[Siaran Pers] Pencurian Ikan, Gangguan Kapal Asing, dan Kerusakan Kabel Laut di Wilayah Perairan dan Yurisdiksi Indonesia

 Laporan Deteksi dan Analisis Ancaman Keamanan Laut IOJI, Mei-September 2025

Jakarta, 20 November, 2025 – Ancaman keamanan laut berupa pencurian ikan masih marak terjadi di wilayah perairan dan yurisdiksi Republik Indonesia, terutama di dua lokasi yaitu batas Zone Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia-Vietnam di Laut Natuna Utara, dan batas  ZEE Indonesia-Filipina di laut Indonesia Timur dan Tengah, demikian hasil Laporan Deteksi dan Analisis Ancaman Keamanan Laut periode Mei-September 2025, yang diluncurkan oleh Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI). Laporan ini juga mengungkapkan dugaan pelanggaran kapal riset perikanan Cina dan patroli kapal China Coast Guard di Laut Natuna Utara, serta deteksi penyebab kerusakan kabel bawah laut ruas Timika-Merauke.

Laporan ini diluncurkan dalam acara diskusi publik pada tanggal 14 November 2025 di Jakarta, yang turut dihadiri oleh Direktur Pengendalian Operasi Armada, Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan, Saiful Umam, dan Deputi Bidang Kebijakan dan Strategi, Badan Keamanan Laut Republik Indonesia, Didong Rio Duta Purwokuntjoro.

“Tugas menjaga keamanan laut Indonesia, yang luasnya 6,4 juta kilometer persegi, adalah tanggung jawab kita bersama. Melalui peluncuran Laporan Deteksi dan Analisis Ancaman Keamanan Laut periode Mei-September 2025, IOJI berharap dapat membantu kerja pemerintah, serta terus mendorong perbaikan peraturan dan kebijakan kelautan di Indonesia,” ungkap Program Director IOJI, Andreas Aditya Salim.

Direktur Pengendalian Operasi Armada, Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan, Saiful Umam, menyatakan, “Pemerintah Indonesia terus melakukan pengawasan dan penegakan hukum untuk memberantas illegal fishing dengan menerapkan berbagai cara, antara lain dengan menerapkan integrated surveillance system, menindaklanjuti laporan masyarakat, dan memperkuat kolaborasi dengan berbagai pihak terkait, antara lain dengan IOJI”.

Deputi Bidang Kebijakan dan Strategi, Badan Keamanan Laut Republik Indonesia, Didong Rio Duta Purwokuntjoro, menyatakan, “Kabel laut adalah infrastruktur vital yang menjadi tulang punggung sistem komunikasi global dan nasional, yang terkait dengan jaringan internet, perbankan dan pemerintahan. Indonesia perlu segera memberikan perlindungan hukum dan kelembagaan yang baik terhadap kabel laut.”

Sebagai bagian dari rangkaian publikasi yang diterbitkan IOJI setiap tahun, laporan ini disusun berdasarkan analisis data menggunakan berbagai perangkat lunak (Marine Traffic, Global Fishing Watch, dan Skylight), dan dukungan berbagai sumber data pemantauan kapal (Automatic Identification System/AIS, Citra Satelit, VIIRS, Vessel Monitoring System) serta teknologi kecerdasan artifisial (artificial intelligence).

Dugaan Pencurian Ikan oleh Kapal-kapal Vietnam dan Filipina

Laporan IOJI menunjukkan bahwa aktivitas illegal, unreported and unregulated fishing (IUU fishing) oleh kapal ikan asing masih marak terjadi di kawasan Laut Natuna Utara, terutama dari kapal-kapal yang diduga kuat berasal dari Vietnam. Menurut Imam Prakoso, Senior Analyst IOJI, Selama periode Mei hingga Agustus 2025, kami mendeteksi persebaran kapal ikan Vietnam di Laut Natuna Utara. Berdasarkan analisis kami, hampir semuanya dicurigai menggunakan alat tangkap pair trawl yang sangat destruktif dan merusak ekosistem dasar laut.”

Dalam satu tahun, puncak intrusi kapal Vietnam terjadi dalam dua gelombang, yaitu Maret sampai Mei dan September sampai November. Kapal ikan Vietnam yang terdeteksi seringkali didampingi kapal penampung ikan atau kapal pemerintah Vietnam. “Pengamatan melalui citra satelit menunjukkan pada Mei sampai Agustus 2025 terdapat paling tidak 110 kapal ikan dari Vietnam yang beroperasi tanpa izin di ZEE Indonesia di Laut Natuna Utara,” lanjut Imam Prakoso.

IOJI juga melakukan pengamatan lebih mendalam pada area Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) 716 dan WPP 717, dan menemukan keberadaan “objek gelap” yaitu objek yang tidak memancarkan sinyal transmisi AIS. Meski demikian, objek ini masih dapat terdeteksi menggunakan teknologi citra satelit dan teknologi deteksi cahaya. Temuan ini mengindikasikan maraknya keberadaan rumpon-rumpon dan kapal-kapal pada area batas terluar ZEE Indonesia dengan Filipina maupun yang berbatasan dengan laut lepas di Indonesia timur dan tengah. Situasi ini menunjukkan potensi aktivitas ilegal antara lain pencurian ikan dengan modus, antara lain, illegal transshipment.

Menurut Program Officer IOJI, Laura Nindya, berdasarkan United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) atau Konvensi Hukum Laut, negara pantai (coastal state) memiliki hak berdaulat untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi serta mengelola dan melestarikan sumber daya yang berada di ZEE-nya.Negara lain yang ingin melaksanakan haknya (misalnya melintas) pada area di mana hak berdaulat yurisdiksi negara pantai berlaku, wajib untuk memperhatikan hak dan kewajiban negara pantai (due regard) serta mematuhi hukum dan peraturan yang ditetapkan oleh negara pantai sesuai dengan ketentuan UNCLOS dan norma hukum internasional lainnya. Selain itu, UU Perikanan mengatur bahwa setiap orang yang melakukan usaha perikanan, salah satunya termasuk penangkapan ikan, di wilayah pengelolaan perikanan Indonesia wajib memiliki Perizinan Berusaha. Penempatan alat bantu penangkapan ikan seperti rumpon juga wajib membutuhkan izin sesuai dengan peraturan perundang-undangan Indonesia.

Dugaan Aktivitas Kapal Riset Perikanan Cina dan Patroli Kapal China Coast Guard

IOJI juga mendeteksi bahwa Pemerintah Cina masih terus mengoperasikan kapal China Coast Guard, dan kapal riset kelautan bernama Nan Feng di Laut Natuna Utara pada tiga titik lokasi dengan durasi yang berbeda-beda. Kapal China Coast Guard dengan nomor lambung 5204 (CCG 5204) terdeteksi kembali memasuki Laut Natuna Utara pada bulan September 2025, yang diduga masih berkaitan dengan klaim sepihak Pemerintah Cina atas nine-dash-line, yang sudah dinyatakan bertentangan dengan hukum internasional pada tahun 2016 oleh Majelis Arbitrase pada the Permanent Court of Arbitration.

MenurutProgram Officer IOJI, Alif Lathif, penelitian kelautan merupakan salah satu hak berdaulat sebuah negara berdasarkan Pasal 56 UNCLOS. Izin dari pemerintah Indonesia wajib terlebih dahulu didapatkan sebelum dapat melaksanakan penelitian di wilayah laut Indonesia. Indonesia, berdasarkan UNCLOS, dapat mengambil tindakan yang diperlukan terhadap pihak yang melanggar hak berdaulat ini. Di Indonesia, penelitian kelautan diatur dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2014 tentang Kelautan (UU Kelautan) dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (UU Sisnas Iptek). Pasal 55 UU Perikanan juga mengatur bahwa penelitian perikanan di wilayah pengelolaan perikanan Indonesia wajib memperoleh izin dari pemerintah, harus mengikutsertakan peneliti Indonesia, dan harus menyerahkan hasil penelitiannya kepada pemerintah.

Deteksi Penyebab Kerusakan Kabel Bawah Laut Ruas Timika-Merauke

Konektivitas digital Indonesia bergantung, salah satunya, pada Sistem Komunikasi Kabel Laut (SKKL). Di Laut Arafura, berdasarkan deteksi, kabel bawah laut telah mengalami beberapa kerusakan yang, diduga kuat, akibat maraknya aktivitas kapal ikan pada area tersebut. “IOJI mendeteksi frekuensi kerusakan kabel laut yang terjadi di Laut Arafura berdasarkan pergerakan kapal cable laying dan pergerakan kapal ikan yang bersinggungan dengan jalur kabel bawah laut, utamanya lintasan kabel laut SKKL SMPCS Packet 2,” ungkap Imam Prakoso.

Menurut Deputi Bidang Kebijakan dan Strategi, Badan Keamanan Laut Republik Indonesia, Didong Rio Duta Purwokuntjoro, “Kabel laut adalah salah satu dari delapan topik keamanan laut yang penting. Di Indonesia, pengelolaan kabel bawah laut masih bersifat sektoral, dan bahkan belum memiliki kerangka hukum nasional secara eksplisit. Peraturan yang berlaku saat ini, UU No. 32 tahun 2014 tentang Kelautan, dan UU No. 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi, belum mencakup tata ruang dan zona aman kabel.”

Menurut Alif Lathif, kabel bawah laut diatur dalam hukum internasional, yaitu UNCLOS dan Submarine Cable Convention 1884, dan hukum nasional yaitu UU Telekomunikasi. Masih diperlukan upaya untuk mengoptimalkan tata kelola kabel bawah laut salah satunya dengan menetapkan kabel bawah laut sebagai objek vital nasional. Pada level operasional, sosialisasi jalur kabel bawah laut perlu lebih diintensifkan kepada para kapten kapal yang melintas di wilayah perairan dan yurisdiksi Indonesia.

Laporan lengkap, analisis hukum dan rekomendasi IOJI dibaca di tautan berikut: https://bit.ly/LaporanMDA-25-IOJI.

Narahubung:

Waraney Rawung, waraneyhr@oceanjusticeinitiative.org