6 October 2022

Konferensi Hukum Lingkungan Internasional: Butuh Hukum Transformatif untuk Melindungi Bumi dengan Lebih Baik

Lebih dari 400 pakar hukum sedunia berkumpul di Oslo, Norwegia pada Oktober 2022. Mereka mendiskusikan perangkat hukum transformatif untuk mengatasi tantangan lingkungan global seperti perubahan iklim, hilangnya keanekaragaman hayati, dan polusi.

___

2022 merupakan “tahun yang sangat penting bagi hukum dan tata kelola lingkungan internasional,” kata Prof. Christina Voigt. Ia merupakan Ketua Komisi Dunia untuk Hukum Lingkungan Internasional atau WCEL yang berpayung International Union for Conservation of Nature (IUCN).

Berdiri di balik mimbar, ia membuka Konferensi Hukum Lingkungan Internasional yang berlangsung pada 3-6 Oktober dan diikuti lebih dari 400 peserta. “Sangat penting,” katanya kemudian, “karena kita merayakan ulang tahun pelbagai instrumen penting terkait lingkungan hidup.”

Terlepas dari pelbagai upaya internasional itu, dan banyak lagi lainnya, “saat ini kita menghadapi sejumlah tantangan lingkungan yang semakin menjauhkan dunia dari pencapaian komitmen internasional,” katanya melanjutkan, “misalnya Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau SDGs.”

Meski begitu, ia optimistis para praktisi hukum sedunia masih memiliki kesempatan untuk melakukan perubahan transformatif. Voigt menilai hukum memiliki potensi untuk menjadi alat yang ampuh melakukan perubahan pada skala yang berbeda.

Pertanyaannya sekarang, kata Voigt, “Apa yang masyarakat butuhkan dari hukum sebagai katalis perubahan transformatif?”

Ia tak memberi jawaban. Sebaliknya, Voight memberikan ruang bagi ratusan peserta untuk bersama-sama mencari jawaban atas pertanyaanya.

Ketua Komisi Dunia untuk Hukum Lingkungan Internasional, Cristina Voigt

Senada dengan Voigt, Menteri Luar Negeri Norwegia, Anniken Huitfeldt, menekankan pentingnya perubahan sistemik dan penguatan peran hukum lingkungan di dunia, pada hari ini. Menurut Huitfeldt, upaya tersebut–jika dibarengi dengan mekanisme pendanaan yang transformatif–dapat mengatasi serangkaian tantangan terkait lingkungan hidup.

Presiden IUCN, Razan Al Mubarak, menyepakati mekanisme pendanaan transformatif yang lebih dulu diutarakan Huitfeldt. Mekanisme itu, kata Al Mubarak, “selayaknya didukung peningkatan kapasitas, telaah berbasis sains dan hukum yang transformatif.”

Sebanyak 176 negara telah memiliki undang-undang terkait lingkungan hidup. Kian banyak pula negara yang mengakui hak atas lingkungan yang sehat dalam konstitusi atau kerangka kerja nasional mereka. Kini persoalannya adalah telah mampu kah hukum tersebut melawan tiga sumber krisis Bumi?

Perubahan iklim, hilangnya keanekaragaman hayati dan polusi. Ketiganya membuat krisis Bumi kian menjadi-jadi. Direktur Eksekutif Program Lingkungan PBB atau UNEP, Inger Andersen mengingatkan, tiga sumber krisis itu memerlukan pemerintah sedunia untuk melakukan orientasi ulang atas prioritas-prioritas yang sudah mereka tetapkan.

 

Partisipasi IOJI dalam Panel Nature-based Solutions

Pada panel ini, Dr. Mas Achmad Santosa mempresentasikan abstraksi yang disusun oleh IOJI bertajuk “Enhancing the Blue Ecosystem Governance: Study Case Indonesia”. Abstraksi kajian itu berangkat dari pengamatan akan banyaknya hukum lingkungan terkait ekosistem karbon biru yang saat ini masih menganut konsep weak sustainability ketimbang strong sustainability. Kerangka hukum nasional perlu mengakui ekosistem karbon biru sebagai modal alam kritis atau critical natural capital karena memenuhi kriteria penyedia jasa lingkungan yang kritis berdasarkan Fridolin Brand (2009). Pengakuan ini harus diikuti dengan tindakan nyata pemerintah dengan memberlakukan instrumen perlindungan yang kuat yang diatur tanpa klausul pengecualian.

Sesi paralel solusi berbasis alam pada 6 Oktober:

Chair: Fabiano De Andrade (Deputy Chair, WCEL Climate Law Specialist Group)
● Demoz Asfaw, “Wetlands of the Nile Basinas New Frontiers of Degradation and Conflict: A
Quest for Gender-Responsive and Conflict-Sensitive Wetland Governance and Nature-based
Solutions for Basin Management”
● Mas Achmad Santosa, “Enhancing the Blue Carbon Ecosystem Governance” (Co-authored
with Grace Gabriella Binowo, Karenina Lasrindy, Harish Makarim, and Stephanie Rizka) (online)
● Juan Carlos Sanchez Ramirez, “Peatlands Governance: Review of selected legal frameworks
for improved peatland management” (online)

Webinar konferensi selengkapnya, dapat disimak di sini.