8 December 2022

Refleksi Kasus Pulau Widi: Menelaah Konflik Kewenangan dalam Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil

Tangkapan layar dari Google Maps. Menunjukkan lokasi Kepulauan Widi di Halmahera Selatan.

Pendaftaran Pulau Widi dalam lelang Sotheby’s Concierge Auctions dinilai sebagai upaya kurang elok. Pemerintah dan swasta tidak seharusnya menjadikan pulau kecil sebagai aset yang ditawarkan kepada publik untuk dimiliki secara penuh dan dimanfaatkan untuk tujuan komersial semata. Kasus yang terkuak kepada publik ini sekaligus menjadi momentum negara untuk memperbaiki pengelolaan pulau kecil dan pesisir.

Pengujung tahun di ranah dunia maya. Selain cuitan berisi harapan untuk tahun mendatang, papan media sosial sempat pula ramai oleh suatu kabar dari Halmahera Selatan: Kepulauan Widi dijual melalui lelang Sotheby’s Concierge Auctions.

Kabar yang mula-mula diembuskan media CNN itu segera menimbulkan perdebatan virtual; memaksa pemerintah lewat beberapa kementerian terkait untuk bersuara.

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD pada 14 Desember 2022 menyatakan pemanfaatan pulau-pulau kecil di Kepulauan Widi harus seizin Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Meski begitu, dalam objeknya “terdapat kawasan hutan seluas 1.900 hektare [yang harus] menjadi pembelajaran bagi pemerintah untuk menyelesaikan permasalahan pemanfaatan pulau,” tulis KKP dalam laman resminya.

PT Leadership Islands Indonesia (LII) bekerja sama dengan Sotheby’s “mempercepat aliran investasi asing skala besar ke Kepulauan Widi,” tulis The Guardian, media massa asing berbasis Inggris. Dalam artikel disebutkan, PT LII hendak menjual saham kepulauan tersebut ke investor sektor hotel dan real estate.

Wakil presiden eksekutif Sotheby’s Concierge Auctions, Charlie Smith, sempat mengirim surel ke The Guardian yang turut tersisip pada artikel terkait. Ia menyebutkan, PT LII “akan terlibat aktif dalam proyek itu, berupa patroli keamanan yang didukung oleh polisi dan angkatan laut Indonesia dengan anggaran 1,5 juta dollar AS pada tahun pertama.”

Charlie berharap nilai tawaran lelang terhadap Kepulauan Widi terus membesar. “Setiap miliuner dapat memiliki pulau pribadi, tetapi hanya satu yang dapat memiliki kesempatan eksklusif ini yang tersebar di lebih dari 100 pulau,” kata Smith dalam pernyataan pers.

Menanggapi kabar tersebut, pemerintah menyebut akan mengevaluasi izin PT LII. Setelah serangkaian rapat yang digelar lintas lembaga, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menyatakan PT LII tidak menjalankan nota kesepahaman atau memorandum of understanding (MoU) dengan pemerintah Kabupaten Halmahera Selatan terkait pengelolaan ekoturisme kawasan tersebut.

Kemendagri menyatakan gugusan pulau di Kepulauan Widi tidak dapat dikelola oleh publik, sebab “Kepulauan Widi sudah menjadi kawasan konservasi,” kata Dirjen Bina Administrasi Kewilayahan Kemendagri Safrizal ZA dalam pernyataan pers.

Kawasan Cagar Alam Kepulauan Widi merupakan gugusan 104 pulau di Kabupaten Halmahera Selatan, Provinsi Maluku Utara. Sebanyak 79 dari 104 pulau itu berupa hutan, dengan empat di antaranya bertatus “pulau dengan penggunaan lainnya” dan dua sisanya berupa atol.

Pada 2015, pemerintah Provinsi Maluku Utara, pemangku kepentingan Kabupaten Halmahera Selatan, dan PT LII menandatangani nota kesepahaman guna mengembangkan sektor pariwisata di kepulauan tersebut.

Dalam nota kesepahaman, PT LII diberi hak mengelola Kepulauan Widi selama 35 tahun, yang setelah itu akan ditinjau kembali. Selama masa pengelolaan, Kepulauan Widi akan dijadikan sebagai pusat ekoturisme dan bahari. Sebagai gantinya, PT LII mempunyai tanggung jawab sosial atau corporate social responsibility (CSR) kepada masyarakat lokal, khususnya di bidang pendidikan dan ekonomi dalam rangka menyejahterakan masyarakat setempat.

Merespons silang sengkarut ini, pemerintah pusat, melalui Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD, membatalkan MoU antara Pemerintah Provinsi Maluku Utara dan Pemerintah Kabupaten Halmahera Selatan dengan PT LII terkait pemanfaatan Kepulauan Widi. Pemerintah membatalkan MoU tersebut karena isi dan prosedur MoU tidak sesuai dengan aturan yang ada.

Kasus ini menjadi pembelajaran untuk mengevaluasi, memperketat pengawasan, dan membuka secara transparan kepada masyarakat luas seluruh proyek penanaman modal asing di pulau-pulau kecil; memastikan pemberian izin pemanfaatan pulau-pulau kecil didahului dengan kajian dampak lingkungan dan kajian dampak sosial yang komprehensif; menyusun peta jalan penyelamatan pulau-pulau kecil dari ancaman kenaikan air laut akibat krisis iklim; dan mengevaluasi proyek-proyek pertambangan yang mengancam ekosistem dan kehidupan masyarakat di pesisir dan pulau-pulau kecil.