18 November 2022

Refleksi COP27 Mesir: Peran Jangka Panjang Karbon Biru

Ilustrasi padang lamun. Kredit: Benjamin L. Jones/Unsplash

Dalam diskusi meja bundar COP-27 di Mesir, para pakar kelautan merundingkan peran jangka panjang laut untuk mengurangi konsentrasi CO2 di atmosfer melalui vegetasi hutan bakau, rawa asin dan padang lamun–yang dikenal sebagai karbon biru.

___

Menyerap hampir seperempat dari keseluruhan gas karbon dioksida (CO2) antropogenik yang dipancarkan ke atmosfer setiap tahun, laut menjadi solusi jangka panjang atas perubahan iklim.

Lantaran laut merupakan solusi jangka panjang–dan “juru kunci” atas mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim–maka dunia membutuhkan penelitian mendalam dan pengembangan meluas terkait ekosistem karbon biru.

Menjadi penting pula untuk melestarikan ekosistem pesisir bervegetasi yang masih tersisa.

 

Potensi Strategis

“Menjadi tugas kita untuk memahami kemampuan laut yang akan membantu mengurai krisis iklim, dan menjadi tugas kita pula untuk mendukung pengembangan solusi atas perlindungannya,” kata Dr Ana Querios dari Plymouth Marine Laboratory di Inggris.

Querios merupakan salah satu panelis diskusi meja bundar Konferensi Para Pihak ke-27 (COP27) untuk Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Perubahan Iklim atau UNFCCC di Sharm El-Sheikh, Mesir pada 16 November 2022.

Panel diskusi bertajuk “Laut untuk Iklim: Menerapkan aksi iklim berbasis laut untuk membangun adaptasi dan ketahanan pesisir”, perundingan bertujuan untuk memperkuat mitigasi, mendukung kebutuhan ketahanan dan adaptasi berkelanjutan di laut dan pesisir.

Dalam diskusi meja bundar, para pakar kelautan turut mengidentifikasi peluang peningkatan pembiayaan berbasis laut dan pesisir dalam skema pembiayaan iklim yang lebih luas. Salah satunya adalah pembiayaan karbon biru.

Manfaat klimaks ekosistem karbon biru, kata Querios, “memang belum pasti. tetapi konservasi dan pemulihan ekosistem ini penting untuk memberikan perlindungan bagi pesisir, ketahanan pangan dan keanekaragaman hayati.”

Ia memaparkan ekosistem karbon biru memiliki potensi yang signifikan untuk digunakan secara strategis sebagai solusi jangka panjang guna memerangi emisi CO2. Untuk mencapai itu, “pertama-tama kita membutuhkan kapasitas yang tepat untuk mendefinisikan karbon biru.”

 

Kesiapan Indonesia

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan menegaskan kesiapan Indonesia untuk mengembangkan ekosistem karbon biru. Pernyataan Luhut tersampaikan di Paviliun Indonesia, COP27 di Mesir pada 7 November.

“Indonesia sangat siap untuk mengembangkan ekosistem karbon biru melalui investasi yang komprehensif, dengan kemitraan yang efektif dari semua pemangku kepentingan dan mekanisme keuangan yang terintegrasi,” kata Luhut.

Indonesia, bersama Brasil dan Republik Demokratik Kongo, merupakan negara dengan hutan tropis dan lahan basah terluas–termasuk lahan gambut dan bakau–di dunia.

“Kami berkomitmen untuk melestarikan pengelolaan berkelanjutan dan memulihkan ekosistem kritis ini,” kata Menteri Luhut.

 

Perlindungan Efektif

Menjadi salah satu pembicara panel sela Global Landscapes Forum dalam rangkaian COP27 2022, Chief Executive Officer Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) Mas Achmad Santosa memaparkan pentingnya governance yang efektif dalam perlindungan ekosistem karbon biru. 

Pak Otta, panggilan akrab Mas Achmad, mencatat beberapa hal penting yang selayaknya diatur dalam hukum nasional terkait ekosistem karbon biru. 

Pertama, mengakui fungsi ekosistem karbon biru sebagai critical natural capitals (CNC), diikuti dengan penetapan instrumen perlindungan yang kuat dan tanpa klausul pengecualian. 

Kedua, kejelasan kewenangan antarkementerian dan lembaga, sehingga fungsi dan tugas masing-masing dalam governance ekosistem karbon biru menjadi semakin jelas dan tak terjadi tumpang tindih.

Ketiga, memastikan masyarakat dapat berpartisipasi secara optimal dalam governance ekosistem karbon biru.

Keempat, penegakan hukum yang efektif dengan dukungan teknologi untuk melacak pelanggaran di wilayah ekosistem karbon biru.

Perhatian Khusus

Karbon biru terserap di ekosistem pesisir dan laut terbuka. Pada saat yang sama, hutan bakau sebagai salah satu ekosistem karbon biru, berfungsi sebagai pelindung pantai terhadap kenaikan permukaan air laut dan cuaca ekstrem.

Penyerapan karbon laut menjadi perhatian khusus, karena tidak seperti bentuk penyerapan karbon berbasis lahan. Ekosistem karbon biru dapat mengubur karbon dalam sedimen untuk jangka waktu yang lama, terkadang berabad-abad atau bahkan ribuan tahun.

Itulah mengapa ekosistem karbon biru, khususnya yang mengakumulasi sedimen, sangat relevan dalam upaya pengurangan CO2 di atmosfer.

Restorasi karbon biru relevan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs) ke-14 “Kehidupan di Bawah Air”. Melalui SDG ke-14, PBB mengajak dunia untuk melestarikan dan memanfaatkan samudra, laut, dan sumber daya laut secara berkelanjutan demi tujuan-tujuan pembangunan yang juga berkelanjutan.