4 October 2022

Kolaborasi dan Sinergi KKP Bersama IOJI untuk Nelayan Kecil

Peluncuran buku kajian “Nelayan dan Keadilan Laut” pada 10 November 2022. Kredit foto: IOJI

IOJI bersama KKP mengadakan peluncuran kajian “Nelayan dan Keadilan Laut: Dampak Undang-Undang Perlindungan Nelayan dan Pengelolaan Wilayah Pesisir bagi Kesejahteraan Nelayan Kecil”. Kajian ini berfokus pada perlindungan dan pemberdayaan nelayan kecil.

___

Sekitar 3,7 juta orang Indonesia bermatapencaharian sebagai nelayan. Sebanyak 90 persen di antaranya merupakan nelayan skala kecil atau yang secara langsung bergantung pada sektor perikanan skala kecil.

Peran nelayan tak hanya pending dalam lensa perikanan. Lebih dari itu, nelayan memiliki peran krusial dalam kerangka sosiologis. Mereka lah pondasi bagi kehidupan di pesisir dan pulau-pulau kecil.

Meski begitu, komunitas nelayan selama ini masih marjinal, khususnya dalam hal akses. Akses mereka terbatas ke pasar global dan terhadap kredit. Keterbatasan di sana-sini membuat mereka mau tak mau menjual tangkapan secara lokal.

Kondisi tersebut menyebabkan pendapatan nelayan skala kecil fluktuatif pada kisaran angka minimal. Rendahnya pendapatan mereka belum sepadan dengan nilai ekonomi pasar ekspor perikanan nasional, yang secara kolektif mendulang Rp73 triliun dari 1,26 juta ton ikan.

Mencermati komparasi yang tak berimbang itu, sudah selayaknya negara, tak hanya menetapkan, melainkan juga mengkaji ulang kebijakan penyangga yang nantinya mampu menyejahterakan nelayan skala kecil.

 

Nelayan Kecil Tak Boleh Tergusur

Pada 16 tahun silam, pemerintah menerbitkan Undang-Undang (UU) Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (WP3K). Sembilan tahun kemudian, terbit UU Nomor 7 Tahun 2016 tentang Pemberdayaan Nelayan, Pembudi daya Ikan, dan Petambak Garam.

Kedua UU menekankan upaya-upaya guna menyejahterakan masyarakat pesisir, termasuk nelayan. UU diharapkan dapat pula memberikan perlindungan menyeluruh bagi nelayan skala kecil dan tradisional. Namun, harapan tersebut hingga hari ini belum terwujud secara maksimal.

Hari ini, masih banyak praktik yang memungkinkan peminggiran nelayan skala kecil. Peminggiran memicu ketidaksetaraan antara nelayan industri dan nelayan skala kecil. Padahal, sejumlah lembaga advokasi kerap mengingatkan: nelayan skala kecil tak boleh tergusur dari wilayah tradisional mereka.

Dua tahun lalu, High Level Panel for a Sustainable Ocean Economy menerbitkan kajian mengenai keadilan laut. Dalam kajian, para penulisnya mengeksplorasi tren distribusi manfaat dan beban dari akses terhadap kekayaan laut.

Dari kajian tersebut tampak bagaimana konsep keadilan laut semakin relevan dengan momentum percepatan pembangunan, termasuk dalam sektor perikanan. Keadilan laut diharapkan dapat mendorong perwujudan kesetaraan dalam pengelolaan perikanan sekaligus mereduksi konflik.

Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) berharap kajian dapat dijadikan panduan pemberdayaan nelayan kecil dalam dinamika perikanan Indonesia. Kini, menjadi penting pula untuk mengkaji ulang dampak dua aturan pemerintah terkait nelayan skala kecil: sudahkah kebijakan itu sejalan dengan kerangka dan tujuan keadilan laut?

 

Daya dan Upaya Menuju Keadilan Laut

Bekerja sama dengan Yayasan Pesisir Lestari (YPL), IOJI melakukan kajian tentang dua UU tersebut. Kajian berfokus pada lima tipologi ketidakadilan laut yang selama ini ada dan dialami para nelayan.

Kelimanya adalah ketidakadilan tenurial yang berkaitan dengan pemanfaatan ruang laut; ketidakadilan manfaat ekonomi yang timbul dari pembangunan laut; ketidakadilan dampak (kebijakan) kepada nelayan; ketidakadilan terkait penurunan jasa ekosistem; serta ketidakadilan dalam tata kelola yang inklusif dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM).

Dalam telaah bertajuk “Nelayan dan Keadilan Laut: Kajian Pelaksanaan UU Pemberdayaan Nelayan dan UU Pengelolaan Pesisir di Tujuh Lokasi”, IOJI bersama YPL dan didukung oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melakukan penelitian di tujuh lokasi yang ada di tujuh kabupaten.

Tiga di antaranya berada di Kecamatan Pulau Tiga (Kabupaten Natuna, Provinsi Kepulauan Riau), Kecamatan Likupang Barat (Kabupaten Minahasa Utara, Provinsi Sulawesi Utara) dan Kecamatan Nusalaut (Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku).

Pernyataan pers Menteri Kelautan dan Perikanan, Sakti Wahyu Trenggono sesudah peluncuran kajian “Nelayan dan Keadilan Laut” pada 10 November 2022. Kredit: IOJI

Chief Executive Officer IOJI, Mas Achmad Santosa mengatakan kajian berangkat dari kekhawatiran masyarakat pesisir akan kebijakan yang berpotensi merugikan dan mengancam kehidupan mereka.

Kekhawatiran didorong fokus pemerintah yang beberapa tahun belakangan turut memanfaatkan laut dan pesisir sebagai bagian dari konsep pembangunan nasional. Pada praktiknya, “pembangunan dilakukan dengan mengadopsi konsep ekonomi biru yang diklaim bisa menjaga prinsip keberlanjutan di laut dan pesisir,” kata Mas Achmad.

Pendekatan sustainable ocean economy atau sustainable blue economy, katanya kemudian “tentu saja harus paralel dan berjalan harmonis dengan semangat kita semua untuk mewujudkan aspek keadilan sosial (social justices) dan keadilan ekologis (ecological justices).”

Kajian selengkapnya, dapat dibaca di sini.