[Siaran Pers TAPMI] Mahkamah Konstitusi Kukuhkan Posisi dan Hak Pelaut Migran sebagai Pekerja Migran dalam UU PPMI

Jakarta, Jumat (29 November 2024) – Mahkamah Konstitusi (MK) pada hari ini memutuskan untuk menolak permohonan uji materi Pasal 4 ayat 1 huruf c Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (PPMI). Putusan ini menegaskan hak konstitusionalitas pelaut migran, baik itu awak kapal niaga maupun awak kapal perikanan, untuk mendapatkan pengakuan hukum dan pelindungan dari negara sebagai bagian dari pekerja migran Indonesia.

Mahkamah Konstitusi, dalam pertimbangannya menyatakan bahwa dalil pemohon mengenai norma Pasal 4 ayat (1) huruf c UU 18/2017 yang tidak mengatur kategori Pekerja Migran Indonesia ke dalam dua jenis, yakni pekerja migran berbasis darat dan laut, tidak beralasan menurut hukum.

“Menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” kata Hakim Ketua MK, Suhartoyo, di Gedung MK, Jakarta Pusat, Jumat (29/11/2024).

Sebagai Pihak Terkait dalam perkara ini, 6 (enam) serikat pekerja dan 3 (tiga) kelompok masyarakat sipil, yang tergabung dalam Tim Advokasi Pelaut Migran Indonesia (TAPMI) mengapresiasi putusan MK tersebut.

“Kami mengapresiasi Mahkamah Konstitusi yang telah melakukan pertimbangan yang menyeluruh dan konklusif sekaligus menunjukkan keberpihakan terhadap pelindungan hak asasi manusia Pelaut Migran dengan mengukuhkan norma Pasal 4 ayat 1 huruf c UU 18/2017” ujar Kuasa Hukum TAPMI, Harimuddin, S.H.

Sesuai UU PPMI, tata kelola pelindungan pelaut migran harus menjamin penyelenggaraan pelindungan sejak sebelum, selama, hingga setelah bekerja.

“Putusan MK ini memperjelas kedudukan bahwa Pelaut Migran merupakan Pekerja Migran Indonesia yang telah diatur pada rezim regulasi ketenagakerjaan UU 18/2017. Selain itu, Putusan MK ini memberi kejelasan kedudukan Pelaut Migran dalam hukum internasional terutama dalam pelindungan Konvensi PBB tentang Pelindungan Buruh Migran dan Keluarganya. Pun dalam Putusan hari ini, MK menandakan berakhirnya dualisme dan ego sektoral antar kementerian yang mengorbankan dan membiarkan banyak Pelaut Migran bekerja tanpa pelindungan sejak 2 dekade terakhir.” ujar Juwarih, selaku Sekretaris Jenderal Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI).

Dipertahankannya ketentuan Pasal 4 ayat (1) huruf c UU PPMI sejalan dengan norma hukum internasional, diantaranya International Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and Members of Their Families (ICRMW). Ketentuan pelindungan pelaut migran dalam UU PPMI dan Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2022 menjadi praktik baik dalam mengharmonisasikan standar-standar pelindungan dalam ICRMW, Work in Fishing Convention (C-188), dan Maritime Labour Convention.

“Kepastian atas status hukum pelaut migran ini harus diterjemahkan dalam perumusan dan implementasi kebijakan yang konkret dalam melindungi pelaut kita di setiap tahapan migrasi,” kata Syofyan, Sekretaris Jenderal Serikat Awak Kapal Transportasi Indonesia (SAKTI).

Langkah ini meliputi kebijakan di tingkat nasional, daerah provinsi, daerah kabupaten/kota, dan desa, ratifikasi ILO C-188 dan penguatan implementasi MLC 2006, serta pengembangan perjanjian bilateral.

Kementerian Pelindungan Pekerja Migran Indonesia bertanggung jawab melanjutkan momentum ini dengan memimpin dan/atau mengoordinasikan penetapan dan evaluasi

kebijakan di berbagai tingkatan pemerintahan untuk mewujudkan pelindungan pelaut migran secara menyeluruh.

Respons Prinsipal TAPMI

Putusan ini tidak hanya menegaskan pelaut migran sebagai pekerja migran Indonesia yang dilindungi oleh UU 18/2017, tetapi juga memperingatkan Pemerintah Indonesia untuk senantiasa melindungi dan memenuhi hak-hak pelaut migran, termasuk akses terhadap keadilan bagi mereka yang selama ini mengalami eksploitasi dan pelanggaran HAM dan hak-hak perburuhankata Ketua Serikat Awak Kapal Perikanan Sulawesi Utara (SAKTI Sulut), Arnon Hiborang

“Selamat buat kawan-kawan pelaut baik kapal niaga maupun kapal perikanan migran. Semoga dengan Adanya Putusan MK No. 127 ini, kawan-kawan pelaut migran dapat lebih memperoleh pelindungan dari negara agar kawan-kawan dapat terhindar dari job fiktif, manning agency nakal maupun perusahaan-perusahaan nakal pemberi kerja. Buang ego kalian dengan tetap memegang slogan Pelaut Pekerja Lex Specialis karena slogan Pekerja Lex Specialis hanyalah bualan semata. Sekarang Saatnya kita kawal hasil Putusan MK ini, demi Masa depan Pelaut Indonesia yang lebih bermartabat,” kata Ketua Umum Serikat Pekerja Pelaut Borneo Bersatu, Muhammad Adnan Tianotak

“Dengan adanya putusan MK yg menolak permohonan pemohon dapat menyadarkan para manning agency perekrutan awak kapal, baik perikanan maupun niaga, agar mengabaikan Surat Izin Usaha Perekrutan dan Penempatan Awak Kapal (SIUPPAK) dan segera beralih ke Surat Izin Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (SIP3MI). Dalam hal perizinan kiranya aparat yang berwenang melakukan sidak keseluruhan manning agency yang belum memiliki SP3MI agar perusahaan ditutup sampai memiliki SP3MI. Berhubung saat ini sudah ada kementerian yang menaungi pekerja migran,” kata Ketua Umum Serikat Pelaut Sulawesi Utara (SPSU), Anwar Abdul Dalewa.

“Kami mengapresiasi putusan Mahkamah Konstitusi yang menegaskan status pelaut sebagai pekerja migran dan memperkuat kehadiran negara dalam pelindungan pelaut sebagai pekerja migran Indonesia,” kata Leonard Simanjuntak, Country Director Greenpeace Indonesia.

“Putusan ini sangat penting dan strategis yang mempertegas identitas pekerja perikanan migran. Selanjutnya, pemerintah perlu segera menindaklanjuti putusan tersebut dengan segera menyusun regulasi dan program yang berorientasi pada

perlindungan pekerja perikanan migran secara holistik,” kata Abdi Suhufan, Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia.

“Mahkamah Konstitusi telah menunjukkan keberpihakan terhadap pelindungan HAM pelaut migran dengan mempertahankan Pasal 4 ayat 1 huruf c Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (‘UU 18/2017’). Dalam rangka mengefektifkan pelaksanaan standar pelindungan pelaut migran dalam UU 18/2017 dan Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2022 tentang Penempatan dan Pelindungan Awak Kapal Niaga Migran dan Awak Kapal Perikanan Migran, Kementerian Pelindungan Pekerja Migran Indonesia perlu menyusun langkah aksi yang komprehensif dimulai dari penerbitan aturan teknis, menyiapkan mekanisme koordinasi antar instansi pemerintahan di berbagai tingkatan, kerjasama internasional, serta pengawasan penempatan pelaut migran secara inklusif dengan melibatkan berbagai elemen masyarakat” kata Mas Achmad Santosa, Chief Executive Officer Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI)

TAPMI terdaftar sebagai Pihak Terkait atas pengujian (judicial review) materiil Undang-Undang No. 18 tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia di Mahkamah Konstitusi (MK) yang terdaftar dalam perkara nomor: 127/PUU-XXI/2023.

TAPMI terdiri dari sembilan perwakilan organisasi pelaut dan organisasi masyarakat sipil, yakni Serikat Awak Kapal Transportasi Indonesia (SAKTI), Serikat Awak Kapal Perikanan Bersatu Sulawesi Utara (SAKTI Sulut), Serikat Pelaut Sulawesi Utara (SPSU), Pelaut Borneo Bersatu (PBB), Serikat Pelaut Bulukumba (SPB), Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), Greenpeace Indonesia, Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI), dan Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia.

Salinan putusan dapat diakses melalui tautan ini: MKRI

Narahubung
Kuasa Hukum TAPMI, Harimuddin, +62 812‑9399‑2383
Sekretariat TAPMI, Syofyan Koto, +62 813‑1791‑0638
Perwakilan Tim Kampanye dan Media TAPMI, Kirana, +62 823-8403-4349

DOWNLOAD PDF