Diskusi Publik dan Media Briefing Nilai dan Praktik Masyarakat Hukum Adat dalam Penyelamatan Ekosistem Indonesia 

 JAKARTA – Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka telah menyelesaikan 100 hari pertama pemerintahan mereka dengan menempatkan ketahanan pangan dan energi sebagai salah satu prioritas utama Pemerintah. Kebijakan-kebijakan tersebut berpotensi menghadirkan berbagai persoalan terhadap keberlanjutan daya dukung ekosistem/ekologi dan hak-hak masyarakat adat. Sehubungan dengan hal tersebut, Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) bersama Yayasan KEHATI menyelenggarakan diskusi publik dan media briefing bertajuk “Nilai dan Praktik Masyarakat Hukum Adat dalam Penyelamatan Ekosistem Indonesia” pada Selasa, 18 Februari 2025 di Ocean Justice House. 

Diskusi ini mengangkat peran praktik-praktik perlindungan ekosistem yang dilakukan masyarakat adat untuk mempertahankan keberlanjutan sumber daya alam di era antroposen, serta mendorong penguatan kebijakan yang mendukung pengakuan hak masyarakat hukum adat di Indonesia. 

Era Antroposen, yang ditandai dengan meningkatnya disrupsi antropogenik dalam ekosistem telah menimbulkan tekanan yang besar terhadap lingkungan hidup. Manusia telah merusak sistem alam (natural system) dalam skala global yang mengancam ketahanan umat manusia, flora, fauna dan ekosistem secara keseluruhan. Bumi dihadapi oleh triple planetary crisis, yang terdiri dari krisis perubahan iklim, pencemaran, dan punahnya keanekaragaman hayati. Penelitian yang dilakukan oleh Johan Rockstorm (2009) dan Will Steffen (2016) turut menunjukkan bahwa enam dari sembilan batas planet telah terlampaui, diantaranya adalah (1) perubahan iklim, (2) hilangnya keanekaragaman hayati, (3) perubahan siklus nitrogen dan fosfor, (4) perubahan penggunaan lahan, (5) polusi kimia, dan (6) perubahan air tawar. Kondisi ini mengancam stabilitas ekosistem yang menjadi prasyarat bagi keberlangsungan hidup manusia dan makhluk hidup lainnya. 

CEO Indonesia Ocean Justice Initiative, Mas Achmad Santosa, menyoroti urgensi pengambilan langkah-langkah perbaikan agar hukum lingkungan lebih efektif mengatasi triple planetary crisis. Hukum lingkungan dianggap belum cukup untuk mengatasi krisis planet yang terjadi saat ini. Dibutuhkan sistem hukum yang menggunakan cara pandang tentang hubungan manusia dengan alam (human-nature relations) dan mampu mengubah pendekatan human-dominant menjadi more inclusive ecological one (Kotze, 2016). 

Santosa menyebutkan setidaknya terdapat lima prinsip yang perlu diintegrasikan ke dalam kerangka hukum yang ada, yakni ecological integrity, ecological primacy, ecological limits, ecological justice, dan strong sustainability

Melanjutkan penjelasan tersebut, Stephanie Juwana, Direktur IOJI, memaparkan bahwa lima prinsip yang dibutuhkan oleh hukum di era antroposen ini untuk mengatasi krisis planet tersebut ditemukan di praktik-praktik adat di Indonesia. 

Praktik adat juga memiliki peran penting untuk mendukung beberapa agenda strategis di Indonesia, termasuk yang tertuang pada Asta Cita dan Undang-Undang No. 59 Tahun 2024 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2025-2045, terutama yang berkaitan dengan perlindungan keanekaragaman hayati dan upaya mengatasi perubahan iklim. Berdasarkan beberapa studi, konservasi lingkungan lebih berhasil dan berkeadilan ketika dilakukan oleh komunitas adat dan komunitas lokal, dibandingkan ketika konservasi dilakukan oleh pihak eksternal (termasuk pemerintah). 

Kontribusi-kontribusi positif tersebut dihasilkan dari praktik adat yang telah diimplementasikan dan diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Perwakilan adat perempuan Tanah Toa, Ramlah, menjelaskan bagaimana “Kamase masea” atau nilai kesederhanaan menjadi Pasang ri Kajang atau pedoman hidup bagi masyarakat Kajang hingga saat ini. Nilai kesederhanaan juga diamalkan oleh masyarakat Kajang dalam pengelolaan hutan, dimana mereka mengambil sumber daya dari hutan secara secukupnya, sesuai yang dibutuhkan. “Karena kita menyadari bahwa segala sesuatu jika diambil secara berlebih suatu saat akan habis,” ucap Ramlah. 

Masyarakat adat Kajang berpegang pada nilai bahwa hutan adalah ‘selimut dunia’ yang harus dijaga. Mereka memahami bahwa hutan tidak hanya memiliki fungsi ekologis, tetapi juga menjadi sumber kehidupan bagi banyak makhluk, di mana terdapat banyak flora dan fauna di dalamnya yang perlu dilindungi. Masyarakat adat Kajang sangat memahami bahwa hutan memiliki peran sangat penting, seperti menjaga ketersediaan mata air. Oleh karena itu, ada beberapa aturan adat khusus terkait pemanfaatan sumber daya alam. “Di hutan, ada rotan yang sampai sebesar tiang. Tapi itu sama sekali tidak bisa diambil. Ada juga lebah, ikan, kepiting, kita tidak bisa ambil, kecuali pada saat upacara adat” . Jika melanggar Pasang ri Kajang, masyarakat Kajang akan dikenakan sanksi adat. 

Ramlah juga menekankan pentingnya peran seorang pemimpin dalam mengamalkan nilai kesederhanaan. Di tanah Toa, terdapat falsafah di pemerintahan masyarakat Adat Kajang untuk selalu mengutamakan kesejahteraan masyarakat. “Bagi Amatoa (tetua/pemimpin adat di Kajang), kalau ditakdirkan bahwa ada orang yang pertama kaya, yang pertama kaya itu masyarakat, masyarakat itu yang harus disejahterakan. Kalau ada yang pertama miskin, itu harus pemimpin adat yang miskin terlebih dahulu.” 

Praktik-praktik adat lainnya dalam menjaga ekosistem juga disampaikan oleh Eliza Kissya, Kewang (Kepala Pranata Hukum Adat) Haruku. Eliza, atau Opa Eli, menceritakan tentang praktik “Sasi”, khususnya Sasi Ikan Lompa yang dipraktikkan selama bertahun-tahun oleh masyarakat adat Haruku. Sasi memiliki arti larangan. Larangan untuk tidak mengambil sumber daya alam sebelum waktunya. Menurut Opa Eli, sasi yang dipraktikkan oleh masyarakat adat Haruku dilakukan untuk menjaga kelestarian sumber daya alam yang ada saat ini sehingga dapat dinikmati oleh generasi yang mendatang. “Kalau ini tidak dijaga dengan baik, suatu waktu nanti kita menjadi orang paling miskin di dunia. Karena kalau tidak dijaga, kita tidak akan bertahan.” Hingga hari ini, praktik Sasi Ikan Lompa di Haruku dapat menghasilkan 45 ton ikan lompa dalam satu kali panen. 

Namun, di tengah upaya pelestarian lingkungan yang dilakukan melalui praktik-praktik adat di Haruku, Opa Eli juga menceritakan bagaimana saat ini terdapat berbagai tantangan dari dalam, maupun dari luar. “Di sini sekarang ini orang cuma berpikir uang atau materi daripada menjaga alam. Padahal, kalau misalkan kita menjaga alam, kita bisa hidup.” Opa Eli bercerita bahwa pernah ada tambang emas yang berupaya masuk dan merusak alam Haruku, namun pada akhirnya tambang tersebut berhasil diusir dan keluar dari wilayah Haruku. 

Ronny Megawanto, Direktur Program Yayasan KEHATI menyampaikan bahwa praktik adat memiliki peran dalam menjaga ketahanan pangan. Berdasarkan penelitian di beberapa wilayah adat, permasalahan stunting tidak ditemukan, artinya kebutuhan nutrisi anak terpenuhi dengan baik. Model dari praktik baik masyarakat hukum adat dalam konteks pangan ini perlu menjadi inspirasi bagi kebijakan tingkat nasional. “Masyarakat hukum adat menunjukkan bahwa untuk memenuhi kebutuhan pangan, tidak perlu negara melakukan deforestasi atau pengalihfungsian hutan sekian banyak hektar untuk dijadikan lahan untuk produksi pangan”. 

Ronny juga mengatakan bahwa pengembangan pertanian harus memperhatikan dua aspek utama: budaya dan ekologi. Jika sistem pertanian selaras dengan budaya masyarakat, mereka akan lebih mudah menerimanya. Dari sisi ekologi, pertanian harus disesuaikan dengan kondisi alam agar 

berkelanjutan. Misalnya, padi cocok untuk tanah subur dengan air melimpah, sementara daerah kering atau gambut lebih sesuai untuk sagu. Keseimbangan antara budaya dan ekologi inilah yang membuat pertanian masyarakat adat tetap lestari hingga kini. 

Sebagai penutup, diskusi menekankan bahwa negara wajib meningkatkan perlindungan hak-hak masyarakat hukum adat, sejalan dengan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945. Untuk peningkatan perlindungan tersebut, negara perlu melakukan langkah-langkah afirmatif yang paling tidak meliputi pengundangan RUU Masyarakat Hukum Adat, harmonisasi peraturan perundang-undangan yang mengatur ketentuan mengenai pengakuan masyarakat hukum adat, membatalkan kebijakan dan merevisi peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan Pasal 33 (4) UUD 1945 dan dapat mengancam hak-hak masyarakat hukum adat, dan membangun jaringan masyarakat hukum adat yang kuat. 

Mengutip pesan Opa Eli pada sesi terakhir, “Hukum adat itu kalau kita lihat sangat luar biasa. Hukum adat tidak pernah menindas orang, kita selalu berusaha menyelamatkan orang.” 

Narahubung: 
Stephanie Juwana (Direktur Program) – stephaniej@oceanjusticeinitiative.org 

Download Dokumen