Konferensi nasional Ecological Fiscal Transfer (EFT) III di Yogyakarta membahas peluang dan tantangan kebijakan Nilai Ekonomi Karbon (NEK). IOJI secara khusus mengkaji penghitungan nilai mangrove dan padang lamun yang banyak diperdebatkan dalam pelbagai diskusi karbon biru.
___
“Lost-and-found,” demikian Direktur WS2 IOJI Stephanie Juwana merangkum pendataan dan penghitungan nilai mangrove serta padang lamun di pesisir Indonesia.
Nilai keduanya masih kerap diperdebatkan dalam pelbagai diskusi. Tak segera ditentukan, apalagi mampu diklaim kembali oleh masyarakat setempat. Padahal, mangrove dan padang lamun merupakan garda terdepan dalam restorasi ekosistem karbon biru.
Pendataan karbon biru di pesisir, katanya kemudian, “baru merefleksikan 15 persen dari keseluruhan yang tersedia.”
Mengkaji Manfaat NEK
Menurut Stephanie, pendataan dan penghitungan nilai mangrove dan padang lamun “masih kurang jika dibandingkan dengan [penyerap] karbon berbasis terestrial.” Ditambah lagi, pemahaman masyarakat di daerah-daerah soal Nilai Ekonomi Karbon (NEK) pun “belum merata.”
Kondisi ini terjadi, katanya kemudian, “terkadang karena terputusnya informasi dari [pemerintah] pusat ke [pemerintah] daerah.” Pada saat yang sama, akses masyarakat ke pasar global karbon pun masih rendah.
IOJI memandang pentingnya pemerintah memastikan pendistribusian manfaat NEK yang adil bagi masyarakat karena “mereka lah sebetulnya penerima utama manfaat NEK,” kata Stephanie.
Pengingat Stephanie tercetus dalam konferensi nasional Transfer Fiskal Ekologis atau Ecological Fiscal Transfer (EFT) ketiga. Konferensi yang terselenggara di Jakarta pada 14-15 November 2022 itu berfokus mengkaji peluang dan tantangan NEK.
NEK ditetapkan melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 98 Tahun 2021. Pemerintah berharap Perpres dapat mendukung pencapaian target pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) yang sejalan dengan Kesepakatan Paris 2016 untuk pengendalian perubahan iklim.
Indikator Ekologi yang Kuat dan Adil
EFT telah ada sejak awal 1990-an. Mula-mula sejumlah negara seperti Brasil, Portugal, Prancis, Cina, dan India menerapkan skema EFT dengan mengalokasikan beberapa persen pendapatan negara sesuai program prioritas perlindungan lingkungan per wilayah–entah itu negara bagian, provinsi maupun kota.
Dulu, volume dan arah transfer ini seringkali berdasarkan indeks tertentu–geografis, sosial dan ekonomi atau formula yang ditentukan oleh otoritas fiskal negara–tetapi, tak seperti namanya, skemanya justru jarang menyertakan variabel lingkungan.
Skema EFT pun lamat-lamat berubah. Kini, negara-negara sedunia berangsur-angsur memasukkan indikator ekologi ke dalam formula alokasi fiskal yang diharapkan kuat dan adil, baik bagi kesejahteraan masyarakat maupun konservasi lingkungan.
Chief Executive Officer IOJI, Mas Achmad Santosa mengingatkan negara belum sepenuhnya memiliki aturan yang secara khusus mengatur pengelolaan ekosistem karbon biru. Alih-alih memperkuat EKB, “banyaknya aktor pemerintahan dalam skema kelembagaan mengakibatkan ketidakjelasan fungsi dan kurangnya koordinasi yang memicu bureaucratic rivalry.”
Pada saat yang sama, “partisipasi masyarakat dalam pengelolaan EKB belum maksimal.” Padahal, di Indonesia, katanya mengingatkan, “tingkat keberhasilan penanaman mangrove masih rendah.” Pak Otta, panggilan keseharian Mas Achmad, secara khusus mengajak pemangku kepentingan untuk mengendurkan persaingan birokrasi dan, sebaliknya, “memperkuat pemantauan, pengawasan dan penegakan hukum terhadap pelaku kegiatan yang merusak EKB.”