Jakarta, 5 Desember, 2025 – Bencana-bencana lingkungan di Indonesia mengungkap kegagalan paradigma mendasar dalam hukum dan kebijakan lingkungan, yang diperburuk oleh persoalan tata kelola, rendahnya kualitas pelayanan publik, dan tingginya tingkat korupsi. Oleh karena itu, hukum lingkungan harus bergeser dari paradigma eksploitatif yang terpusat pada kepentingan manusia (human-centered) dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi (heavy economic growth), menuju kerangka hukum yang inklusif dan ekologis, demikian pokok pikiran utama buku Paradigma Hukum Baru Atasi Krisis Bumi, oleh Dr. Mas Achmad Santosa, S.H., LL.M., Chief Executive Officer Indonesia Ocean Justice Institute (IOJI), dan tim penulis yang terdiri dari sejumlah ahli hukum dari IOJI dan Indonesia Center for Environmental Law (ICEL).
Buku Paradigma Hukum Baru Atasi Krisis Bumi diluncurkan dalam acara diskusi publik di Hotel Borobudur Jakarta pada tanggal 4 Desember 2025, yang turut dihadiri oleh Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, Prof. Dr. H. Sunarto, S.H., M.H., dan Sekretaris Utama Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia, Rosa Vivien Ratnawati, S.H., MSD..
“Kami ingin menyampaikan duka cita mendalam atas bencana yang melanda Aceh, Sumatra Utara dan Sumatra Barat. Tragedi ini perlu dijadikan bahan refleksi mengenai dampak kebijakan ekstraktif terhadap ketahanan ekosistem dan keberlangsungan hidup masyarakat, terutama yang termarjinalkan,” ungkap Dr. Mas Achmad Santosa, S.H., LL.M., dalam sambutannya.
Menurutnya, “Melalui buku Paradigma Hukum Baru Atasi Krisis Bumi, kami ingin mengedepankan prinsip-prinsip kerangka hukum ekologis yang harus menjadi pedoman seluruh cabang kekuasaan di Indonesia, mulai dari legislatif, eksekutif, sampai ke yudikatif. Kami berharap, prinsip-prinsip ini dapat dipraktikkan melalui program nyata di tingkat nasional, provinsi, hingga tapak.”
Menyambut peluncuran buku ini, Prof. Dr. H. Sunarto, S.H., M.H., menyatakan, “Peradilan harus terus membuka diri terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan kebutuhan pembaruan hukum agar mampu menghadapi dinamika krisis Bumi saat ini. Peradilan juga perlu menyediakan perlindungan hukum bagi setiap warga negara Indonesia yang memperjuangkan lingkungan hidup, serta menghormati praktik hukum adat yang mengedepankan keharmonisan antara manusia dan alam.”
Dalam pidato pembuka diskusi, Dr. Hanif Faisol Nurofiq, S. Hut., M.P, yang diwakili oleh Sekretaris Utama Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia, Rosa Vivien Ratnawati, S.H., MSD., menyatakan bahwa hukum harus berperan untuk memastikan bahwa pertumbuhan ekonomi berjalan dalam kapasitas ekologis yang dapat dipertanggungjawabkan. Menurutnya, “Pemerintah Indonesia terus mendorong penguatan kerangka hukum dan kebijakan lingkungan, termasuk melalui peningkatan regulasi, penegakan hukum yang lebih efektif, serta penguatan kolaborasi lintas sektor.”
Selain Dr. Mas Achmad Santosa, S.H., LL.M., ahli-ahli hukum yang terlibat sebagai anggota tim penulis adalah, Stephanie Juwana, S.H., LL.M., Raynaldo Sembiring, S.H., M.Fil., Gridanya Mega Laidha, S.H., LL.M., dan Harish Makarim, S.H., LL.M.
Kegagalan Paradigma Hukum yang Terpusat Pada Kepentingan Manusia dan Pertumbuhan Ekonomi
Hukum lingkungan di Indonesia selama ini masih terfragmentasi, reduksionis, dan terlalu berorientasi pada pertumbuhan ekonomi. Bahkan sejak tahun 1980-an, istilah sustainable development berubah menjadi sustainable economic development, yang menggeser makna ekologisnya menjadi agenda yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, perlu pergeseran paradigma yang mengintegrasikan kepentingan manusia dan ekologi dalam satu kerangka hukum yang berkeadilan.
Menurut Mas Achmad Santosa, “Kegagalan paradigma hukum dan kebijakan lingkungan di Indonesia berawal dari paradigma pembangunan yang antroposentris, yang terpusat kepada kepentingan manusia, dan growth-centric, yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi, sehingga menjadikan perlindungan lingkungan hidup sekadar formalitas administratif. Rule of law dan kualitas demokrasi yang rendah berakibat pada instrumen hukum yang tidak efektif ditegakkan di Indonesia.”
Perkembangan hukum lingkungan hidup di Indonesia saat ini dinegasikan oleh dua undang-undang, yaitu Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (UU Minerba), dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Undang-Undang Cipta Kerja.
“Walaupun UUD 1945, melalui Pasal 33 Ayat (3) hasil amandemen sudah mengatur safeguard dengan memasukkan kepedulian terhadap lingkungan, peraturan perundang-undangan lainnya masih memiliki kecenderungan kuat terhadap pertumbuhan ekonomi. Contohnya, UU Minerba yang mendorong maraknya eksploitasi sumber daya minerba tanpa memperhatikan kepentingan dan keluhan masyarakat lokal, dan Undang-Undang Cipta Kerja (2020) yang melemahkan beberapa instrumen perlindungan lingkungan,” ungkap Mas Achmad Santosa.
“Krisis ekologis yang kita hadapi hari ini bukan sekadar akibat bencana alam, melainkan cerminan kegagalan mendalam dari paradigma hukum yang menempatkan manusia sebagai pusat segalanya. Indonesia membutuhkan kerangka hukum yang tidak lagi sekadar mengatur, tetapi benar-benar menjaga integritas ekologis sebagai fondasi keberlanjutan. Prinsip-prinsip ekologis harus menjadi orientasi utama dalam setiap kebijakan, dari perencanaan hingga penegakan hukum. Jika hukum terus dibiarkan tunduk pada kepentingan ekonomi jangka pendek, maka kita akan kehilangan ruang hidup yang paling dasar bagi generasi kini dan mendatang.” ujar Raynaldo G. Sembiring, Direktur Eksekutif Indonesia Center for Environmental Law (ICEL).
Terdapat korelasi kuat antara skor Environmental Performance Index (EPI) suatu negara dengan paradigma pembangunan yang dianut serta kualitas demokrasi, tata kelola, dan penegakan hukumnya. Indonesia berada di peringkat 163 dari 180 negara dalam Environmental Performance Index 2024, diukur berdasarkan perubahan iklim, kesehatan lingkungan, dan vitalitas ekosistem. Berdasarkan Rule of Law Index 2024, Indonesia menempati posisi 69 dari 143 negara, menunjukkan tingginya tingkat korupsi dan rendahnya akses terhadap keadilan. Indonesia juga masih berada pada status demokrasi cacat (flawed democracy), berdasarkan Democracy Index 2024, yang mengindikasikan rendahnya budaya politik dan kebebasan sipil.
Rekonseptualisasi Hukum: Pergeseran Paradigma Antroposentris ke Ekologis
Krisis bumi yang berlangsung saat ini adalah konsekuensi terlampauinya planetary boundaries atau batas-batas planet (Rockström et al., 2009), yang menentukan Bumi sebagai ruang aman bagi umat manusia dan makhluk hidup lainnya. Pada tahun 2024, suhu mencapai 1,55° C di atas rata-rata pra-industri, dan mencatat rekor terpanas dalam 175 tahun terakhir (WMO, 2025). Di tahun yang sama, Indonesia mengalami 1.420 bencana banjir, 973 kebakaran hutan dan lahan, serta lebih dari 700 kejadian cuaca ekstrem. Tahun ini (2025), tujuh dari sembilan Planetary Boundaries telah terlampaui. Konsekuensinya adalah perubahan iklim, hilangnya keragaman hayati, disrupsi siklus nitrogen-fosfor, perubahan tata guna lahan, polusi kimia, perubahan air tawar, dan yang terbaru diumumkan pada 2025, pengasaman laut.
Untuk keluar dari krisis bumi, Indonesia membutuhkan rekonseptualisasi hukum secara mendasar, bergeser dari paradigma antroposentris menuju kerangka ekologis, yang mengedepankan prinsip-prinsip strong sustainability, ecological primacy, ecological integrity, ecological limits, ecological justice, dan ecological democracy, governance and rule of law.
- Strong sustainability, yaitu konsep pembangunan berkelanjutan yang lebih mementingkan modal alam, dengan mengakui fungsi-fungsi ekologis tertentu, yang dikenal sebagai ‘critical natural capital’, sebagai modal yang tidak tergantikan oleh modal buatan manusia.
- Ecological primacy, yaitu prinsip di mana perlindungan ekologis perlu memiliki keunggulan (primacy) terhadap kebijakan lainnya, seperti kebijakan ekonomi dan sosial.
- Ecological integrity, yaitu berlangsungnya secara terus-menerus fungsi yang sehat dari ekosistem untuk menyediakan sumber daya alam terbarukan dan jasa lingkungan.
- Ecological limits, yaitu batasan ekologis yang jelas agar aktivitas manusia dan pembangunan tidak melampaui daya dukung dan daya tampung ekosistem.
- Ecological justice, yaitu konsep keadilan yang memperluas gagasan keberlanjutan dengan memasukkan keadilan antar-spesies, serta mengakui hak-hak makhluk hidup lainnya selain manusia.
- Ecological democracy, governance, and rule of law, yang menegaskan bahwa penanganan krisis bumi sangat bergantung pada kondisi pemungkin (enabling conditions), yakni demokrasi yang sehat, governance yang baik, dan rule of law yang efektif.
Prinsip-prinsip ini harus diutamakan di seluruh cabang yudikatif, eksekutif, dan legislatif, sebagai bagian dari penerapan langkah-langkah perbaikan paradigmatik di sektor pembangunan ekonomi, serta pembangunan instrumen-instrumen yang dapat mengoperasionalisasikan paradigma tersebut, termasuk penyusunan program-program konkret di tingkat lokal, provinsi, dan nasional, yang mencakup integrasinya dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan. Sehingga, penyelamatan daya dukung ekosistem untuk generasi saat ini dan masa depan menjadi prioritas dalam agenda pembangunan ekonomi.
–selesai–
Narahubung: Communications Manager IOJI, Waraney Rawung, waraneyhr@oceanjusticeinitiative.org
