Oleh Margaretha Quina dan Rayhan Dudayev
Terbit di laman The Jakarta Post pada Senin, 24 Oktober 2022
___
Nelayan skala kecil menyumbang sekitar 90 persen dari hasil laut nasional. Mereka menyediakan hampir 10 persen dari keseluruhan sumber protein bagi 275 juta penduduk Indonesia.
Data ini menunjukkan pilihan konsumsi yang berkelanjutan–tangkapan yang bersumber secara lokal–relatif terjangkau dan dapat diakses. Orang Indonesia bangga dengan makanan laut mereka, dan perkembangan pesat kuliner tetap mempertahankan resep tradisional.
Pasar merespons sentimen masyarakat guna menjaga sektor ini tetap hidup. Bahkan perusahaan rintisan mencoba berkontribusi untuk menjembatani pasar dengan nelayan skala kecil. Mereka memperkenalkan teknologi dan sistem data cerdas demi memajukan ekonomi dan kesejahteraan nelayan secara keseluruhan.
Ironisnya, sebagian besar konsumen tidak mengetahui ancaman yang dihadapi nelayan kecil kita.
Terdapat 6 juta orang yang terlibat langsung dalam usaha perikanan skala kecil di Indonesia (Statistik Kelautan dan Perikanan, 2018). Nelayan kecil menghadapi tantangan yang menakutkan dalam pencaharian mereka: hilangnya daerah penangkapan ikan.
Demi mengejar pertumbuhan dan pembangunan ekonomi yang cepat, konflik tenurial atas daerah penangkapan ikan pun lebih sering terjadi.
Melindungi daerah penangkapan ikan telah menjadi praktik terbaik global yang guna memastikan ketahanan pangan yang berkelanjutan. Pedoman Sukarela FAO untuk Mengamankan Perikanan Skala Kecil Berkelanjutan secara eksplisit mengakui nelayan skala kecil memerlukan akses yang aman dan stabil ke daerah penangkapan ikan.
Selain itu, pedoman tersebut mendorong akses ke sumber daya lain seperti lahan yang memungkinkan nelayan mendaratkan ikan, memiliki tempat untuk mengolah ikan dan, paling tidak, memiliki tempat tinggal.
Ketika sebagian besar konsumen tak menyadari kondisi ini, Indonesia memberikan tempat khusus untuk perikanan skala kecil. Pada 2016, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) yang diharapkan dapat melindungi dan memberdayakan nelayan kecil.
Ketika disahkan, Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam itu berjalan seiring dengan UU Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil No. 27 Tahun 2007–yang memampukan masyarakat berperan dalam pengelolaan pesisir.
Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) dan Yayasan Pesisir Lestari (YPL), dengan persetujuan Kementerian Kelautan dan Perikanan, baru-baru ini mengkaji seberapa baik Indonesia telah mencapai tujuan yang dicita-citakan oleh kedua undang-undang tersebut.
Studi kedua organisasi menemukan keseluruhan dampak dari undang-undang tersebut bermanfaat bagi bangsa. Meski demikian, masih terdapat ketidakamanan tenurial yang menghalangi upaya pemenuhan akses adil terhadap manfaat yang dijanjikan oleh UU tersebut.
Kerja keras kementerian dan otoritas terkait lainnya belumlah cukup melindungi dan memberdayakan nelayan kecil jika tak disertai upaya mengatasi konflik keamanan tenurial. Alih-alih mencapai tujuan, kegagalan justru dapat mematikan kemajuan yang hendak dicapai.
Menariknya, kedua UU tersebut secara eksplisit mengaitkan jaminan tenurial dengan program perlindungan dan pemberdayaan nelayan skala kecil. Namun, tampaknya pemerintah belum sepenuhnya memanfaatkan perangkat kebijakan tersebut.
Langkah-langkah utama untuk memastikan perlindungan hak tenurial nelayan skala kecil mencakup konsistensi pembaruan informasi tentang pengembangan kebijakan terkait, penguatan akses untuk nelayan skala kecil dan dorongan bagi mereka untuk berpartisipasi dalam pembuatan kebijakan.
Oleh karena itu, revisi UU Cipta Kerja sebagaimana diamanatkan oleh Mahkamah Konstitusi harus mengakomodasi hal tersebut. Pemerintah daerah harus menggunakan keleluasaan untuk merancang sistem informasi dan partisipasi yang kuat–terutama dalam pengembangan rencana tata ruang laut–yang sesuai kebutuhan nelayan.
Paling tidak, pemerintah harus meningkatkan pengetahuan nelayan tentang daerah penangkapan ikan mereka dan mendengarkan keinginan mereka ketika mengembangkan tata ruang laut.
Selain itu, memberikan lebih banyak waktu dan ruang bagi nelayan skala kecil untuk berpartisipasi sangat penting dalam memastikan peran serta yang bermakna pula bagi kehidupan mereka. Itu artinya, negara harus dapat memfasilitasi sesi pra-konsultasi yang membuat nelayan merasa aman dan nyaman.
Tata kelola bersama perlu diatur dalam peraturan pelaksanaan di tingkat nasional dan provinsi. Dengan begitu, tata kelola kelautan kolaboratif di kawasan konservasi laut dan pengelolaan perikanan dapat secara efektif membantu pemerintah mencapai target nasional.
Makanan laut yang bersumber secara lokal dan berkelanjutan dari nelayan skala kecil tercinta telah memberi kita semua protein yang melimpah, kebanggaan serta pertumbuhan ekonomi.
Pencapaian target nasional dalam pengelolaan laut dan upaya konservasi, sebagaimana ditentukan dalam Peta Jalan Ekonomi Biru, terkait erat dengan perlindungan akses nelayan kecil terhadap hak tenurial. Komitmen untuk melindungi dan memberdayakan nelayan kecil harus menjadi prioritas dalam setiap kebijakan pemerintah.
Sekarang tergantung pada kita, konsumen, pembayar pajak, dan pemilih, untuk berperan aktif dalam memfasilitasi transformasi tersebut.
*** Para penulis merupakan penyusun laporan, “Nelayan dan Keadilan Laut: Studi Implementasi UU Pemberdayaan Nelayan dan UU Pengelolaan Pesisir di Tujuh Lokasi” yang dilakukan bersama oleh Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) dan Yayasan Pesisir Lestari (YPL). Tulisan merupakan pandangan para penyusunnya.