4 October 2022

Refleksi Kasus Selat Torres: Negara Perlu Melindungi Masyarakat yang Rentan Terdampak Perubahan Iklim

Delapan pengadu dari kelompok masyarakat adat Kepulauan Selat Torres. (Dok. clientearth.org)

IOJI dan ICEL berbagi pernyataan bersama yang diharapkan dapat mendorong pemerintah memperkuat mitigasi dan adaptasi yang lebih komprehensif terhadap isu perubahan iklim. Pernyataan merupakan refleksi atas kasus yang melibatkan penduduk asli Selat Torres dan pemerintah Australia.

Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengadopsi resolusi yang menyatakan hak atas lingkungan yang bersih, sehat, dan berkelanjutan sebagai hak asasi manusia (HAM) universal. Resolusi yang diadopsi pada 28 Juli 2022 itu berangkat dari hambatan pemenuhan atas HAM terkait degradasi lingkungan global.

Dua bulan sesudahnya, Komite HAM PBB menyatakan pemerintah Australia melanggar HAM penduduk asli Kepulauan Selat Torres, masyarakat adat Melanesia yang hidup di kepulauan sekitar selat itu di negara bagian Queensland, Australia.

Berdasarkan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights), Australia dinyatakan bersalah, diwajibkan memberikan kompensasi sekaligus memulihkan tempat hidup penduduk asli Kepulauan Selat Torres (Torres Strait Islanders).

 

Melindungi Masyarakat di Pulau-Pulau Kecil

Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) dan Indonesia Center for International Law (ICEL) menilai keputusan Komite HAM PBB atas kasus tersebut perlu dicermati pemerintah sedunia–khususnya Indonesia, negara dengan jumlah climate vulnerable inhabitants yang tinggi.

Badan Pusat Statistik pada 2020 menyatakan dampak perubahan iklim seperti kenaikan air laut, ancaman gelombang ekstrim, dan banjir rob akan mengancam 42 juta penduduk Indonesia yang tinggal kurang dari 10 meter di atas permukaan laut.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana menyimpulkan dampak perubahan iklim turut mengubah morfologi pantai, merendam pulau-pulau kecil, dan mencemari sumber air tawar.

Dampak perubahan iklim telah dirasakan di pulau-pulau kecil sebagaimana tercatat satelit LAPAN. Wilayah Pulau Anak Krakatau (Lampung), Pulau Kalinambang (Sulawesi Utara), Pulau Nipa dan Pulau Anak Ladang (Kepulauan Riau) serta Pulau Karakitang (Bangka-Belitung) terdegradasi akibat terdampak kenaikan permukaan air laut.

Berkaca dari kasus yang melibatkan pemerintah Australia itu, “negara bisa digugat jika abai melindungi penduduknya dari bencana iklim. Kami mengingatkan kembali bahwa Indonesia bisa digugat jika gagal meraih target target penurunan emisi,” kata Direktur IOJI, Stephanie Juwana.

Sebagai negara penghasil emisi gas rumah kaca terbesar ke-7 di dunia, “Indonesia perlu mengakselerasi upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, khususnya di pulau-pulau berdataran rendah yang rentan akan dampak perubahan iklim,” kata Stephanie.

“Menunda untuk melakukan mitigasi dan adaptasi yang memadai, berpotensi menimbulkan ancaman pelanggaran HAM oleh negara,” tulis IOJI dan ICEL dalam pernyataan bersama. Serupa dengan kasus di Kepulauan Selat Torres.

 

Becermin dari Kegagalan Pemerintah Australia

Masyarakat adat Torres Strait Islanders mendiami wilayah kepulauan di timur laut Australia. Kehidupan spiritual mereka begitu dekat dengan alam, bahkan sejak zaman leluhur.

Pada 2019, sebanyak delapan orang dewasa dan enam anak mereka dalam kelompok masyarakat adat tersebut melayangkan surat pengaduan bersama (joint complaint) ke Komite HAM PBB.

Tinggal di Boigu, Poruma, Warraber dan Masig–empat pulau kecil di wilayah Selat Torres Australia–ke-14 orang itu menyatakan pemerintah Australia telah gagal mengatasi perubahan iklim di wilayah hunian mereka.

Dalam komplain, mereka mengklaim perubahan pola cuaca berdampak langsung pada penghidupan, budaya dan cara hidup tradisional penduduk setempat. Mereka berpendapat perubahan iklim yang ditandai hujan deras disertai badai telah merusak tanah dan pepohonan.

Permukaan air laut pun naik. Kenaikannya menyebabkan air asin merembes ke dalam tanah. Rembesan turut mematikan perkembangan buah-buah kelapa, salah satu makanan tradisional penduduk di kepulauan tersebut.

Banjir parah akibat gelombang pasang dalam beberapa tahun terakhir, tulis warga dalam komplain, telah menghancurkan makam keluarga yang meninggalkan jasad-jasad yang tersebar di pulau mereka. Padahal, menjaga makam leluhur serta berkomunikasi dengan mendiang kerabat merupakan inti dari budaya mereka.

Dalam putusan, Komite HAM PBB turut mempertimbangkan hubungan spiritual penduduk pulau yang dekat dengan tanah tradisional mereka, dan ketergantungan integritas budaya mereka pada kesehatan ekosistem di sekitarnya.

Komite juga menemukan kegagalan pemerintah Australia untuk mengambil tindakan yang tepat waktu dan memadai untuk melindungi penduduk asli kepulauan tersebut dari dampak perubahan iklim.

Kegagalan menyebabkan pelanggaran terhadap hak penduduk asli untuk menikmati budaya mereka sendiri, dan untuk bebas dari campur tangan sewenang-wenang dalam kehidupan pribadi, keluarga dan rumah mereka.

“Negara-negara yang gagal melindungi individu di bawah yurisdiksi mereka dari dampak buruk perubahan iklim telah melanggar HAM berdasarkan hukum internasional,” kata anggota Komite HAM PBB, Hélène Tigroudja.

Siaran pers bersama IOJI dan ICEL, dapat dibaca di sini.