6 February 2022

Podcast ‘Menjaga Keamanan Laut Indonesia’ bersama Susi Pudjiastuti, Pemred Tempo dan Dubes RI untuk Jerman

Laut Natuna kerap didatangi kapal-kapal militer Amerika Serikat dan Tiongkok, seiring ketegangan antarkedua negara di Laut China Selatan. Kondisi itu acapkali menghalangi pemerintah mengelola sumber daya alam hayati dan non-hayati secara berkelanjutan dan berkeadilan.
___

Perairan Indonesia berada pada posisi strategis keanekaragaman hayati kelautan dunia. Berlimpah ikan sekaligus menjadi jalur migrasi mamalia laut, “tentu laut Indonesia ‘menarik’ bagi negara lain yang sumber daya perikanannya terus menurun,” kata mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Kabinet Kerja (2014-2019), Susi Pudjiastuti.

Apalagi, katanya, “negara-negara seperti Tiongkok dan Vietnam melarang penggunaan pukat harimau atau trawl di wilayah perairan mereka,” kata Susi kemudian, “itulah mengapa kapal-kapal penangkap ikan mereka bergeser ke Indonesia.”

Kondisi menjadi rumit ketika kapal-kapal asing itu beroperasi di perairan Indonesia yang bertahun-tahun sulit terlepas dari sengketa. Kehadiran kapal-kapal tersebut mengancam hak berdaulat Indonesia terhadap sumber daya alam (SDA) perikanan dan kelautan di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE).

Sementara itu, “nyaris 79 persen wilayah Indonesia adalah laut. Sayang sekali kalau kita tidak hidup dari laut,” kata Susi.

Tangkapan layar siniar “Menjaga Keamanan Laut Indonesia”.

Pengingat Susi ternyatakan dalam siniar “Menjaga Keamanan Laut Indonesia” pada 6 Februari 2022. Siniar secara khusus membahas tata kelola yang tepat agar perairan nasional dapat, secara adil dan berkesinambungan, senantiasa menyejahterakan masyarakat yang bergantung darinya.

Selain Susi, siniar yang dipandu Pemimpin Redaksi Tempo, Arif Zulkifli itu juga menghadirkan Duta Besar RI untuk Jerman yang juga ahli hukum laut, Arif Havas Oegroseno dan Chief Executive Officer (CEO) Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI), Mas Achmad Santosa.

Dalam siniar, Susi sempat mengisahkan masa-masa penenggelaman kapal asing yang kedapatan beroperasi di wilayah ZEE Indonesia. Penenggelaman merupakan salah satu kebijakan kunci Susi kala ia menjabat Menteri Kelautan dan Perikanan.

Kebijakan itu ia ambil sebab, menurut Susi, “hukuman denda saja cenderung ringan untuk mereka [kapal penangkap ikan asing].” Sekali sebuah kapal penangkap ikan kedapatan memasuki ZEE Indonesia, dendanya sekitar Rp1-2 miliar. “Mudah saja bagi mereka untuk membayar, kemudian mencuri [ikan] lagi,” kata Susi yang juga ketua Pandu Laut Nusantara.

Kini, penenggelaman kapal penangkap ikan asing di perairan teritorial Indonesia kian tak terdengar suaranya.

Tangkapan layar siniar “Menjaga Keamanan Laut Indonesia”.

Mas Achmad menyebut penenggelaman kapal asing di perairan Indonesia sebagai kebijakan yang lebih dari sekadar shock therapy. Dengan catatan, kata CEO IOJI itu, “ketika sistemnya diterapkan secara berkelanjutan.”

Selama bertahun-tahun pelbagai media massa secara terus-menerus memberitakan pencurian SDA perikanan oleh kapal berbendera asing di ZEE Indonesia. Di sebelah utara Indonesia, misalnya, pencurian SDA perikanan kerap terjadi di Laut Natuna.

Sepanjang 2021, IOJI mendeteksi ratusan kapal ikan asing Vietnam dan Tiongkok melakukan intrusi di Laut Natuna dengan tingkat ancaman yang tinggi. Kapal-kapal tersebut diduga kuat melakukan aktivitas illegal fishing di wilayah terkait.

Tidak hanya kapal ikan, namun kapal-kapal berjenis lain seperti kapal survei geologi, kapal patroli China Coast Guard dan kapal militer Tiongkok juga terdeteksi melakukan intrusi di sana.

Natuna berada di tengah-tengah Laut China Selatan, pemicu ketegangan geopolitik antara beberapa negara Asia Tenggara dan China–dan akhirnya terserempet campur tangan Amerika Serikat (AS).

Beijing mengklaim hampir 90 persen wilayah Laut China Selatan yang dinamai “sembilan garis putus-putus”. Washington menolak klaim Beijing. AS bahkan beberapa kali mengirimkan kapal perangnya ke Laut China Selatan dengan dalih “kebebasan navigasi”.

Sementara di Samudra Hindia, “[kapal] Prancis dan Spanyol ambil ikan [di ZEE Indonesia,” kata Arif Havaz. Menurutnya, kondisi ini menyebabkan posisi nelayan skala kecil semakin tersudut.

Terlebih lagi, “pemerintah Indonesia selama ini memberikan subsidi ke nelayan skala besar alih-alih nelayan skala kecil,” kata Arif Havaz.

Nelayan skala besar acapkali mencari ikan dalam rombongan. Ketika mencari ikan secara berkelompok, beberapa komponen biaya operasional ditanggung bersama. Jadi, “sebetulnya mereka sudah berhemat. Sekarang masih ditambah lagi dengan subsidi.”

Indonesia memiliki laut seluas lebih dari 6,4 juta kilometer persegi. Data Posisi Perikanan dan Akuakultur Dunia 2020 yang diterbitkan Badan Pangan Dunia atau FAO menyebutkan produksi perikanan Indonesia merupakan yang tertinggi ketiga sedunia pada 2018.

Tahun itu, atau terakhir data diterbitkan, produksi perikanan tangkap nasional sebesar 6,71 juta ton. Posisi Indonesia berada di belakang Tiongkok (12,68 juta ton) sebagai peringkat pertama yang disusul Peru (7,15 juta ton).

Ancaman pencurian ikan oleh kapal asing membuat nelayan setempat harus bersaing dengan nelayan berbendera asing untuk menangkap ikan di laut mereka sendiri. Dan kita tahu, nelayan skala kecil lebih banyak kalah dalam persaingan.

Arif Havaz mengingatkan pemerintah supaya lebih aktif melakukan pengawasan hingga batas terluar klaim ZEE Indonesia. “Harus dilacak pula ke mana nelayan-nelayan asing itu menjual ikan yang mereka tangkap di ZEE kita [Indonesia],” katanya.

Pelacakan juga membutuhkan lobi kuat dari pemerintah. Ia berharap “[pemerintah] dapat secara tajam melobi hingga Uni Eropa, AS atau ke manapun nelayan-nelayan asing menjual ikan dari ZEE Indonesia. Melobi, supaya mereka jangan beli ikan curian dari laut kita.”

Simak siniar selengkapnya, di sini.