[Siaran Pers] Hari Laut Sedunia Pentingnya Memitigasi Dampak Perubahan Iklim terhadap Masyarakat Pesisir Indonesia

Prof. Emil Salim beserta masyarakat pesisir terdampak perubahan iklim dan para penanggap Ocean-Climate Open Forum di @america, Jakarta Selatan pada 7 Juni 2024. (Muhammad Salachudin/IOJI)

JAKARTA, 7 JUNI 2024 – Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI), berkolaborasi dengan Kumparan dan pusat kegiatan budaya Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta, @america, menggelar diskusi membahas upaya melindungi sumber daya kelautan dan mewujudkan keadilan bagi komunitas yang menggantungkan hidupnya pada laut.

Diskusi berlangsung di @america pada 7 Juni guna memperingati Hari Laut Sedunia (World Oceans Day), Hari Lingkungan Sedunia (World Environment Day) dan Hari Anti Penangkapan Ikan Ilegal, Tidak Dilaporkan, dan Tidak Diatur Sedunia (International Day for the Fight of Illegal, Unreported, and Unregulated Fishing) 2024.

Membuka diskusi bertajuk “Ocean-Climate Open Forum”, Prof. Emil Salim–pemikir, pemerhati lingkungan, dan ekonom yang pernah menjabat beberapa posisi menteri–mengingatkan Indonesia, sebagai negara kepulauan, agar arah pembangunannya perlu menempatkan fungsi ekosistem sebagai pertimbangan utama.

Indonesia kaya akan keberagaman aspek sosial, termasuk adat istiadat. Oleh karenanya, pemahaman akan laut dan segala yang bersangkutan dengan peri kehidupan terkait ekosistemnya, termasuk manusia, harus disertai pendekatan sosial yang berbeda antarwilayah.

“Kita tak bisa menyamaratakan pembangunan berwawasan lingkungan di wilayah timur dan barat Indonesia,” kata mantan menteri berusia 94 tahun itu.

Alih-alih mengawetkan pembangunan yang kurang memberikan manfaat nyata bagi warga, “lebih baik pemerintah berfokus pada pengembangan kualitas sumber daya manusia yang tanggap terhadap dinamika iklim.”Cara itu, kata Prof. Emil, dapat memperkuat resiliensi masyarakat pesisir, khususnya, guna menghadapi dampak negatif perubahan iklim. “Perkuat cabang ilmu pengetahuan terkait dampak perubahan iklim dan kembangkan sumber daya manusia secara komprehensif, khususnya di bagian timur Indonesia,” katanya.

Keluhan Masyarakat Pesisir

Beberapa perwakilan masyarakat pesisir hadir berbagi pengalaman dan perspektif terkait perubahan iklim. Di hadapan peserta diskusi dari pelbagai elemen–peneliti, lembaga advokasi, mahasiswa dan pemerintah–nelayan kecil perempuan, awak kapal perikanan migran dan aktivis lingkungan bercerita tentang dampak langsung ancaman perubahan iklim terhadap komunitas mereka.

Yudi Amsoni, nelayan sekaligus pejuang ekosistem mangrove asal Belitung Timur mengungkapkan “kerusakan akibat praktik pertambangan ilegal semakin masif dan terstruktur” di kawasan mangrove yang, baginya “sama saja merusak kehidupan mendiang ayah dan ibu saya.” “Saya ‘lahir’ dari hutan mangrove,” katanya.

“kerusakan akibat praktik pertambangan ilegal semakin masif dan terstruktur”

Sejak berusia tiga tahun, Yudi kerap diajak kedua orang tuanya ke kawasan mangrove di Kecamatan Manggar, Belitung Timur. Di sana mereka mencari ikan, kepiting dan udang. Ia sempat membagikan video yang memperlihatkan kerusakan hutan lindung mangrove di Manggar. Tampak sejumlah alat pertambangan tengah beroperasi di kawasan tersebut. “Masyarakat jadi korban dan hutan [mangrove] jadi hancur,” paparnya sembari menarasikan video.

Berangkat dari Pulau Pari yang tercakup dalam kawasan Kepulauan Seribu, Asmania berkisah soal sampah yang terbawa angin dari Jakarta menuju tempat tinggalnya. “Sampah di mana-mana. Kami tidak bisa melaut. Tolonglah warga Jakarta, jangan buang sampah ke laut,” kata Aas, sapaannya. Aas tumbuh dalam keluarga nelayan. Suaminya juga seorang nelayan. Selagi suaminya melaut, “kami, nelayan perempuan, mencari kerang dan kepiting. Kini jumlahnya terus berkurang.”

Pada saat yang sama, nelayan perempuan juga “belum memperoleh identitas sesuai mata pencaharian kami,” kata Aas melanjutkan, “kami terus saja dianggap hanya sebagai ibu rumah tangga.” Pulau Pari awalnya seluas 43 hektare, yang kini tinggal 41 hektare. Aas menyebutkan pengurangan luas itu turut dipicu emisi industri. Perwakilan warga Pulau Pari, termasuk Aas, telah melayangkan gugatan ke pengadilan di Swiss. Mereka menggugat perusahaan semen Holcim supaya bertanggung jawab atas emisi yang berdampak terhadap krisis iklim di wilayah pesisir.

Perubahan iklim pada akhirnya mendorong Muhamad Kafandi beralih dari nelayan penangkap ikan lokal menjadi awak kapal perikanan migran. Perubahan iklim, kata lelaki asal Pemalang, Jawa Tengah itu, “memicu cuaca ekstrem dan memperparah kemiskinan komunitas pesisir.”

“(perubahan iklim) memicu cuaca ekstrem dan memperparah kemiskinan komunitas pesisir.”

Cuaca ekstrem membuat nelayan tak lagi bisa memetakan waktu yang tepat untuk melaut. Sedangkan kemiskinan memicu peralihan mata pencaharian “yang justru mendorong praktik perdagangan orang.” Perdagangan orang, kata Kafandi, “banyak menimpa awak kapal perikanan migran,” termasuk dirinya. Sementara itu Hendri, Ketua Aliansi Nelayan Natuna mengeluhkan kuota tangkap ikan bagi nelayan kecil yang terus dibatasi turut menurunkan pendapatan mereka.

Pada saat yang sama, “nelayan industri skala besar terus mengeruk keuntungan,” kondisi yang baginya tidak adil.

“nelayan industri skala besar terus mengeruk keuntungan,” kondisi yang baginya tidak adil.

Berkelanjutan, Berwawasan Lingkungan dan Berkeadilan

Merespons kisah dan keluhan perwakilan masyarakat pesisir, Direktur Program IOJI, Stephanie Juwana menyatakan “laut dan perubahan iklim memiliki hubungan yang kuat,” merujuk pada United Nations Framework Convention on Climate Change 1992. Negara, kata Stephanie, “memiliki kewajiban untuk memitigasi dan mengatasi dampak perubahan iklim melalui aksi-aksi kelautan.” Namun, pada kenyataannya, “banyak kebijakan yang tak berpihak pada keberlanjutan ekosistem kelautan.” Bila negara ingin berorientasi memitigasi perubahan iklim serta mengembangkan ekonomi biru, “fokusnya jangan hanya memperkuat aspek-aspek ekonomi, melainkan juga pelestarian ekosistem laut.”

Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Susan Herawati Romica menyoroti “dampak perubahan iklim yang tak terlepas dari man-made features.” Susan menjelaskan man-made features sebagai kontribusi manusia dalam pembangunan ekstraktif yang merusak lingkungan–dalam konteks ini, ekosistem laut.

“Pertanyaannya sekarang, apakah pemerintah mau dengar?,”

Susan mencontohkan man-made features yang digadang-gadang dapat menahan laju kenaikan permukaan air, tetapi sebetulnya belum teruji secara ilmiah. Misalnya dinding penahan ombak. Pada saat bersamaan, izin pertambangan dan pariwisata terus saja diloloskan. Dampak perubahan iklim, katanya, “tak bisa dijawab dengan solusi palsu.” Sementara itu nelayan kecil di pelbagai wilayah Indonesia masih kerap mengeluhkan kesejahteraan yang tak belum juga mereka peroleh. “Pertanyaannya sekarang, apakah pemerintah mau dengar?,” kata Susan separuh bertanya.

Sementara perwakilan Serikat Buruh Migran Indonesia, Bobi Anwar Ma’arif mengungkapkan korelasi antara kerusakan lingkungan laut dengan pelanggaran terhadap hak-hak awak kapal perikanan migran. Awak kapal perikanan migran “kerap diperintah nakhoda untuk menangkap ikan dan mamalia laut yang dilindungi hukum internasional.”

Mereka mau tak mau menuruti kapten. Apalagi mereka kerap diiming-imingi akan mendapat bonus ketika, misalnya, menangkap hiu dan memisahkan siripnya untuk kemudian dijual. Yang terjadi kemudian, “awak kapal perikanan migran tak pernah menerima yang dijanjikan nakhoda selagi mereka terus diperbudak.”

Manajer Program IOJI, Gridanya Mega Laidha merespons ketiga penanggap, katanya “rasa ketidakadilan membuat masyarakat lebih rentan secara ekonomi, dieksploitasi dan dipecah belah.” Hidup di negara maritim, “nelayan kecil dan pejuang lingkungan justru dikriminalisasi dan terusir dari daerah sendiri. Negara harus hadir untuk melindungi sekaligus menyejahterakan mereka.”

“nelayan kecil dan pejuang lingkungan justru dikriminalisasi dan terusir dari daerah sendiri. Negara harus hadir untuk melindungi sekaligus menyejahterakan mereka.”

Ocean-Climate Open Forum ditutup Chief Executive Officer IOJI, Mas Achmad Santosa. Ia mengingatkan tiga pasal Undang-Undang Dasar 1945 yang dapat mengubah arah kebijakan pembangunan kelautan berkelanjutan. Masing-masing adalah Pasal 28(h), Pasal 33 ayat (3) dan pasal 33 ayat (4) yang, menurut Mas Achmad “jarang dibahas politisi dan akademisi.” Pasal 33 ayat (4) yang merupakan pasal amandemen tersebut mengatur “pembangunan ekonomi harus berdasarkan prinsip berkelanjutan, berwawasan lingkungan dan berkeadilan.”