Blue food menjadi salah satu topik diskusi G20. Think20 (T-20), jaringan pemikir G20, turut merekomendasikan reformasi kebijakan yang saat ini menghambat transisi dari pangan konvensional ke blue food.
—
Makanan biru (blue food)–ikan, kerang, alga, dan tumbuhan yang dibudidayakan, ditangkap di air tawar dan laut– sangat beragam, kaya protein dan mikronutrien esensial yang dibutuhkan manusia. Makanan biru menawarkan alternatif berkelanjutan ketimbang makanan bersumber hewani terestrial.
Sebanyak dua pertiga dari keseluruhan makanan biru yang dikonsumsi manusia merupakan produksi perikanan skala kecil dan akuakultur. Lebih dari 2.500 spesies satwa atau kelompok spesies ditangkap dan atau dipanen di ekosistem air tawar dan laut.
Sekitar 96 juta ton makanan biru merupakan produk perikanan tangkap dan 82 juta ton lainnya berbasis perikanan budi daya. Separuh dari jumlah tersebut disumbang oleh nelayan skala kecil.
Pembauran Sumber Pangan Biru
Terdapat sejumlah alasan yang mampu mendorong penguatan permintaan akan blue food, yang diprediksi tumbuh nyaris dua kali lipat pada 2050. Pertumbuhan yang semacam itu turut didorong pertambahan populasi dan pendapatan masyarakat.
Avinash Kishore et al. pada 2021 menerbitkan kajian bertajuk “Blue food demand across geographic and temporal scales”. Jika diproduksi secara bertanggung jawab, papar Kishore et al., blue food dapat menyangga upaya guna mengakhiri kekurangan gizi.
Blue food juga berpotensi membangun sistem pangan yang sehat, berdampak positif bagi alam dan tangguh–berkontribusi pada kemajuan di 9 dari 17 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs).
Keragaman spesies yang luar biasa disertai manfaat yang tak kalah istimewanya membutuhkan peran aktif pemerintah supaya dapat secara berkelanjutan mengembangkan blue food.
Di lain sisi, pemerintah perlu mengkaji kembali penangkapan liar perikanan, baik di laut maupun budi daya air tawar. Upaya dibutuhkan untuk memulihkan pasokan ikan yang terus menurun akibat penangkapan berlebihan (overfishing), Illegal, Unreported and Unregulated (IUU) Fishing.
Pengkajian ulang “dapat membantu pemerintah mengelola dan membangun [ekosistem perairan] dengan lebih baik,” tulis Hilborn et al. dalam riset yang diterbitkan Bank Dunia pada 2017.
Memegang presidensi G20 pada 2022, Indonesia berkesempatan menyuarakan pentingnya pembauran pangan berbasis biru yang adaptif bagi negara-negara kelautan sedunia. Salah satu caranya lewat Think20 (T20), jaringan pemikir G20.
T20 satuan tugas (task force) 4 “Food Security and Sustainable Agriculture” dipercaya untuk melakukan kajian mendalam yang nantinya menjadi rekomendasi kebijakan bagi para petinggi G20 terkait, salah satunya, blue food.
Dalam T20 task force 4, Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) diwakili oleh Chief Operating Officer Fadilla Octaviani dan Gridanya Mega Laidha, yang bersama representatif wadah pemikir lain memetakan lima tantangan utama dalam transformasi menuju blue food.
Lima tantangan utama yang penting untuk dijawab para pemangku kepentingan itu, masing-masing:
(1) Pemisahan kewenangan terhadap kebijakan perikanan dan akuakultur dengan kebijakan pertanian dan pangan. Akibatnya, blue food acapkali absen dari ruang diskusi mengenai kebijakan dan sistem pangan yang berkelanjutan
(2) Terlalu banyak fitur dalam sistem pangan justru memperumit transformasi menuju blue food
(3) Pemerintah perlu secara aktif mempromosikan perlindungan sekaligus adaptasi atas keberagaman nutrisi, resiliensi, penghidupan masyarakat sekaligus keberlanjutan lingkungan hidup
(4) Mengakui sekaligus mendukung peran penting masyarakat dan para pelaku usaha kecil dalam sektor perikanan
(5) Berkomitmen untuk senantiasa mengedepankan hak asasi manusia dalam setiap penyusunan kebijakan terkait perikanan
Ketika kelimanya mampu terjawab dan blue food dapat diproduksi secara bertanggung jawab, niscaya 9 dari 17 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan–termasuk mengentaskan kemiskinan dan kelaparan serta kesetaraan gender–akan terwujud.
Rekomendasi T20 task force 4 selengkapnya, dapat disimak di sini.