29 December 2022

Krisis Iklim dan Pelindungan Perempuan Pembela HAM dan Lingkungan

Ilustrasi demonstrasi yang dimotori perempuan. Kredit: Michelle Ding/Unsplash

Dunia memperingati 25 November sebagai Hari Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan, berlanjut hingga tanggal 10 Desember yang merupakan Hari Hak Asasi Manusia (HAM). Selama 16 hari, gencar dilaksanakan kampanye internasional untuk mendorong upaya-upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan di seluruh dunia. Momentum ini diharapkan dapat mendorong seluruh pemangku kepentingan untuk memastikan perlindungan terhadap para korban pelanggaran sekaligus pembela HAM.

“Dunia menghadapi tiga krisis utama yang mengancam kehidupan: perubahan iklim, polusi, dan kepunahan keanekaragaman hayati. Diakui atau tidak berbagai krisis tersebut terjadi akibat kegiatan manusia yang destruktif dan eksploitatif,” tulis aktivis lingkungan sekaligus Direktur Eksekutif Satya Bumi, Annisa Rahmawati.

Bertajuk “Krisis Iklim dan Pelindungan Perempuan Pembela HAM dan Lingkungan”, tulisan opini Annisa ini terbit di halaman Harian Kompas pada 3 Desember 2022. Bersama opini ini, tersisip ilustrasi yang menggambarkan sebuah mimbar terlilit kawat berduri. Krisis, tulisnya, menyebabkan ancaman hilangnya akses warga negara untuk memperoleh lingkungan yang aman, bersih, sehat, dan berkelanjutan–sebagai bagian integral dari HAM universal yang tercantum dalam resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Pada 28 Juli silam, Majelis Umum PBB menerbitkan resolusi pengakuan terhadap hak atas lingkungan yang bersih, sehat, dan berkelanjutan sebagai HAM universal. Resolusi tercapai berkat dukungan dari 161 negara. Sebanyak 8 negara lain tercatat abstain.

Melalui resolusi, PBB sekaligus mengakui dampak perubahan iklim, pengelolaan dan penggunaan sumber daya alam yang tak berkelanjutan, pencemaran udara, tanah dan air serta hilangnya keanekaragaman hayati. Pengakuan merupakan kepanjangan dari tiga krisis utama dunia–kedaruratan yang disebutkan Annisa sebagai pembuka tulisan opininya.

Dalam situasi krisis ini, keberadaan dan perjuangan para pembela HAM dan lingkungan menjadi sangat krusial untuk memastikan terciptanya keadilan lingkungan dan kemanusiaan. Pemerintah di berbagai negara acapkali berfokus pada penguatan pertumbuhan ekonomi. Fokus yang sedemikian ini disertai dengan pembukaan keran investasi secara besar-besaran yang, tak jarang, kurang memperhatikan keseimbangan aspek antara pembangunan, keadilan sosial, dan kelestarian alam. Pada saat yang sama, pegiat HAM terus berupa memperjuangkan hak atas lingkungan hidup. Dicermati dari konteks gender, perempuan dalam posisi rentan menjadi korban. Itulah mengapa, tulis Annisa, diperlukan instrumen hukum yang turut mengarusutamakan sensitif gender.

Ketika laki-laki melepas hak komunal atas hutan, perempuan sebagai aktor utama keluarga akan kehilangan akses atas hutan yang menjadi sumber pangan keluarganya. Bentuk-bentuk diskriminasi ini didorong oleh ketimpangan sistemik dan kuasa karena mengakarnya budaya patriarki di Indonesia.

Perempuan yang membela haknya atas tanah, teritorial wilayah, dan hak terkait lingkungan hidup seringkali dirugikan atas aktivismenya. Perempuan diabaikan dan dieksklusi dari kepemilikan atas tanah, negosiasi di dalam komunitas, dan pengambilan keputusan mengenai masa depan tanah mereka. Instrumen pelindungan diharapkan dapat menciptakan iklim demokrasi dan penegakan hukum serta mendorong akses lingkungan yang bersih dan sehat untuk masa depan Indonesia yang lebih adil dan lestari.