17 October 2022

(Opini) Mentransformasi ‘Blue Food’ untuk Keamanan Pangan

Makanan yang bersumber dari laut. Kredit foto: Freepik.

Oleh Gridanya Mega Laidha dan Fadilla Octaviani

Terbit di laman The Jakarta Post pada Senin, 17 Oktober 2022

___

Slogan presidensi Indonesia dalam G-20, “Recover Together, Recover Stronger”, mengirimkan pesan yang jelas mengenai fokus untuk pulih dari pandemi COVID-19. Pandemi yang berlangsung hingga dua tahun itu turut berdampak pada pelbagai sektor ekonomi.

Mulai skala kecil, pelaku industri perikanan merasakan dampaknya di tengah-tengah peran signifikan mereka dalam konsumsi global. Industri pulih dengan lambat. Mungkin inilah saatnya kita memikirkan kembali cara kerja sistem pangan, dan bagaimana meningkatkan peran makanan biru atau blue food dalam kebijakan pangan secara keseluruhan.

Masalahnya adalah, blue food kerap terabaikan dalam diskusi dan pembuatan kebijakan terkait sistem pangan.

Absennya blue food menyebabkan kebijakan perikanan lebih menitikberatkan pada kepentingan ekonomi dibanding upaya menjamin ketahanan pangan dan keberlanjutan sumber daya perikanan.

Saat ini kebijakan perikanan belum mampu menjawab tantangan, mulai dari pertumbuhan populasi hingga perubahan iklim. Jaringan pemikir Think20 (T20) dalam G20 mengidentifikasi lima elemen penting yang diperlukan untuk bertransformasi ke sistem pangan biru.

Masing-masing adalah:

(i) mengelola makanan biru sebagai bagian integral dari sistem pangan, termasuk dengan mengintegrasikan kebijakan dan tata kelola
(ii) mengidentifikasi dan mereformasi kebijakan dan praktik yang menghambat transformasi, terutama subsidi merugikan yang ada yang dapat membahayakan keberlanjutan sumber daya perikanan
(iii) melindungi dan memanfaatkan keragaman nutrisi, ketahanan, mata pencaharian dan kelestarian lingkungan, dengan mempertimbangkan dampak perubahan iklim yang parah yang akan terjadi dalam beberapa tahun mendatang
(iv) mengakui dan mendukung peran sentral para aktor skala kecil, dan
(v) berkomitmen terhadap hak asasi manusia dalam kebijakan dan praktik

Peringatan Hari Pangan Sedunia pada 16 Oktober mengingatkan atas pemenuhan hak nelayan dan pekerja skala kecil lainnya dalam sektor kelautan terhadap ketahanan pangan.

Sebanyak 11,34 persen nelayan kecil hidup di bawah garis kemiskinan. Negara belum sepenuhnya menerapkan kebijakan dan program yang secara efektif memprioritaskan peningkatan kesejahteraan mereka–meski Indonesia adalah produsen perikanan tangkap terbesar ketiga dunia.

Manfaat penghasil kekayaan dari makanan biru masih dinikmati terutama oleh bisnis skala industri. Kesenjangan bersumber dari kebijakan yang sebagian besar berfokus pada industri perikanan skala besar dan akuakultur, tetapi gagal mengatasi keragaman pelaku skala kecil, anggapan informalitas mereka, dan budaya terkait.

Sudah saatnya kita meningkatkan peran nelayan skala kecil dalam makanan biru dan sistem pangan global. Kita juga perlu memastikan mereka berperan aktif dalam proses penyusunan kebijakan.

Hal ini bisa tercapai jika kita mengakui status dan hak kelompok marginal, khususnya masyarakat adat dan nelayan perempuan. Selain itu, harus tecermin partisipasi publik yang tulus dan dapat diakses oleh nelayan skala kecil.

Butuh upaya gigih untuk memberdayakan mereka. Tak hanya secara sosial, melainkan juga ekonomi. Misalnya dengan memberikan bantuan keuangan, jaring pengaman sosial (termasuk asuransi), infrastruktur dan jaminan akses serta informasi pasar yang tepat waktu.

Pada akhirnya, pemerintah harus menyediakan playing field yang setara bagi nelayan skala kecil dalam mengelola sistem pangan biru.

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Bank Dunia memproyeksi populasi dunia akan tumbuh menjadi 8,5 miliar orang pada 2030. Permintaan produk perikanan diprediksi naik menjadi 187 juta ton per tahun, dengan kontribusi 50 persen dari kegiatan penangkapan ikan.

Perluasan industri perikanan global, bagaimanapun, telah menipiskan sumber daya ikan yang substansial. Penguatan juga memicu penyalahgunaan tenaga kerja sektor perikanan atas nama pemotongan biaya.

Organisasi Buruh Internasional atau ILO memperkirakan 128.000 nelayan menjadi sasaran kerja paksa. Angka tersebut seringkali diremehkan. Bahkan di Indonesia, negara yang memasok pekerja terbesar ketiga ke armada penangkapan ikan global.

Para nelayan migran Indonesia acapkali menghadapi penipuan dalam perekrutan, menjadi objek pelanggaran dan hak asasi manusia (HAM). Hanya dalam waktu dua tahun sejak 2018 hingga Mei 2020, sebanyak 46 pekerja migran dalam kelompok tersebut meninggal saat bekerja (Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia, 2020).

Oleh karena itu, komunitas internasional mengalihkan perhatiannya dari hanya perikanan berkelanjutan ke rantai pasokan makanan laut yang bertanggung jawab secara sosial.

Ketika hambatan sosial dan politik yang berkontribusi pada ketidakadilan seringkali tak cukup diakui dalam kebijakan makanan biru, pemerintah Indonesia harus segera mengimplementasikan dan meratifikasi beberapa kebijakan dan kesepakatan.

Implementasi termasuk terhadap Perjanjian Tindakan Kepelabuhan atau PSMA. Sementara ratifikasi mencakup Konvensi Perikanan 188 dan Perjanjian Cape Town. Semuanya bermanfaat untuk melindungi hak-hak nelayan, mengakhiri kerja paksa dan memastikan keselamatan mereka di laut.

Pemerintah harus memanfaatkan kepemimpinan ASEAN yang akan datang untuk memastikan komitmen para pemimpin regional. Bersamaan dengan itu, pemerintah juga harus memprakarsai dan mendukung adopsi hak-hak nelayan migran, serta pembentukan kelompok kerja khusus guna menjamin pelindungannya.

Pemerintah juga perlu membuat nota kesepahaman tentang penempatan nelayan migran di negara-negara tujuan utama, seperti Taiwan, Cina dan Spanyol. Penempatan tak hanya di perairan teritorial, tetapi juga zona ekonomi eksklusif (ZEE) dan laut lepas, tempat pelanggaran tenaga kerja sering terjadi.

Pada tingkat nasional dan daerah, pemerintah harus memastikan implementasi Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 2022. Peraturan yang baru diundang-undangkan itu dapat menyelesaikan masalah mendasar terkait perekrutan dan penempatan nelayan migran Indonesia.

Selama bertahun-tahun, isu perikanan, perikanan skala kecil, bahkan HAM di laut tetap berada di kursi belakang agenda pemerintah. Kini, ketika kita akhirnya keluar dari pandemi, tak ada alasan untuk tak segera memulai transformasi sistem pangan biru.

Inilah saatnya kita menempatkan nelayan kecil dan migran sebagai penggerak kebijakan perikanan melalui pembuatan undang-undang dan kebijakan yang melayani kepentingan, HAM, dan kelestarian lingkungan mereka.

KTT G20 yang akan datang dapat menjadi kesempatan yang baik bagi pemerintah untuk menunjukkan komitmennya terhadap kesejahteraan bagi semua pihak dalam sektor perikanan dalam usahanya menjadi pemimpin maritim dunia.

***Penulis merupakan peneliti di Indonesia Ocean Justice Initiative.