Jakarta, 5 Desember 2025 – Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) harus segera melanjutkan proses revisi Undang-Undang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (UU PPMI) dan melibatkan masyarakat secara bermakna dalam keseluruhan proses ini, demikian desakan Jaringan Kawal Revisi UU PMI[1] dalam konferensi pers yang berlangsung hari ini (5/12) di Kantor Aliansi Jurnalis Independen (AJI).
Konferensi pers ini diselenggarakan bertepatan dengan Sidang Komite Pekerja Migran (Convention of Migrant Workers) PBB ke-41, pada tanggal 2–3 Desember, 2025, yang salah satu agendanya adalah peninjauan Second Periodic Report Indonesia atas Konvensi Internasional Perlindungan Hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya. Konferensi pers ini dihadiri oleh perwakilan dari Jaringan secara daring dan luring, dari perwakilan Indonesia dan juga perwakilan PMI di luar negeri.
Proses pembentukan Revisi UU PMI sudah berjalan lebih dari 12 bulan, namun sampai hari ini proses legislasi masih stagnan tanpa alasan yang jelas, dan berlangsung di tengah lonjakan kasus-kasus serius. Selain itu, proses revisi ini sangat minim transparansi dan keterlibatan publik. Dalam prosesnya, terjadi tumpang tindih kewenangan yang menimbulkan kebuntuan layanan dan penegakan hak.
“Keterlambatan revisi UU PPMI di tengah meningkatnya berbagai bentuk kerentanan dan pelanggaran yang dialami pekerja migran menunjukkan bahwa proses ini tidak dapat ditunda. Minimnya transparansi dan terbatasnya ruang partisipasi publik turut memperbesar risiko bahwa revisi tidak akan menjawab kebutuhan pelindungan PMI,” ungkap Program Officer IOJI, Anissa Yusha Amalia, mewakili Jaringan Advokasi Kawal RUU PPMI. Karena itu, pembahasan revisi perlu dilakukan secara terbuka dan inklusif, dengan memastikan keterlibatan PMI, masyarakat sipil, dan pemangku kepentingan agar revisi ini benar-benar relevan dengan tantangan pelindungan PMI, lanjutnya.
Menurut Researcher dan Program Officer IOJI, Tasya Ramadhani, mewakili Jaringan, terdapat delapan hal substantif yang menjadi urgensi revisi UU PMI: 1) penguatan dasar hukum dan kesesuaian dengan standar HAM internasional; 2) peran negara sebagai aktor utama pelindungan; 3) kepastian dokumen, biaya, dan standar penempatan yang tidak membebani PMI; 4) pelindungan PMI dengan status perseorangan dan situasi tidak reguler; 5) penguatan pelindungan pekerja migran perempuan, keluarga, dan anak PMI; 6) pelindungan pembela HAM, melalui penambahan pasal khusus terkait pelindungan pembela HAM PMI; 7) penguatan mekanisme akses keadilan; 8) penambahan Pasal 89B yang mewajibkan monitoring dan evaluasi Pemerintah dan DPR secara transparan setidaknya satu kali per tahun;
“Kami menuntut komitmen Pemerintah untuk memastikan pelindungan pekerja migran Indonesia sampai ke luar negeri melalui penguatan perjanjian bilateral dengan negara penempatan serta pelayanan kantor perwakilan dan kekonsuleran, akses terhadap keadilan yang memberikan pemulihan hak PMI, serta penguatan pelibatan masyarakat sipil dalam perumusan kebijakan dan monitoring implementasi kebijakan,” ungkap Tasya Ramadhani.
Pernyataan Jaringan Kawal Revisi UU PPMI:
- DPR dan Pemerintah harus segera melanjutkan pembahasan Revisi UU PPMI pada tingkat pertama. Proses legislasi yang stagnan dan keterlambatan proses revisi menyebabkan ketidakpastian hukum melemahkan tata kelola pelindungan PMI.
- Muatan revisi UU PPMI harus berorientasi pada pelindungan PMI dan keluarganya, serta disusun sesuai standar HAM internasional, terutama Konvensi Internasional mengenai pelindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya, di mana Indonesia menjadi negara anggota.
- Pembahasan RUU wajib dilakukan secara terbuka dan partisipatif dengan melibatkan pemerintah, DPR, lembaga HAM negara, serikat buruh migran, masyarakat sipil, serta PMI dan keluarganya—bukan sekadar formalitas—agar substansi RUU mencerminkan kebutuhan nyata mereka.
- Revisi harus memperkuat mandat negara, bukan memperluas ruang komersialisasi penempatan melalui P3MI atau membuka pasal yang berpotensi menyalahkan PMI.
- Revisi UU PPMI harus memuat pelindungan terhadap pembela HAM PMI (Anti-SLAPP) mencakup ancaman fisik, digital, seksual, hukum, maupun ekonomi—sebab mereka berperan penting dalam memastikan akses keadilan bagi PMI dan keluarganya.
- UU hasil revisi harus mempertegas pertanggungjawaban negara, mekanisme akuntabilitas, dan sanksi yang dapat diterapkan, mengingat UU 18/2017 belum memberikan kejelasan mengenai penegakan hukum dan eksekusi putusan terhadap kasus-kasus pelanggaran yang dialami oleh PMI.
Dalam Sidang Komite Pekerja Migran PBB ke-41, Komite Convention on Migrant Workers meminta penjelasan Pemerintah Indonesia mengenai bagaimana memastikan norma-norma perubahan ketiga UU PPMI sejalan dengan Konvensi, termasuk harmonisasi implementasinya dan koordinasi lintas level pemerintahan. Komite juga menekankan pentingnya pelibatan masyarakat sipil secara bermakna sebagai mitra setara dalam proses pengambilan, implementasi, dan evaluasi kebijakan, bukan sekadar pelengkap.
Jaringan memandang bahwa pertanyaan dan perhatian Komite hanya dapat dijawab secara serius apabila Pemerintah mempertimbangkan masukan dan rekomendasi masyarakat sipil, terutama terkait revisi UU PPMI dan pelaksanaannya.
– Selesai –
Narahubung:
Tasya Ramadhani, Indonesia Ocean Justice Initiative: tasyanr@oceanjusticeinitiative.org
I. LAMPIRAN I: Hal-hal Substantif dan Mendasar Terkait Urgensi Revisi UU PPMI
- Penguatan dasar hukum dan kesesuaian dengan standar HAM internasional
- Penguatan dasar hukum dalam revisi UU PPMI perlu dilakukan melalui harmonisasi dengan standar HAM internasional, termasuk penyebutan eksplisit instrumen yang telah diratifikasi Indonesia—CEDAW/UU No. 7/1984 untuk pelindungan perempuan buruh migran; ILO 105/UU No. 19/1999 untuk penghapusan kerja paksa; serta memasukkan rujukan regulasi nasional yang belum tercermin dalam DIM, khususnya UU TPPO No. 21/2007, UU HAM No. 39/1999, dan undang-undang lain yang berkaitan dengan pencegahan eksploitasi, pelindungan korban, dan pemulihan hak PMI.
- Penghapusan penjelasan Pasal 4(1) huruf e yang memasukkan “pemagangan” sebagai pekerjaan tertentu untuk penempatan luar negeri karena bertentangan dengan definisi ICMW dan membuka ruang eksploitasi.
- Mengembalikan peran negara sebagai aktor utama pelindungan
- Dalam beberapa pasal draf RUU Pemerintah, terdapat perluasan mandat bagi perusahaan penempatan (P3MI). Jaringan menolak berbagai perluasan tersebut.
- Jaringan secara tegas menolak:
- Pasal 11A(1) yang menyerahkan penyebaran informasi peluang kerja kepada P3MI.
- Pasal 21(1a) yang memberi mandat P3MI untuk pendampingan hukum, mediasi, dan advokasi.
- Perubahan Pasal 52(1) yang memberikan wewenang P3MI untuk perekrutan dan penyelesaian permasalahan PMI
- Pemberian mandat ini bertentangan dengan UU 18/2017 yang menempatkan negara sebagai penanggung jawab utama. Perluasan mandat P3MI berisiko mengembalikan paradigma lama (UU 39/2004), yaitu menjadikan PMI sebagai komoditas, bukan subjek yang dilindungi.
- Kepastian dokumen, biaya, dan standar penempatan yang tidak membebani PMI
- Jaringan mengusulkan penghapusan Pasal 13 ayat (3) yang membolehkan dokumen pengganti sertifikat kompetensi karena berpotensi menimbulkan biaya tambahan bagi PMI tanpa manfaat nyata bagi posisi tawar mereka di negara tujuan.
- Jaringan juga menolak perubahan Pasal 30 mengenai struktur pembiayaan di dalam RUU Pemerintah. Struktur biaya seharusnya ditentukan melalui Permen agar fleksibel dan sesuai konteks negara tujuan, bukan dimasukkan dalam UU.
- Untuk mencegah alih beban biaya kepada PMI, Jaringan mengusulkan penegasan dengan menambahkan Pasal 72 huruf a, dan Pasal 86 huruf a, yang secara tegas melarang pengalihan biaya yang seharusnya ditanggung pemberi kerja kepada calon PMI.
- Pelindungan PMI dengan status perseorangan dan situasi tidak regular
- Penguatan bagi PMI Perseorangan: Jaringan mengusulkan revisi Pasal 63, memastikan bahwa,
- PMI perseorangan dapat bekerja kepada pemberi kerja berbadan hukum maupun perseorangan;
- PMI perseorangan tetap berhak atas pelindungan penuh negara.
- Penguatan bagi PMI Perseorangan: Jaringan mengusulkan revisi Pasal 63, memastikan bahwa,
- Regularisasi bagi PMI Non-Prosedural: Jaringan menolak istilah “pengampunan” pada Pasal 88A karena berkonotasi pidana dan menstigma korban. Jaringan mengusulkan diganti dengan konsep regularisasi berbasis HAM, yang menekankan pendataan, kerja sama bilateral, pelayanan berbasis hak, dan pengakuan terhadap kondisi PMI irreguler sebagai situasi kerentanan, bukan kesalahan.
- Penguatan pelindungan pekerja migran perempuan, keluarga, dan anak PMI
- Jaringan mengusulkan penambahan Pasal 6 ayat (3a) untuk secara eksplisit mengatur hak-hak anak PMI, meliputi hak atas kewarganegaraan, pengasuhan yang layak, serta pendidikan dan pengembangan diri. Meskipun UU 18/2017 menyebut pelindungan bagi “PMI dan keluarganya”, ketentuan tersebut belum merinci hak spesifik anak PMI maupun tata tanggung jawab jika hak tersebut dilanggar. Tidak terdapat mekanisme yang jelas mengenai lembaga yang berwenang memastikan pemenuhan hak anak, prosedur pelindungan ketika terjadi pelanggaran, maupun mekanisme penyelesaian lintas negara. Dengan demikian, terdapat kekosongan norma yang membuat pelindungan anak PMI belum memiliki kepastian hukum. Penambahan ayat ini selaras dengan rekomendasi CMW dan CEDAW terkait kewajiban negara untuk memastikan pelindungan lintas generasi bagi keluarga PMI, sekaligus menutup gap pelindungan yang saat ini belum dijamin secara tegas dalam UU 18/2017.
- Pelindungan pembela HAM, melalui penambahan pasal khusus terkait pelindungan pembela HAM PMI, mencakup:
- Definisi pembela HAM,
- Daftar ancaman yang diakui (fisik, psikis, digital, ekonomi, seksual, hukum/SLAPP),
- Pelindungan terhadap keluarga pembela HAM,
- Bentuk partisipasi publik yang dilindungi,
- Kewenangan Komnas HAM melakukan penyelidikan,
- Mandat Menteri untuk menyusun norma dan standar pelindungan.
- Penguatan mekanisme akses keadilan. Jaringan mengajukan pasal baru tentang restitusi, merujuk pada UU 31/2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, dan Perma 1/2022 tentang restitusi dan kompensasi. Restitusi harus dapat diberikan sejak putusan tingkat pertama dan wajib dicantumkan dalam amar putusan perkara terkait PMI.
- Penambahan Pasal 89B, yang mewajibkan Pemerintah dan DPR melakukan monitoring dan peninjauan setidaknya satu kali per tahun, proses evaluasi harus melibatkan masyarakat sipil secara bermakna, dan hasil evaluasi harus dipublikasikan secara terbuka.
II. LAMPIRAN II: Rekap Sidang CMW PBB (HRWG)
- Pada tanggal 2–3 Desember 2025, berlangsung dialog konstruktif Komite Pekerja Migran PBB atau UN Committee on Migrant Workers (CMW) di Jenewa, Swiss, di mana masyarakat sipil turut berpartisipasi dalam pengiriman dua laporan bayangan/laporan alternatif terhadap laporan pemerintah dalam merespon List of Issue dari Komite dalam implementasi dari Konvensi Internasional Perlindungan Hak-hak Pekerja Migran dan Keluarganya atau International Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and Members of Their Families (ICMW). Representasi Indonesia melalui HRWG melakukan pemantauan langsung jalannya dialog konstruktif. Dalam forum tersebut, Indonesia menegaskan beberapa komitmen untuk:
- Memperkuat kerangka hukum dan kelembagaan pelindungan PMI,
- Memastikan pemenuhan hak-hak PMI dan keluarganya tanpa diskriminasi
- Meningkatkan kolaborasi regional dan internasional bagi pelindungan PMI, termasuk pekerja migran laut dan pekerja migran yang terjerat sindikat perdagangan orang melalui skema online scamming yang beresiko terjadinya forced criminality.
- Rekomendasi Komite CMW mempertegas bahwa harmonisasi dalam implementasi UU PPMI tidak bisa ditunda, dan harus selaras dengan standar HAM internasional, termasuk Kesepakatan Internasional Untuk Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan atau The Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW), ILO 105, Konvensi Ketenagakerjaan Maritim atau Maritime Labour Convention (MLC) 2006, dan ICMW.
- Salah satu anggota Komite CMW, H.E. Prasad Kariyawasam. meminta klarifikasi mengenai sejauh mana UU No. 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia telah memenuhi standar pelindungan sebagaimana diatur dalam instrumen HAM internasional. Namun, hingga sesi berlangsung, respons pemerintah terkait kecukupan ketentuan dalam UU tersebut belum disampaikan secara komprehensif.
- Selama sesi dialog, Komite mengangkat sejumlah isu implementasi, termasuk efektivitas koordinasi antar lembaga, mekanisme akuntabilitas, serta kejelasan periode transisi regulasi. Komite juga mencatat adanya pertanyaan mengenai efektivitas pengaturan terkait sanksi dan deposito bagi pekerja migran. Sementara KP2MI melaporkan bahwa pengawasan telah dilakukan, Komite menyampaikan bahwa bukti capaian dan konsistensi penerapan masih perlu dikuatkan untuk memenuhi standar pelindungan internasional.
- Komite menekankan pentingnya keterlibatan publik dan masyarakat sipil secara bermakna dalam penyusunan dan revisi regulasi terkait PMI, sesuai prinsip tripartit dan standar HAM internasional. Komite meminta mekanisme konsultasi yang lebih tersusun, transparan, serta memiliki jalur masukan dan umpan balik yang dapat ditelusuri. Peringatan pernah diberikan sebelumnya, termasuk saat pembahasan Omnibus Law, sehingga konsistensi dalam pelibatan pemangku kepentingan dianggap masih perlu diperkuat untuk memastikan efektivitas pelindungan, dan harmonisasi kebijakan migrasi ke depan.
[1] Jaringan Kawal Revisi UU PPMI terdiri dari 39 organisasi masyarakat sipil yang dibentuk pada bulan Februari 2025 untuk melakukan advokasi dan pengawalan proses penyusunan RUU PPMI. Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) turut terlibat dalam Jaringan ini.
