9 December 2022

Analisis KUHP Baru dan Peraturan Pengganti Undang-Undang Cipta Kerja

Pengesahan RKUHP menjadi Undang-Undang di awal bulan didahului perjalanan panjang. Menjelang akhir tahun, tepatnya pada 30 Desember 2022, resmi terbit Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja yang masih terus menuai pro dan kontra sampai sekarang. Bagaimana para pakar hukum menilai dampak KUHP dan Perppu Cipta Kerja terhadap kehidupan demokrasi dan pembangunan berkelanjutan di Indonesia?

Melewati perdebatan panjang selama enam dekade pasca kemerdekaan dan kepemimpinan tujuh presiden, DPR akhinya mengesahkan Rancangan Kitab Umum Hukum Pidana menjadi Undang-Undang KUHP pada 6 Desember 2022.

Implementasi aturan pidana baru yang menggeser aturan warisan kolonial Belanda ini akan melalui masa transisi selama tiga tahun ke depan dan mulai berlaku efektif sepenuhnya pada 2025.

Kritik datang dari Dewan Pers dan koalisi masyarakat sipil yang menilai KUHP bisa mengancam demokrasi, kemerdekaan pers, kebebasan berpendapat, melanggengkan korupsi, serta berpotensi merusak ruang privat warga negara. Panel pakar yang diselenggarakan oleh The Conversation Indonesia mengungkap bagaimana KUHP rentan mencederai demokrasi Indonesia. Dua di antara yang mengemuka adalah:

Bivitri Susanti – Pakar Hukum Tata Negara, Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera: Definisi tindakan menghina pemerintah dalam KUHP adalah “perbuatan yang merendahkan atau merusak kehormatan, atau citra pemerintah atau lembaga negara, termasuk menista atau memfitnah”. Definisi tersebut bersifat multitafsir, sehingga membuat pasal-pasal itu berpotensi menjadi pasal karet dan jelas tidak sejalan dengan nilai demokrasi. Melalui KUHP ini, pemerintah seakan berupaya untuk membatasi kritik dan kontrol dari masyarakat dan aturan ini dibuat hanya demi kenyamanan dan kepentingan penguasa.

Raynaldo Sembiring – Direktur Eksekutif Indonesian Center for Environmental Law: KUHP baru masih menyisakan aturan pertanggungjawaban pidana korporasi yang dalam Pasal 46 dan 48. Aturan ini hanya bisa menjerat pengurus korporasi saja, misalnya manajer lapangan, yang sering kali bukan aktor intelektual dari suatu tindak pidana lingkungan. Berdasarkan analisa kami, Pasal ini mengakibatkan korporasi sebagai badan usaha tidak bisa dijerat pidana. Padahal, selama ini di kasus tindak pidana lingkungan, khususnya kebakaran hutan dan lahan, pelakunya paling banyak adalah korporasi sebagai badan usaha. Kejahatan lingkungan juga kerap dilakukan secara terencana, yang bukan hanya diketahui seorang “pengurus”, tapi juga petinggi korporasi. Semuanya bertindak atas nama badan usaha.

Pakar di panel The Conversation Indonesia memandang aturan yang ada tak memberikan efek takut atau efek jera bagi pelaku kejahatan korporasi. Sebaliknya, KUHP baru justru bisa menjadi “angin surga”. KUHP baru juga tak memberikan solusi yang konkret atas kriminalisasi masyarakat yang memperjuangkan ruang hidupnya.

Beralih ke isu kelautan dan perikanan yang menjadi satu sektor yang diatur dalam RUU Cipta Kerja. Mengingat pentingnya sektor ini bagi Indonesia, baik dalam hal ekonomi, lingkungan, energi, pariwisata, dan lain-lain, maka prinsip utama yang patut menjadi landasan adalah efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, dan berwawasan lingkungan sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 33 ayat (4) UUD 1945. Namun sayangnya, hakikat dan fungsi instrumen perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup direduksi semangatnya oleh UU Cipta Kerja ini. Pelemahan ini dilakukan di saat dunia tengah mempromosikan investasi yang ramah dan bertanggungjawab terhadap lingkungan hidup dan masyarakat.

Tidak ada satu pun negara di dunia mempersepsikan instrumen perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup (environmental safeguards) sebagai kendala investasi (investment barriers). Apabila melihat indikator-indikator Ease of Doing Business (EoDB), tidak ada satu pun indikator yang mengaitkan pelindungan lingkungan sebagai penghambat EoDB. Tren dunia membuktikan justru investor dari negara-negara besar dan emerging countries kini semakin menyadari perlunya green investment.

Apabila Indonesia ingin mendorong investasi, Indonesia perlu mengedepankan investasi berbasis pembangunan berkelanjutan, sebagaimana dimandatkan oleh Pasal 33 (4) UUD 1945 di atas. Selain itu, peningkatan investasi yang berkelanjutan juga harus dibarengi dengan upaya peningkatan kualitas pelayanan publik, peningkatan efektivitas penegakan hukum, dan pengikisan korupsi.

IOJI mencatat tiga hal terkait kelautan dan perikanan yang patut mendapat perhatian besar dalam UU Cipta Kerja dan turunannya, berikut ini:

  1. Penguatan perlindungan ekosistem karbon biru (EKB) dengan mengategorikan EKB sebagai critical natural capitals (CNC)

UU Cipta Kerja memberikan kewenangan kepada Pemerintah untuk menerbitkan Perizinan Berusaha meskipun kegiatan yang ditetapkan sebagai Kebijakan Strategis Nasional belum masuk ke dalam Rencana Tata Ruang dan Rencana Zonasi. Undang-Undang Penataan Ruang secara jelas menyebutkan bahwa tata ruang bertujuan agar pengelolaan ruang terlaksana dengan bijaksana sehingga terjaga keberlanjutannya demi keadilan sosial sesuai dengan UUD 1945. 

Kegiatan pemanfaatan yang dilakukan tanpa mengacu pada rencana tata ruang berpotensi tidak sesuai dengan daya dukung dan daya tampung lingkungan, sehingga menyebabkan ketidakseimbangan ekosistem yang berdampak pada keberlanjutan ekosistem dan kehidupan masyarakat di wilayah tersebut. 

Selanjutnya, Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Kelautan dan Perikanan mengatur bahwa status Zona Inti pada Kawasan Konservasi dapat diubah untuk kegiatan pemanfaatan dalam rangka pelaksanaan kebijakan nasional yang berupa penetapan proyek strategis nasional.

Pengaturan tersebut dapat mengancam ekosistem karbon biru saat instrumen perlindungannya tidak berfungsi. Dalam konsep strong sustainability, beberapa ekosistem yang memiliki fungsi-fungsi penting sebagai CNC tidak dapat digantikan oleh modal buatan manusia (man-made capital)

Pemerintah sudah menganggap ekosistem tertentu sebagai hutan primer dan lahan gambut sebagai ekosistem yang dilindungi yang tidak bisa diberikan izin baru (moratorium dalam kerangka REDD+). Sekarang saatnya pemerintah juga menerapkan bentuk perlindungan, dengan bentuk yang paling sesuai dan tidak tentu sama dengan hutan primer dan lahan gambut, untuk ekosistem karbon biru dengan mengklasifikasikannya sebagai CNC. 

Untuk menetapkan criticality, pemerintah dapat menggunakan beberapa kriteria. Fridolin Brand mengenalkan 6 domain jasa lingkungan kritis: (1) sosial-budaya; (2) ekologis; (3) keberlanjutan; (4) etikal; (5) ekonomi; (6) kelangsungan hidup manusia. 

Berdasarkan kriteria tersebut, kerangka hukum dan kebijakan perlu mengakui EKB sebagai CNC, dengan dipenuhinya 5 (lima) domain jasa ekosistem kritis. Pemerintah juga dapat menggunakan kriteria Ecologically and Biologically Significant Areas: (1) Uniqueness or rarity, (2) Special importance for life-history stages of species, (3) Importance for threatened, endangered or declining species and/or habitats. , (4) Vulnerability, fragility, sensitivity, or slow recovery (5) Biological productivity, (6) Biological diversity, (7) Naturalness. 

Pengakuan ini harus diikuti dengan tindakan nyata pemerintah dengan memberlakukan instrumen perlindungan yang didasarkan pada kerangka hukum yang kuat dan tanpa klausul pengecualian. Perlindungan ini penting untuk memastikan intergenerational equity

 

  1. Pengaturan mengenai Kawasan Ekosistem Esensial, Kawasan Cadangan Karbon Biru, dan Other Effective Conservation Measures

Bentuk perlindungan terhadap CNC dapat melalui beberapa instrumen dan tidak harus selalu melalui penetapan zona inti kawasan konservasi yang bersifat no-take zone. Perlindungan CNC dapat melalui penetapan Kawasan Ekosistem Esensial (KEE), Kawasan Cadangan Biru, maupun Other Effective Conservation Measures, dimana pemanfaatan di kawasan tersebut sangat dibatasi dan untuk kebutuhan keberlangsungan hidup masyarakat lokal. 

KEE adalah ekosistem lahan basah, koridor, area bernilai konservasi tinggi, serta taman kehati dan lanskap/bentang alam yang memiliki kekhususan geologis dan geomorfologis yang berada di luar kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam. 

Tujuannya adalah untuk mendukung ruang hidup masyarakat yang berdampingan dengan kawasan konservasi yang memiliki nilai penting bagi konservasi keanekaragaman hayati. Mangrove dapat dikategorikan ke dalam kawasan ekosistem esensial. Pada prakteknya, di beberapa daerah ekosistem mangrove ditetapkan masuk ke dalam cakupan kawasan ekosistem esensial melalui Keputusan Gubernur, contohnya di Jawa Timur. 

Konsep kawasan ekosistem esensial sudah tersirat dalam UU KSDA dan Ekosistemnya, dan sudah secara tersurat disebutkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. Akan tetapi, belum ada payung hukum yang mengatur secara jelas pengelolaan kawasan ekosistem esensial di tingkat Undang-Undang. 

Dengan masuknya UU Penataan Ruang dan PWP3K ke dalam lingkup Undang-Undang Cipta Kerja, hal ini dapat dimanfaatkan untuk mengakui KEE dan kewajiban untuk mengintegrasikannya ke dokumen tata ruang dan zonasi. Hal yang sama diperlukan untuk Other Effective Conservation Measures (OECM). OECM merupakan mekanisme agar inisiatif yang dipimpin masyarakat (community-led initiatives) dapat diakui oleh pemerintah dan diformalkan melalui penetapan wilayah konservasi masyarakat/adat dalam RTRW atau RZWP3K.

OECM dapat meningkatkan efektifitas, inklusifitas, dan konservasi yang berkeadilan untuk memberdayakan masyarakat lokal dan adat, pemerintah untuk bekerjasama dalam upaya konservasi. OECM juga dapat berkontribusi pada pencapaian target nasional dan internasional untuk jumlah area konservasi.

Sudah terdapat beberapa bentuk pengelolaan masyarakat di Indonesia yang berpotensi sebagai OECM, yaitu Panglima Laot di Aceh, Sasi di Maluku dan Papua, Mane’e di Sulawesi Utara, dan Rehabilitasi mangrove berbasis masyarakat di Sinjai, Sulawesi Selatan. Akan tetapi, belum ada pengaturan yang mengakui konsep ini di tingkat nasional. Sehingga, Undang-Undang Cipta Kerja dapat merevisi UU PWP3K dan UU Penataan Ruang untuk memberikan payung hukum OECM di tingkat nasional.

Instrumen perlindungan lainnya yang dapat diperkuat keberadaannya melalui revisi Undang-Undang Cipta Kerja adalah Kawasan Cadangan Karbon Biru. PP Nomor 21 Tahun 2021 tentang Perencanaan Tata Ruang untuk pertama kalinya memperkenalkan istilah Kawasan Cadangan Karbon Biru di Indonesia. 

Kawasan ini menjadi bagian dari Rencana Zonasi Kawasan Strategis Nasional Tertentu (RZ KSNT). Kewenangan penetapan RZ KSNT ada pada pemerintah. Namun, hingga saat ini belum ada penjelasan lebih lanjut apa implikasi dari penetapan Kawasan Cadangan Karbon Biru itu. 

Oleh karena itu, Undang-Undang Cipta Kerja perlu mengatur lebih jelas dan mewajibkan Pemerintah dan Pemerintah Daerah tidak memberlakukan pengecualian oleh kebijakan strategis nasional jika proyek tertentu tersebut berada dalam Kawasan Cadangan Karbon Biru. 

  1. Mengatur safeguarding policies agar pemberian izin untuk kapal ikan berbendera asing dan investasi asing dalam sektor penangkapan ikan tidak dibuka

Semangat dari Undang-Undang Cipta Kerja adalah untuk meningkatkan investasi demi pertumbuhan ekonomi. Kepentingan tersebut perlu diimbangi dengan safeguarding policies. Salah satunya adalah untuk menjaga agar perizinan untuk kapal ikan berbendera asing dan investasi asing tetap tertutup di sektor penangkapan ikan. 

Deputi V Kepala Staf Kepresidenan Jaleswari Pramodhawardani saat membuka Dialog Publik RUU KUHP di Bandung, Jawa Barat pada 7 September 2022.

Undang-Undang Cipta Kerja mempertahankan rumusan dalam Undang-Undang Perikanan yang hanya mensyaratkan adanya perjanjian antara dua negara jika sektor penangkapan ikan ingin dibuka kepada pihak asing. Persyaratan tunggal tersebut kurang sesuai dengan ketentuan UNCLOS. 

Jika suatu negara ingin membuka akses, maka berdasarkan UNCLOS persyaratannya adalah: 

  1. Akses negara lain terhadap stok ikan di ZEEI hanya dapat terjadi melalui 2 (dua) hal, yaitu traditional fishing right serta adanya surplus allowable catch
  2. Berdasarkan Pasal 62 UNCLOS, surplus allowable catch hanya dapat diberikan kepada negara lain jika memenuhi beberapa syarat, yaitu: (i) Indonesia tidak memiliki kapasitas untuk menangkap seluruh allowable catch; (ii) akses terhadap surplus tersebut dirumuskan dalam sebuah perjanjian; (iii) surplus ditujukan pertama-tama kepada landlocked States dan/atau geographically disadvantaged States; (iv) sebelum membuat perjanjian, Indonesia perlu terlebih dahulu mempertimbangkan all relevant factors termasuk:
  3. a) signifikansi stok ikan yang akan dibuka aksesnya tersebut kepada perekonomian masyarakat dan kepentingan nasional lainnya, serta 
  4. b) bagaimana mitigasi terhadap dampak economic dislocation (yaitu hilangnya lapangan pekerjaan sebagai dampak dari diberikannya akses kepada pihak lain untuk melakukan eksploitasi sumber daya) di negara yang warganya telah sejak dahulu telah memanfaatkan stok ikan tersebut. Sehingga, untuk membuka akses, Indonesia perlu melakukan penghitungan yang akurat mengenai ada/tidaknya surplus allowable catch dan kemampuan pelaku usaha nasional untuk memanfaatkan surplus tersebut. 

Indonesia juga perlu melakukan cost-benefit analysis untuk mempertimbangkan segala faktor dan ancaman yang mungkin timbul. Hal ini perlu diatur dalam Undang-Undang Cipta Kerja. Salah satu manfaat menutup investasi asing adalah tingkat kepatuhan dapat lebih dikontrol dan terbukti pada pengalaman sebelumnya, ditutupnya investasi asing di sektor penangkapan ikan justru meningkatkan PNBP dari industri dalam negeri. Sebelum tahun 2015, pengoperasian kapal ikan yang memiliki asosiasi dengan asing dapat menjadi pintu masuk Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), bentuk pidana lainnya yang digunakan sebagai modus illegal fishing seperti pemalsuan dokumen izin, tingginya unreported fishing, dan menyebabkan stok ikan menipis.