JAKARTA – Industri perikanan tangkap Taiwan bergantung pada awak kapal perikanan (AKP) migran asal Indonesia. Pada 2022, lembaga perikanan Taiwan atau Taiwan Fisheries Agency mencatat sebanyak 14.308 AKP migran bekerja di kapal ikan Taiwan yang beroperasi di luar wilayah teritorial (overseas) Taiwan.
Dalam laporan yang sama, tercatat sebanyak 8.529 AKP migran Indonesia bekerja di wilayah teritorial Taiwan. Besarnya jumlah AKP migran asal Indonesia perlu diiringi dengan upaya untuk memberikan pelindungan dan pemenuhan hak-hak perburuhan dan HAM mereka di kapal ikan Taiwan.
Pemerintah Indonesia dan Taiwan menunjukkan berbagai komitmen untuk melindungi AKP migran. Pada tingkat nasional, Pemerintah Indonesia mengesahkan Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2022 tentang Penempatan dan Pelindungan Awak Kapal Niaga Migran dan Awak Kapal Perikanan Migran sebagai turunan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia.
Sebagai bagian dari kelompok advokasi pelindungan AKP migran, Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) menggelar lokakarya bertajuk “Inisiatif Bersama Masyarakat Sipil dan Serikat untuk Penguatan Pelindungan Awak Kapal Perikanan Migran Indonesia di Kapal Ikan Taiwan.”
Lokakarya yang terselenggara di Jakarta pada 29-30 November 2023 tersebut mempertemukan pelbagai elemen pemerintah, masyarakat sipil dan serikat pekerja yang terhubung dengan masalah pelindungan AKP migran. “Perspektif AKP migran, serikat pekerja dan kelompok masyarakat sipil di Indonesia akan dikembangkan menjadi kertas posisi yang diinisiasi bersama, yang memuat rekomendasi kebijakan berbasis bukti tentang penempatan dan pelindungan AKP migran di kapal ikan Taiwan,” kata Chief Executive Officer IOJI, Mas Achmad Santosa.
Direktur Bina Pelindungan dan Penempatan Pekerja Migran Indonesia Kementerian Ketenagakerjaan, Rhendra Setiawan menjabarkan berbagai inisiatif institusinya dalam pelindungan AKP migran. “Langkah kami termasuk menggelar kegiatan serap aspirasi bersama serta berkolaborasi dengan sejumlah lembaga swadaya masyarakat dan serikat pekerja,” kata Rhendra.
Sementara itu, Direktur Pelindungan Warga Negara Indonesia, Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) Judha Nugraha menyatakan “kami mendorong MoU ini segera bergulir prosesnya.” Ia menambahkan, Kemenlu sudah melakukan beberapa konsultasi dan pertemuan dengan Taiwan.” Dari pertemuan tersebut, “Kemenlu menilai Taiwan memiliki respons yang positif.”
Sementara itu, berbagai hasil penelitian menemukan rentannya AKP migran Indonesia terhadap eksploitasi bahkan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) di kapal ikan Taiwan yang beroperasi di ZEE dan laut bebas. “IOJI mempelajari permasalahan perlindungan AKP migran bersifat sistemik yang berakar dari tata kelola pelindungan yang lemah di tingkat internasional dan nasional. Dualisme perizinan penempatan tidak hanya terjadi di Indonesia, melainkan juga Taiwan,” kata peneliti IOJI, Jeremia Humolong Prasetya.
Ketua Umum SBMI, Hariyanto Suwarno mengatakan “seringkali kita berbicara soal hak asasi manusia (HAM) di dalam negeri. Namun, soal HAM tak melekat pada AKP migran ketika mereka berangkat ke luar negeri.” Menurut Hariyanto, “kita harus membangun perspektif bahwa HAM itu universal dan melekat di manapun, termasuk nanti ketika sudah ada MoU [tentang pelindungan AKP migran].”
Memungkasi pengantar lokakarya, Dosen Program Studi Hubungan Internasional Universitas Mataram, Nusa Tenggara Barat, Pamungkas Ayudaning Dewanto mengatakan “pemerintah Indonesia dapat mengeksplorasi upaya penguatan kerja sama dengan Taiwan.” Upaya penguatan tersebut mencakup (1) pengawasan Collective Bargaining Agreement (CBA), (2) menciptakan ruang ruang kerja sama untuk menentukan hal-hal yang sifatnya normatif seperti penanganan kasus terkait gaji dan (3) menerapkan mekanisme sanksi bagi mereka yang tidak menghormati hak asasi AKP migran.
Kolaborasi dalam Advokasi Pelindungan AKP Migran Indonesia di Taiwan
Lokakarya selama dua hari tersebut mempertemukan sejumlah organisasi advokasi dan serikat pekerja untuk memperkuat pelindungan bagi AKP migran. Selain IOJI sebagai penyelenggara, hadir pula 10 organisasi lain. Masing-masing adalah Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), Serikat Pekerja Perikanan Indonesia (SPPI), Destructive Fishing Watch (DFW), Persatuan Solidaritas Pelaut (PSP), Serikat Awak Kapal Perikanan Sulawesi Utara (SAKTI Sulut), Serikat Awak Kapal Transportasi Indonesia (SAKTI).
Hadir pula perwakilan dari Serikat Buruh Perikanan Indonesia (SBPI), Greenpeace Indonesia, Human Rights Working Group (HRWG), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), dan Global Labour Justice – International Labor Rights Forum (GLJ-ILRF). Merespons pentingnya pelindungan bagi AKP migran, Ketua SBPI, Rahmatulloh berharap “pemerintah lebih responsif mengurus rekan-rekan kami dari Indonesia yang bekerja di laut dan
menindak pelaku TPPO.”