemaritiman, dan membantu menemukan prinsip yurisdiksi yang jelas yang memungkinkan negara merespon ancaman-ancaman oleh aktor non-negara. 

Bab 8 memaparkan tentang perspektif konstruktivis dalam keamanan maritim. Bab 9 membahas tentang konstruksi gender dalam kelautan, yang menurut penulis telah menginfiltrasi praktik dan norma keamanan maritim. 

Bab 10 dan 11 memberi kita perspektif antropologis dan etnografis dalam keamanan maritim. Perspektif etnografi mengilustrasikan bagaimana keamanan maritim merupakan fenomena lokal, historis dan, yang terpenting, merupakan fenomena kebudayaan, sebagaimana terjadi di Global South. Bab 12 membahas perspektif representasi budaya.

Lebih lanjut, terdapat 13 bab pada bagian kedua buku ini. Bab 13 membahas tentang ketiadaan perlindungan HAM di laut. Persoalan HAM ini berlanjut ke bab 14 yang menjelaskan bahwa migrasi menimbulkan masalah bagi konsep keamanan secara tradisional, yang hanya dapat diatasi dengan mengonseptualisasikan kembali “keamanan”, yaitu seputar hak dan kebutuhan manusia secara individual. 

Bab 16 menjelaskan tentang keamanan maritim sebagai respons terhadap “blue criminality”. Bab ini mengeksplorasi berbagai bentuk maritime terrorism dan kaitannya dengan kejahatan terorganisir. Bab 17 membahas tentang sektor energi maritim. Menurut para penulis, keamanan maritim dalam konteks ini adalah proses mengidentifikasi kerentanan berbasis laut terhadap ekonomi politik global, dimana pengiriman migas menjadi sering menjadi korban dari “blue criminality”

Bab 18 menguraikan bagaimana masa depan keamanan maritim akan semakin lekat dengan keamanan siber. Bab 19 memperkenalkan faktor struktural yang memunculkan blue criminality sebagaimana dijelaskan di bab sebelumnya. Kerawanan maritim, menurut penulis, muncul dari buruknya tata kelola sumber daya alam di darat.

Bab 20, membahas IUU fishing dari perspektif blue crime. Para penulis menekankan hubungan kemiskinan, kerawanan pangan, diskriminasi gender dan tata kelola yang lemah sebagai faktor-faktor penyebab praktik penangkapan ikan ilegal. 

Bab 21 membahas masalah-masalah yang dihadapi oleh negara-negara kepulauan kecil (small island developing states) dalam mencapai keamanan maritim. Bab 22 menggali lebih dalam tentang aspek ekonomi dari keamanan maritim dengan munculnya ekonomi biru. Bab 23 membahas lebih jauh mengenai pemahaman pluralis tentang keamanan maritim. 

Bab 24 lekat dengan topik-topik yang ada di bagian pertama buku ini. Bab ini memberikan banyak contoh untuk menunjukkan kesinambungan interaksi konstan antara aktor naval dan aktor non-pemerintah; terkadang dalam persaingan, terkadang dalam konflik dan terkadang dalam kerja sama.

Bab 25 menekankan salah satu isu paling mendesak yang muncul ketika aktor non-negara bekerja dengan aktor negara. Disparitas hukum kemaritiman yang unik muncul ketika negara bendera kecil, seperti Panama, yang memiliki persentase pendaftaran kapal yang tinggi, tidak memiliki kapasitas militer maupun pengaruh diplomatik untuk mengamankan armada mereka. 

Sebagai respons, kontraktor militer swasta yang disewa untuk mengisi celah ini, awalnya untuk memerangi perompakan, sejak itu telah menjadikan diri mereka sebagai norma baru dalam keamanan maritim, bahkan di atas kapal negara yang kuat secara militer. Sedangkan lima bab terakhir dalam buku ini menjelaskan norma dan praktik baru dalam keamanan maritim dari sudut pandang regional.