[Siaran Pers] Muda Bicara: Perjanjian Keanekaragaman Hayati di Luar Yurisdiksi Nasional (Biodiversity Beyond National Jurisdiction/BBNJ), Relevansi dan Urgensinya Untuk Masa Depan Kita

JAKARTA – 12 Desember 2024. Pada tanggal 20 September 2023, Indonesia menandatangani Perjanjian Konservasi Keanekaragaman Hayati di Luar Yurisdiksi Nasional, atau Perjanjian BBNJ. Sejak ditandatangani, Pemerintah RI telah melakukan berbagai langkah-langkah untuk meratifikasi perjanjian BBNJ tersebut, salah satunya adalah National Consultation Perjanjian BBNJ pada tanggal 21 Juni 2024. Saat ini proses ratifikasi perjanjian BBNJ hampir rampung, dengan satu hal yang masih dirundingkan oleh Pemerintah RI yaitu apakah perjanjian BBNJ akan diratifikasi melalui Undang-Undang atau Peraturan Presiden sebagaimana diatur oleh Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional dan Putusan MK Nomor 13/PUU-XVI/2018.

Topik BBNJ perlu untuk lebih dibumikan agar perhatian pemerintah dan publik meningkat, mengingat pentingnya isu yang diatur dalam perjanjian ini, utamanya bagi generasi muda di kemudian hari (jangka panjang). Berkenaan dengan hal tersebut, Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI), bersama dengan 30×30 Indonesia, EarthEcho International dan High Seas Alliance mengadakan hybrid seminar dengan topik “Muda Bicara: Perjanjian Keanekaragaman Hayati di Luar Yurisdiksi Nasional (Biodiversity Beyond National Jurisdiction/BBNJ), Relevansi dan Urgensinya Untuk Masa Depan Kita” pada tanggal 10 Desember 2024 dengan menghadirkan narasumber yang berkompetensi di bidang ini.

Dr. Ruliyana Susanti, salah satu anggota delegasi Indonesia untuk IGC (Intergovernmental Conference) BBNJ dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menjelaskan hal-hal apa saja yang diatur dalam perjanjian BBNJ, potensi pemanfaatan keanekaragaman hayati di luar wilayah yurisdiksi nasional dan tantangan yang dihadapi oleh Indonesia.

Perjanjian BBNJ, disampaikan oleh Dr. Ruli, “mengatur mengenai: (i) Marine Genetic Resources termasuk distribusi manfaat moneter dan nonmoneter dari pemanfaatannya; (ii) Area-based Management Tools; (iii) Environmental Impact Assessments; dan (iv) Capacity Building and Transfer of Marine Technology.” Sumber daya genetik penting untuk diatur karena pemanfaatannya dapat menghasilkan produk-produk yang sangat bermanfaat bagi manusia antara lain, “Chitosan dari kulit kepiting dan udang untuk obat anti kolesterol dan Makroalga dan sea cucumber untuk obat anticancer, antioksidan,” sambung Dr. Ruli.

Namun demikian, untuk mencapai manfaat-manfaat ini, Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan antara lain kurangnya anggaran, sarana dan prasarana riset kelautan serta sumber daya manusia. Oleh karena itu, penting bagi generasi muda saat ini untuk mulai menaruh perhatian terhadap isu BBNJ, juga institusi pendidikan, masyarakat sipil dan utamanya pemerintah sebagai motor penggerak utama untuk membangun kapasitas riset nasional.

Masyarakat sipil berperan penting dalam konteks BBNJ, sebagaimana disampaikan oleh Laura dari Indonesia Ocean Justice Initiative. Hal tersebut didasarkan pada beberapa alasan, antara lain, “Prinsip-prinsip perjanjian BBNJ, diantaranya, common heritage of mankind, fair and equitable benefit sharing dan respect of the rights of Indigenous Peoples and local communities; kewajiban untuk melibatkan stakeholders sebagaimana diatur dalam Pasal 32 ayat (1) dan (3) perjanjian BBNJ, dan kerjasama dalam peningkatan kapasitas dengan melibatkan seluruh pihak sebagaimana diatur dalam Pasal 41 ayat (2) perjanjian BBNJ.”

Peran masyarakat sipil bahkan tidak hanya nanti pada saat perjanjian BBNJ telah berlaku. Dalam proses perundingan perjanjian BBNJ pun beberapa kelompok masyarakat sipil telah mengambil peran penting contohnya, “IUCN atau International Union for Conservation of Nature yang menyediakan legal commentaries, draft text proposals, workshops dan seminars mengenai marine genetic resources, EIA, marine protected areas dan juga High Seas Alliance yang menyelenggarakan workshops, memberi nasihat dan masukan mengenai isu hukum internasional dan kerangka hukum domestik selama negosiasi, serta melacak progres ratifikasi BBNJ,” sambung Laura.

Sebagai penutup, Laura menyampaikan agar kelompok masyarakat sipil konsisten untuk menjalankan perannya, “sebagai: watchdogs, yang terus mengingatkan dan mengawasi pemerintah, pendukung implementasi perjanjian BBNJ, dan pembela dan pendukung masyarakat pesisir dan masyarakat hukum adat.”

Narasumber berikutnya, Ahmad Almaududy Amri dari Kementerian Luar Negeri RI, menyampaikan, “ratifikasi adalah salah satu elemen penting dalam pengikatan diri sebuah negara untuk mengimplementasi perjanjian ini, tapi elemen yang lebih penting lainnya adalah bahwa negara dan seluruh elemennya siap untuk melaksanakannya.” Oleh karena itu pemerintah RI perlu untuk segera mempersiapkan diri sejak saat ini, bersamaan dengan proses ratifikasi yang sedang berjalan di Indonesia serta sembari menunggu waktu berlakunya perjanjian BBNJ secara global.

Menyadari bahwa tantangan besar yang dimiliki oleh Indonesia saat ini terkait BBNJ adalah mengenai anggaran, sarana pra-sarana riset dan sumber daya manusia, Ahmad menyampaikan pentingnya, “pendayagunaan optimal pasal-pasal dalam perjanjian BBNJ mengenai peningkatan kapasitas dan alih teknologi (full use of the CBTMT regime in the BBNJ Agreement), diseminasi informasi dan pemahaman kepada kementerian terkait, universitas dan institusi-institusi lain yang relevan, dan memperkuat minat dan kapasitas riset melalui kerjasama penelitian untuk marine genetic resources.”

“Saat ini sudah ada 105 negara yang menandatangani perjanjian BBNJ dan 15 diantaranya telah meratifikasinya. Di Asia, sudah ada 12 negara yang menandatangani dan 4

diantaranya telah meratifikasinya yaitu Bangladesh, Singapura, Timor-Leste dan Maladewa (Maldives),” ujar Rizza-Sacra Dejucos dari High Seas Alliance. Lebih lanjut ia menuturkan bahwa perjanjian BBNJ ini sangat penting bagi region Asia karena region ini adalah “home to critically endangered species, migratory species, that need protection.” Laut harus terus dijaga karena ia juga, “supports the economy of at least half a billion people globally and it provides a very significant fish supply across the world.”

“Diperlukan 60 negara yang melakukan ratifikasi agar perjanjian BBNJ dapat berlaku secara global,” ujar Brigitta Gunawan dari 30×30 Indonesia yang juga merupakan High Seas Alliance Youth Ambassador. Mewakili suara anak-anak muda, termasuk 4.804 orang penandatangan petisi yang mendorong pemerintah RI untuk segera meratifikasi perjanjian BBNJ (per 10 Desember 2024), Brigitta menyampaikan pentingnya inisiatif 30×30 yaitu melindungi 30% lautan pada tahun 2030. Inisiatif ini didasarkan pada penelitian saintifik pada tahun 2019. “Intergovernmental Science-Policy Platform on Biodiversity and Ecosystem Services (IPBES) menyoroti perlunya melindungi 30-50% planet ini untuk menjaga keanekaragaman hayati dan mempertahankan fungsi ekosistem,” ujar Brigitta. Mengutip pernyataan Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterrez, Brigitta menyampaikan kepada generasi muda bahwa “[our] generation will be essential, now to lead, tomorrow to be able to manage and reverse this trend and rescue the planet.

Sebagai penutup, seluruh narasumber sepakat bahwa perjanjian BBNJ adalah instrumen penting bagi perlindungan laut. Proses ratifikasi untuk mempercepat keberlakuan perjanjian BBNJ secara global merupakan hal penting namun yang lebih penting daripada itu adalah agar Indonesia, pemerintah dan seluruh elemen masyarakat, mempersiapkan diri agar mampu melaksanakan perjanjian BBNJ saat perjanjian ini berlaku secara global, yaitu 120 hari pasca penyampaian instrumen ratifikasi ke-60.

Kegiatan Muda Bicara: Perjanjian Keanekaragaman Hayati di Luar Yurisdiksi Nasional (Biodiversity Beyond National Jurisdiction/BBNJ), Relevansi dan Urgensinya Untuk Masa Depan Kita selengkapnya dapat diakses melalui Youtube channel Indonesia Ocean Justice Initiative.

Narahubung: Laura Nindya Jinangkung – Program Officer (lauraanj@oceanjusticeinitiative.org)
DOWNLOAD PDF