30 April 2023

DETEKSI DAN ANALISIS GANGGUAN KEAMANAN LAUT DI WILAYAH PERAIRAN DAN YURISDIKSI INDONESIA PERIODE JANUARI HINGGA MARET 2023

Laporan Deteksi dan Analisis lengkapnya, dapat diunduh melalui tautan ini. English version is also available here.

Pendahuluan

Pada periode ini, Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) menyajikan deteksi atas dugaan kegiatan illegal fishing oleh kapal-kapal ikan asing dan kegiatan pencemaran laut berupa tumpahan minyak dan tumpahan aspal di wilayah perairan dan yurisdiksi Indonesia. Wilayah yang menjadi fokus utama untuk pendeteksian dugaan illegal fishing adalah Laut Natuna Utara (LNU). Sedangkan deteksi pencemaran laut berupa tumpahan minyak fokus pada area Laut Jawa, Perairan Pulau Bintan (berbatasan dengan Selat Singapura) dan perairan Pulau Sumatera.

Secara umum, deteksi terhadap area LNU menunjukkan bahwa masih ditemukan kapal ikan Vietnam yang diduga kuat melakukan kegiatan penangkapan ikan secara ilegal. Hal ini seharusnya menjadi perhatian khusus Pemerintah Indonesia karena situasi di wilayah perairan LNU tidak berubah meski telah ada perjanjian batas zona ekonomi eksklusif (ZEE) antara Pemerintah Vietnam dan Indonesia sebagaimana disampaikan oleh Presiden Joko Widodo pada Desember 2022. Tidak hanya kapal ikan, IOJI juga mendeteksi patroli kapal-kapal Vietnam Fisheries Resources Surveillance di wilayah LNU dengan pola patroli sama seperti sebelum disepakatinya garis batas ZEE Indonesia dan Vietnam.

Mengenai pencemaran laut akibat dari tumpahan minyak, hasil analisis menunjukkan bahwa LNU, khususnya perairan Bintan yang berbatasan langsung dengan Selat Singapura sampai ke Laut Jawa, merupakan perairan yang paling tercemar. Sementara itu, pencemaran laut akibat dari tumpahan aspal juga dideteksi terjadi di pantai barat Pulau Nias akibat kebocoran lambung kapal MT AASHI hingga karam. Insiden ini menyebabkan wilayah pencemaran laut meluas sejauh 70 km dari titik insiden ke arah utara dan barat Pulau Nias.

Metodologi

Pengumpulan data dan informasi mengenai pergerakan kapal-kapal di wilayah yurisdiksi dan perairan Indonesia dilakukan melalui teknologi Automatic Identification System (AIS) dan citra satelit. Data AIS diperoleh dari MarineTraffic dan citra satelit diperoleh dari Sentinel-2 milik European Space Agency (ESA). Analisis dilakukan terhadap pola pergerakan kapal dan hal-hal lainnya yang relevan untuk menilai terjadinya dugaan pelanggaran terhadap kedaulatan dan hak berdaulat Indonesia. Dasar hukum yang digunakan dalam analisis ini adalah United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS), instrumen hukum internasional lainnya yang relevan, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.

Data dan informasi mengenai dugaan pencemaran laut diperoleh melalui teknologi perangkat lunak Cerulean yang dikembangkan oleh SkyTruth. Cerulean adalah perangkat lunak yang menggunakan algoritma computer vision  dan memiliki kemampuan mendeteksi pencemaran laut dari tumpahan minyak, menggunakan data citra satelit. Citra satelit diambil oleh Sentinel-1 milik European Space Agency (ESA) untuk digunakan dan dianalisis oleh Cerulean sehingga area-area spesifik yang tercemar dapat dikenali. 

Deteksi Dugaan Kegiatan Illegal Fishing di LNU

Deteksi terhadap dugaan kegiatan illegal fishing di LNU disajikan dalam bentuk peta di bawah ini. Sebagai catatan, gambar peta yang digunakan adalah gambar “peta lama”, yang berarti belum memasukkan garis batas ZEE Indonesia dan Vietnam terbaru yang disepakati pada Desember 2022. Hal ini disebabkan sampai saat ini belum ada publikasi resmi dari Pemerintah Indonesia mengenai peta baru yang memuat titik-titik koordinat garis batas ZEE Indonesia dan Vietnam pasca kesepakatan.

Garis-garis batas maritim yang terdapat dalam “peta lama” adalah garis batas ZEE klaim unilateral Indonesia dan garis landas kontinen Indonesia-Vietnam yang disepakati tahun 2003 sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 1 di bawah ini.

Gambar 1. Garis delimitasi ZEE Indonesia (klaim) dan Landas Kontinen serta Wilayah yang Dipersengketakan (disputed waters) antara Indonesia dan Vietnam.

Untuk memudahkan pembaca, area sebelah utara garis landas kontinen (garis oranye) sampai pada batas klaim unilateral ZEE Indonesia (garis biru putus-putus) disebut sebagai “area sengketa” (warna abu-abu) dan area sebelah selatan garis landas kontinen disebut sebagai “area non-sengketa”. Penamaan “area sengketa” dan “area non-sengketa” sebenarnya tidak tepat digunakan saat ini karena sudah ada perjanjian batas ZEE Indonesia dan Vietnam pasca kesepakatan pada Desember 2022. Namun dalam laporan ini, IOJI masih menggunakan kedua istilah tersebut dengan pertimbangan bahwa hingga laporan ini disampaikan, belum ada rilis resmi dari kedua negara mengenai koordinat garis batas ZEE yang disepakati, sehingga tidak dapat diketahui secara persis dimana lokasi garis batas ZEE Indonesia dan Vietnam.

Area Non Sengketa

Gambar 2 dan 3 di bawah ini menunjukkan deteksi atas kapal-kapal ikan Vietnam yang diduga kuat melakukan illegal fishing pada Februari dan Maret 2023. Terdapat 6 (enam) kapal ikan Vietnam yang terdeteksi dengan AIS dan 16 (enam belas) kapal ikan Vietnam yang terdeteksi dengan citra satelit berada di area non-sengketa.


Gambar 2. Deteksi AIS dan citra satelit kapal ikan Vietnam di area non-sengketa LNU pada Februari 2023

No. Nama Kapal MMSI Periode/Tanggal Deteksi Kecepatan Rata-Rata (knot) Deteksi Sebelumnya (Repeated Offender)
1. 18 A 27 574151209 03-02-2023 sd 03-02-2023

02-03-2023

1.83

1.3

Mar, Apr, Jun, Jul, Ags, Okt, Nov, Des 2022
2. N/A 574704173 20-02-2023 6.9  
3. TAU 79 A27 574210045 21-02-2023 0  
4. LOC Phu B19 574605040 28-02-2023 1.1  
5. DAHUY D24 574069914 27-02-2023 1  
6. KIM NGOC 57 F27 574070001 14-03-2023 2.7

Tabel 1. Nama Kapal Ikan Vietnam yang diduga beroperasi tanpa izin di area non-sengketa LNU pada Februari 2023 (Sumber: AIS)

Gambar 3. Deteksi AIS dan citra satelit kapal ikan Vietnam di area non-sengketa LNU pada Maret 2023

Tabel 2 di bawah ini merupakan daftar scene citra satelit ESA Sentinel-2 yang mengandung deteksi kapal ikan Vietnam yang menggunakan pair trawl di area non-sengketa pada Februari sampai dengan Maret 2023.

Tanggal

Jumlah Kapal Penangkap Ikan Terdeteksi

Citra Satelit

8 Februari 2023

4

T49NCF_20230208T025859_TCI (4 kapal)

28 Maret 2023

16

T48NXM_20230328T030521_TCI (16 kapal)

Table 2. Scene citra satelit deteksi kapal ikan Vietnam yang menggunakan pair trawl  di area non-sengketa pada Februari hingga Maret 2023 (Sumber: ESA Sentinel-2)

Gambar 4 di bawah ini menampilkan contoh citra satelit yang menunjukkan kapal ikan Vietnam yang diduga kuat beroperasi secara ilegal menggunakan alat tangkap pair trawl di area non-sengketa (terdapat 2 pasang kapal, yaitu A-B dan C-D) pada tanggal 28 Maret 2023.

Gambar 4. Citra Satelit yang menunjukkan dugaan kuat kapal ikan Vietnam beroperasi tanpa izin dengan alat tangkap pair trawl di area non-sengketa LNU pada 28 Maret 2023

Citra satelit pada Gambar 4 di atas ditangkap satu hari setelah Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) berhasil menangkap KIA Vietnam pelaku pencurian ikan di zona yang sama, yaitu zona barat, Laut Natuna Utara. Berdasarkan siaran pers KKP, kapal patroli Orca 03 menangkap kapal ikan Vietnam dengan alat tangkap pair trawl

Merujuk pada data deteksi dua tahun terakhir (2021 dan 2022) dan deteksi pada Januari hingga Maret 2023, dapat disimpulkan bahwa jumlah kapal ikan Vietnam di area non-sengketa meningkat setiap bulan Maret hingga Mei. Grafik (Gambar 5) di bawah ini menunjukkan jumlah kapal ikan Vietnam yang terdeteksi oleh AIS dan citra satelit di area non-sengketa sejak Maret 2021 sampai dengan Maret 2023.

Gambar 5. Deteksi jumlah kapal ikan Vietnam di LNU area non-sengketa pada Maret 2021 hingga Maret 2023

Area Sengketa

Gambar 6 dan 7 di bawah ini menunjukkan lokasi kapal-kapal ikan Vietnam yang terdeteksi berada di area sengketa pasca perjanjian batas ZEE Indonesia dan Vietnam (Desember 2022). Pada Januari 2023 terdapat 82 kapal yang terdeteksi dan pada Februari 2023 terdapat 155 kapal.


Gambar 6. Kapal Ikan Vietnam di Area Sengketa LNU Januari 2023 (81 kapal)


Gambar 7. Kapal Ikan Vietnam di Area Sengketa LNU Februari 2023 (155 kapal)

Gambar 8 di bawah ini menampilkan citra satelit kapal ikan Vietnam yang diduga kuat menangkap ikan dengan alat tangkap pair trawl (A berpasangan dengan B, C berpasangan dengan D) di area sengketa LNU pada tanggal 23 Maret 2023.

Gambar 8. Citra satelit yang menunjukkan dugaan kuat kapal ikan Vietnam beroperasi dengan alat tangkap pair trawl di area sengketa LNU pada 23 Maret 2023.

Sebagai perbandingan, Gambar 9 dan 10 di bawah ini menunjukkan deteksi AIS kapal ikan Vietnam di area sengketa pada November dan Desember 2022 (sebelum adanya kesepakatan batas ZEE Indonesia dan Vietnam).

Gambar 9. Kapal Ikan Vietnam di Area Sengketa LNU November 2022 (172 kapal)
Gambar 10. Kapal Ikan Vietnam di Area Sengketa LNU Desember 2022 (81 kapal)

Grafik (Gambar 11) di bawah ini menunjukkan jumlah kapal ikan Vietnam yang terdeteksi AIS-nya di area sengketa LNU sejak Februari 2022 hingga Maret 2023.

Gambar 11. Jumlah kapal ikan Vietnam di area sengketa LNU

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa perjanjian batas ZEE Indonesia dan Vietnam pada Desember 2022 tidak mengubah situasi kegiatan illegal fishing di LNU.

Pasca perjanjian batas ZEE Indonesia dan Vietnam, aktivitas penangkapan ikan oleh kapal ikan Vietnam di area sengketa sebagaimana diuraikan di atas bisa saja dikatakan sah secara hukum apabila garis batas ZEE Indonesia-Vietnam yang disepakati sama dengan garis landas kontinen Indonesia-Vietnam (single maritime boundary). Namun demikian, hal ini tidak terjadi karena Indonesia dan Vietnam tidak mengadopsi single maritime boundary (SMB). Berdasarkan metode penarikan garis batas yang digunakan secara universal, yaitu three stage approach of maritime delimitation, garis batas ZEE Indonesia dan Vietnam yang telah disepakati diperkirakan berada di sebelah utara garis landas kontinen Indonesia-Vietnam (meski belum dapat diketahui secara persis titik koordinatnya karena hingga saat ini belum ada rilis resmi dari kedua negara). Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa sebagian area sengketa, setidaknya area yang sangat dekat dengan garis landas kontinen, kemungkinan merupakan ZEE Indonesia, dan karenanya aktivitas penangkapan ikan oleh kapal ikan Vietnam di area tersebut menjadi tidak sah karena Indonesia memiliki hak berdaulat berdasarkan Pasal 56 UNCLOS di area tersebut.

Selanjutnya, kehadiran kapal-kapal ikan Vietnam baik di area sengketa maupun non-sengketa LNU “mendesak” kapal-kapal ikan Indonesia bergerak ke arah selatan jauh dari garis ZEE yang telah disepakati pada Desember 2022. Akibatnya, kapal-kapal ikan Indonesia kehilangan kesempatan untuk memanfaatkan sumber daya ikan di area tersebut. Gambar 12 di bawah ini menunjukkan lokasi kapal ikan Indonesia berdasarkan AIS di LNU (warna ungu).


Gambar 12. Lokasi Kapal-Kapal Ikan Indonesia (warna ungu) di LNU pada Maret 2023
(Sumber: Global Fishing Watch)

Vietnam Fisheries Resources Surveillance (VFRS)

Selain kapal ikan, IOJI juga mendeteksi kapal patroli Pemerintah Vietnam VFRS dengan pola operasi yang sama seperti pola operasi sebelum adanya kesepakatan batas ZEE Indonesia-Vietnam pada Desember 2022. Setidaknya terdapat 8 (delapan) kapal VFRS yang berpatroli di sepanjang garis batas landas kontinen Indonesia-Vietnam pada periode 1 Desember 2022 hingga 9 Februari 2023 sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 13 dan 14 di bawah ini.


Gambar 13. Kapal VFRS berpatroli di garis landas kontinen Indonesia-Vietnam pada 1 Desember 2022 hingga 4 Januari 2023 (Sumber: AIS)

Gambar 14. Kapal VFRS berpatroli di garis landas kontinen Indonesia-Vietnam pada 1 Januari 2023 hingga 9 Februari 2023 (Sumber: AIS)

Analisis: Kegiatan Kapal Ikan Vietnam dan VFRS di LNU

UNCLOS telah mengatur bahwa kedua negara yang sedang dalam proses perundingan batas maritim wajib dan berupaya maksimal membuat perjanjian sementara (provisional arrangement) agar aktivitas manusia di area yang belum selesai batas maritimnya tersebut tetap dapat terlaksana dengan kondusif dan minim konflik.

Kewajiban ini mengandung tiga elemen penting, yaitu: (i) perjanjian sementara dibuat atas dasar semangat saling pengertian dan kerjasama; (ii) perjanjian sementara harus diupayakan semaksimal mungkin dan mudah dilaksanakan; dan (iii) perjanjian sementara tidak boleh mengganggu atau menghambat proses perundingan penyelesaian batas maritim. Berdasarkan ketiga elemen tersebut, disimpulkan bahwa UNCLOS menghendaki para pihak untuk memiliki itikad baik dan menjauhkan diri dari tindakan-tindakan yang berpotensi untuk mengganggu proses penyelesaian batas maritim.

Merujuk pada Putusan the Permanent Court of Arbitration atas kasus Guyana melawan Suriname, Pasal 73 ayat (3) UNCLOS tidak mewajibkan para pihak untuk menihilkan aktivitas di area tumpang tindih klaim, namun demikian jenis dan bentuk aktivitas yang boleh dilaksanakan di area tersebut harus merupakan aktivitas yang tidak mengganggu atau menghambat proses perundingan batas maritim kedua negara, misalnya, riset kelautan yang sifat kegiatannya tidak merusak dan tidak berpotensi mengganggu hak berdaulat kedua negara di area tumpang tindih klaim. Sementara, aktivitas eksploitasi sumber daya tergolong dapat mengganggu dan menghambat tercapainya penyelesaian batas maritim dari kedua negara.

Dalam konteks Indonesia dan Vietnam, jauh sebelum disepakatinya garis batas ZEE kedua negara pada Desember 2022, kapal-kapal ikan Vietnam telah beroperasi secara intensif di area tumpang tindih klaim ZEE Indonesia-Vietnam di LNU dan bahkan jauh sampai ke bagian selatan dari area tumpang tindih klaim ZEE yang merupakan wilayah ZEE Indonesia. Pasca kesepakatan yang diumumkan pada Desember 2022 hingga saat ini, operasi kapal ikan Vietnam dan VFRS pada kenyataannya masih sama seperti sebelum garis batas ZEE disepakati kedua negara.

Aktivitas kapal ikan Vietnam dan VFRS ini jelas telah melanggar hak berdaulat Indonesia, apalagi penggunaan pair trawl oleh KIA Vietnam jelas berdampak pada kerusakan karang sebagai habitat ikan. Alat tangkap pair trawl atau pukat hela dasar dua kapal atau pukat hela pertengahan dua kapal sendiri dikategorikan sebagai alat tangkap yang merusak sumber daya ikan dan dilarang penggunaannya di seluruh WPP NRI. Dalam menanggapi pelanggaran pemanfaatan sumber daya ikan di ZEE Indonesia tanpa izin, Pemerintah Indonesia berwenang mengambil tindakan yang diperlukan, termasuk penangkapan kapal dan penuntutan pidana. Pengambilan tindakan-tindakan tersebut bahkan merupakan kewajiban utama (primary responsibility) Pemerintah Indonesia dalam rangka mencegah dan menindak kegiatan IUU fishing di ZEE Indonesia.

Di sisi lain, Pemerintah Vietnam selaku negara bendera kapal (flag State) memiliki kewajiban untuk memastikan agar kapal-kapal yang mengibarkan benderanya tidak terlibat dalam kegiatan IUU fishing. Fakta bahwa kapal ikan Vietnam masih marak beroperasi di garis landas kontinen Indonesia-Vietnam dan bahkan jauh ke arah selatan dari garis tersebut membuktikan bahwa Pemerintah Vietnam telah gagal melaksanakan kewajibannya. Sebaliknya, kapal-kapal VFRS malah terdeteksi berpatroli di sepanjang garis batas landas kontinen Indonesia-Vietnam, yang jelas melanggar kewajiban saling menghormati (due regard obligation) Vietnam terhadap Indonesia, dan membiarkan kapal ikan Vietnam melakukan kegiatan IUU fishing di ZEE Indonesia. Kapal-kapal VFRS tersebut tidak melakukan kewajibannya dalam mencegah kapal-kapal ikan Vietnam melakukan pelanggaran terhadap UNCLOS dan hak berdaulat Indonesia atas sumber daya yang berada di dalam ZEE Indonesia. Dalam insiden beberapa tahun terakhir, VFRS bahkan secara aktif melindungi KIA Vietnam dari upaya penegakan hukum yang dilakukan kapal-kapal patroli Pemerintah Indonesia terkait illegal fishing di LNU

Berkenaan dengan pelanggaran UNCLOS oleh Pemerintah Vietnam tersebut di atas, Pemerintah Indonesia seharusnya mengambil langkah hukum yang tegas terhadap Pemerintah Vietnam berdasarkan UNCLOS, salah satunya berupa penyelesaian sengketa di bawah prosedur UNCLOS.

Pencemaran Laut Akibat Tumpahan Minyak 

Berdasarkan jurnal “Chronic Oiling in Global Oceans” yang menganalisis tumpahan minyak di 31 wilayah offshore dengan menggunakan 563.705 citra satelit Sentinel-1 dari tahun 2014 hingga 2019, sekitar 94% kejadian cemaran terbesar di laut bersumber dari anthropogenic discharge (minyak yang dibuang karena aktivitas manusia) yang secara umum dikeluarkan dari kapal-kapal yang sedang melintas. Secara volume, 53,85% tumpahan minyak di seluruh dunia disebabkan oleh anthropogenic discharge (berdasarkan data riset NRC tahun 1990-1999). Gambar 15 dan Gambar 16 di bawah ini menunjukkan data sebaran tumpahan minyak di seluruh dunia berdasarkan jurnal tersebut.

Gambar 15. Laut Jawa dan sekitarnya merupakan wilayah laut dengan 30% tumpahan minyak terdeteksi dari 31 wilayah perairan lainnya di dunia.

Gambar 16. Sebaran Tumpahan Minyak di Seluruh Dunia 

Gambar F dan G pada Gambar 16 di atas menunjukkan bahwa dari Selat Malaka sampai ke LNU, dari Laut Jawa sampai ke Selat Makassar merupakan area yang tercemar. Lokasi yang sangat tercemar adalah perairan sebelah timur Johor Malaysia sampai Pulau Bintan, dimana terdapat banyak kapal tanker yang melakukan ship to ship transshipmentGambar 17 di bawah ini merupakan contoh ship to ship transhipment yang terjadi di perairan sebelah timur Johor, Malaysia.

Gambar 17. Dua pasang kapal patut diduga kuat sedang melakukan ship to ship transhipment di perairan timur Johor Malaysia. (Sumber: Sentinel-2).

Pada sesi pertemuan ke-110 Komite Hukum IMO (Legal Committee International Maritime Organization) tanggal 26-31 Maret 2023 di kantor pusat IMO, London, Komite menyebutkan bahwa aktivitas ship to ship transhipment yang dilakukan oleh ‘dark fleet’ merupakan kegiatan yang beresiko tinggi karena kapal yang melakukan transhipment ini kebanyakan kapal yang sudah tua dan tidak dirawat dengan baik. Terhadap hal ini Komite mengusulkan agar port State lebih aktif dalam melaksanakan inspeksi dan penegakan hukum terhadap kapal-kapal yang terlibat dalam ship to ship transhipment dan segera melaporkan kepada negara bendera kapal (flag State) mengenai tindakan hukum yang diambil oleh negara pelabuhan (port State). 

Deteksi Tumpahan dari Kapal: Area Johor Malaysia hingga ke Pulau Bintan

Citra satelit di bawah ini (Gambar 18), menunjukkan adanya tumpahan sepanjang 7 km yang terdeteksi pada 16 Maret 2023 di sebelah timur perairan Johor, Malaysia. Koordinat lokasi tumpahan tersebut adalah 104.6650 BT, 1.6872 LU. Tumpahan tersebut hanya berjarak sekitar 50 hingga 60 km sebelah utara Pulau Bintan, Kepulauan Riau (Gambar 19). Berdasarkan informasi dari Badan Meteorologi dan Geofisika (BMKG), pada tanggal 16 Maret 2023, arus laut di perairan lokasi tumpahan mengarah ke selatan mendekati Pulau Bintan, sehingga ada potensi tumpahan tersebut terbawa arus sampai ke pantai utara Pulau Bintan.

Gambar 18. Citra Satelit Menangkap Tumpahan Minyak (poligon merah)  di Timur Perairan Johor, ZEE Malaysia, Pada 16 Maret 2023. Hanya Berjarak 50-60 km dari Pantai Pulau Bintan.  (Sumber: Sentinel-2)

Gambar 19. Lokasi Tumpahan Minyak (Pada Gambar 22) Di Sebelah Utara P. Bintan 16 Maret 2023 Berjarak 55 km utara Pulau Bintan, Kepulauan Riau.

Deteksi Skytruth terhadap Tumpahan Minyak dari Kapal yang Melintas

Sebagaimana diuraikan pada gambar di atas, pencemaran laut dari aktivitas ship to ship oil transhipment hanyalah satu contoh sumber pencemaran laut. Terdapat beberapa kegiatan lain yang dapat mencemari laut, salah satunya yaitu pelepasan zat polutan dari kapal yang sedang melintas.

Dengan menggunakan data deteksi cemaran dari SkyTruth (Gambar 20 di bawah), secara umum dapat terlihat bahwa banyak polutan berupa tumpahan minyak (garis hijau) di perairan Laut Natuna sampai Laut Jawa dan sedikit di Selat Makassar, sebelah selatan Pulau Sulawesi dan sebelah utara dan barat Pulau Sumatera.

Gambar 20. Deteksi Tumpahan Minyak oleh Skytruth di wilayah perairan dan yurisdiksi Indonesia, 2022

Tumpahan-tumpahan tersebut, khususnya tumpahan minyak tentu sangat membahayakan ekosistem laut dan kawasan konservasi, termasuk terumbu karang yang hidup di wilayah perairan dan yurisdiksi Indonesia. Gambar 21 di bawah ini menunjukkan persebaran tumpahan minyak (garis hijau) yang di-overlay dengan persebaran terumbu karang dan kawasan konservasi (warna merah muda) di sekitarnya.

Gambar 21. Persebaran Tumpahan Minyak di-overlay dengan Persebaran (A) Terumbu Karang dan (B) Kawasan Konservasi  (Sumber: Skytruth)

Salah satu contoh pencemaran laut dari kapal yang melintas adalah kapal tanker ALESSA (IMO 9438262). ALESSA adalah kapal tanker berjenis Chemical Tanker yang berbendera Indonesia yang dimiliki oleh PT Mitra Sinar Maritim.  Pada tanggal 7 Maret 2023, Kapal ALESSA terdeteksi sedang melintas di perairan sebelah timur Simeulue, Sumatera Utara (Gambar 22 dan Gambar 23) dan meninggalkan jejak tumpahan yang diduga dibuang oleh kapal tersebut.

Gambar 22. Tumpahan minyak dari kapal tanker yang sedang melintas terdeteksi di timur Pulau Simeulue, Sumatera Utara pada 7 Maret 2023 (Sumber: Skytruth)

Gambar 23. Lintasan kapal tanker ALESSA berdasarkan AIS bersesuaian waktu dan lokasinya dengan tumpahan minyak yang terdeteksi berdasarkan citra satelit pada Gambar 20. (Sumber: Marine Traffic)

Tumpahan Aspal dari Kapal Tanker MT AASHI di Perairan Pulau Nias

Pada tanggal 10 Februari 2023, kapal tanker MT AASHI diketahui mengalami insiden kebocoran lambung kapal hingga karam di pantai barat Pulau Nias, Sumatera Utara pada koordinat 01° 01′ 24.4″ LU, 096° 58′ 34.7″ BT (96.976 BT, 1.023 LU). Kapal tersebut memuat aspal dengan volume muatan 3.595 metrik ton atau sekitar kurang lebih 3 juta liter. Kapal MT AASHI merupakan kapal berbendera Gabon dengan ukuran 3.711 GT. Berdasarkan data International Maritime Organisation (IMO), kapal ini dimiliki oleh AASHI SHIPPING INC yang beralamat di Liberia. Berdasarkan lintasannya, kapal berangkat dari pelabuhan Khor Fakkan, Uni Emirat Arab menuju Padang, Sumatera Barat. Karamnya kapal tersebut mengakibatkan insiden tumpahan aspal yang meluas sejauh 70 km ke arah utara Pulau Nias dari titik lokasi insiden.


Gambar 24. Rute Kapal MT AASHI dari Khor Fakkan, UEA Hingga Karam di Barat Pulau Nias, Sumatera Utara, Indonesia

Gambar 25. Lintasan Kapal MT AASHI Hingga Karam di Barat Pulau Nias Pada 10 Februari 2023

Gambar 26. Citra Satelit Sentinel-1 pada 12 Februari 2023 memperlihatkan Tumpahan Aspal Keluar dari Kapal MT AASHI yang Telah Karam. Sumber: Citra Satelit Sentinel-1. (Sumber: Skytruth)

Gambar 27. Citra Satelit Sentinel-2 pada 12 Maret 2023 memperlihatkan Tumpahan Aspal Masih Keluar dari Kapal MT AASHI Yang Telah Karam. Sumber: Citra Satelit Sentinel-2 (Sumber: Skytruth)


Gambar 28. Citra Satelit Sentinel-2 pada 20 Maret 2023 Memperlihatkan Tumpahan Aspal Masih Keluar dari Kapal MT AASHI Yang Telah Karam. Sumber: Citra Satelit Sentinel-1 (Sumber: Skytruth)

Berdasarkan citra satelit pada 12 Februari 2023 (Gambar 26), 12 Maret 2023 (Gambar 27) dan 20 Maret 2023 (Gambar 28) di atas, tumpahan aspal dari kapal MT AASHI masih terdeteksi sepanjang 7 hingga 10 km dari lokasi karamnya kapal. IOJI menduga bahwa aspal yang tumpah akibat insiden kebocoran kapal pada 10 Februari 2023 belum seluruhnya keluar dari kapal. Hal ini dibuktikan dengan hasil pemantauan citra satelit yang menunjukkan bahwa tumpahan aspal dari kapal MT AASHI masih terus terdeteksi hingga satu bulan lebih.

Dari hasil pendeteksian IOJI melalui data AIS dan citra satelit, hingga satu bulan sejak insiden terjadi, tidak ada kapal khusus yang langsung menuju lokasi insiden untuk menangani pembersihan tumpahan aspal. Berdasarkan data AIS, terpantau hanya satu kapal supply tug boat Patrona 118 yang baru tiba di lokasi tersebut pada 19 Maret 2023. Pemerintah Indonesia seharusnya sesegera mungkin melakukan pencegahan agar sebaran tumpahan aspal tidak meluas setelah insiden terjadi, salah satunya dengan cara mengerahkan kapal-kapal yang secara asasi memiliki kemampuan untuk mencegah (contain) penyebaran tumpahan tersebut, terutama ke arah pesisir pantai yang tentunya dapat menyebabkan kerusakan ekosistem laut yang lebih luas.

Berdasarkan surat Bupati Nias Utara nomor 523/521/DISKAN/III/2023 tertanggal 10 Maret 2023, Bupati dalam suratnya menyatakan, “Kami menilai upaya ini tidak maksimal, tidak transparan, dan tidak melibatkan pihak dinas terkait serta kelompok masyarakat penggiat lingkungan/konservasi di Kabupaten Nias Utara…” Surat tersebut menerangkan bahwa jumlah aspal mentah yang diangkut dan dibersihkan baru mencapai total 29.910 kg dari jumlah muatan 3.595 metrik ton (setara 3.595.000 kg), atau dengan kata lain baru 0,83% dari total muatan aspal di kapal MT AASHI. Keterlambatan pembersihan aspal menyebabkan rusaknya ekosistem terumbu karang, padang lamun, mangrove dan biota laut (penyu) di sekitar kawasan konservasi, serta berdampak bagi 641 orang nelayan yang kehilangan mata pencaharian. Berdasarkan komunikasi IOJI dengan Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Nias Utara pada tanggal 11 April 2023, beliau memberikan keterangan lisan bahwa terdapat 30 kepala keluarga yang harus bermigrasi ke Kalimantan karena rusaknya mata pencaharian keluarga dimaksud akibat tumpahan aspal dari kapal MT AASHI.

Gambar 29. Lokasi Kawasan Konservasi Perairan Sawo-Laweha dan Perairan Sekitarnya, 35 km Dari Lokasi MT AASHI Karam, Terancam Akibat Tumpahan Aspal

Dampak tumpahan aspal MT AASHI mengancam Kawasan Konservasi Perairan Sawo-Laweha dan sekitarnya yang hanya berjarak 35 km dari lokasi karamnya MT AASHI sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 29 di atas.

Contoh Penanganan Tumpahan Minyak di Filipina

Pemerintah Indonesia dapat belajar dari penanganan yang dilakukan oleh Pemerintah Filipina terhadap tumpahan minyak akibat tenggelamnya kapal tanker MT Princess Empress di Oriental Mindoro, Filipina, tanggal 28 Februari 2023. Pemerintah Filipina secara aktif melibatkan berbagai pihak dari dalam dan luar negeri. Sebagai latar belakang, kapal MT Princess Empress tenggelam di kedalaman 400 meter di bawah permukaan laut dan dilaporkan membawa muatan minyak sejumlah 800.000 liter. Kapal MT Princess Empress berukuran 508 GT, hanya 14% dari ukuran kapal MT AASHI yang karam di Pulau Nias. Dalam menangani  insiden ini, Pemerintah Filipina meminta bantuan Amerika Serikat, dalam hal ini US Coast Guard (USCG) National Strike Force untuk mendatangkan tenaga ahli dan membantu Philippines Coast Guard (PCG) mengatasi insiden tumpahan minyak tersebut agar tidak menyebar luas. Dengan pendanaan dari USAID, dua petugas dari US National Oceanic and Atmospheric Administration (US NOAA) didatangkan untuk membantu Kementerian Lingkungan Hidup Filipina dalam menghitung kerugian dan dampak lingkungan yang ditimbulkan, melalui penyediaan citra satelit yang dimilikinya. Pencarian badan kapal MT Princess Empress yang tenggelam dilakukan dengan menggunakan Remotely Operated Underwater Vehicle (ROV) yang disediakan oleh Pemerintah Jepang. USAID bekerjasama dengan World Food Program memberikan bantuan bagi masyarakat pesisir yang terdampak dengan menyediakan 20.000 paket makanan. Badan antariksa Filipina (PhillSA) setiap hari menganalisis tren tumpahan minyak dengan mengumpulkan citra satelit dari berbagai sumber. PCG memberikan informasi terbaru kepada publik mengenai langkah-langkah penanganan tumpahan minyak yang telah dilakukan melalui media sosial secara resmi sehingga masyarakat dapat mengetahui perkembangan langkah nyata pemerintah dalam menyelamatkan kelestarian lingkungan akibat insiden tumpahan minyak. 

Dengan semua penanganan yang serius seperti yang telah dilakukan oleh Pemerintah Filipina di atas pun masih terdapat potensi dampak buruk jangka panjang dari tumpahan minyak tersebut berupa penurunan stok ikan dan keanekaragaman hayati di laut. Temuan dari University of the Philippines-Marine Science Institute menyatakan bahwa tumpahan minyak telah menyebar sejauh 36.000 hektar ke wilayah tangkapan ikan.

Berikut ini tabel yang berisi rangkuman perbandingan penanganan tumpahan aspal dari MT AASHI di Indonesia dan tumpahan minyak dari MT PRINCESS EMPRESS di Filipina hingga saat ini.

No.

Parameter

Insiden Tumpahan MT AASHI

Insiden Tumpahan MT PRINCESS EMPRESS

1

Jenis Tumpahan/Muatan

Aspal/Bitumen

Minyak Mentah

2

Lokasi / Waktu

Pulau Nias, Indonesia /
10 Februari 2023

Mindoro, Filipina /
28 Februari 2023

3

Ukuran Kapal

3.711 GT

508 GT

4

Volume Tumpahan

3.595 metrik ton atau 3.000.000 liter

800.000 liter

5

Jarak Lokasi Tumpahan dari Pantai

300 meter

7.000 meter

6

Penerima manfaat (beneficial owner)

AASHI SHIPPING INC.

Tidak diketahui

7

Dukungan Kerjasama Dengan Pemerintah Negara Lain

Tidak ada informasi

Amerika Serikat: US Coast Guard (USCG), US NOAA, USAID

Jepang: Japan Coast Guard (JCG)

8

Dukungan Penanganan Tumpahan dari Universitas dan Lembaga Pemerintah

Tidak ada informasi

University of the Philippines-Marine Science institute, Philippines Space Agency (PhilSA)

9

Lembaga Pemerintah yang in-charge di Lokasi

Tidak ada informasi

Philippines Coast Guard (PCG)

10

Lembaga Pemerintah yang Bertanggung Jawab dalam Penanganan Insiden

Kementerian Kelautan dan Perikanan*, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan*

*perlu konfirmasi

PCG, Maritime Industrial Authority

11

Kawasan Keanekaragaman Hayati Terdampak

Kawasan Konservasi Nasional Sawo-Laweha, Nias Utara

Verde Island Passage

Tabel 3. Perbandingan Penanganan Insiden Tumpahan Aspal MT AASHI dan Tumpahan Minyak MT Princess Empress

Khusus terhadap insiden kapal MT AASHI, IOJI melakukan penelusuran lebih jauh terhadap kapal ini dan ditemukan fakta-fakta sebagai berikut:

  1. Kapal ini diketahui dimiliki oleh AASHI SHIPPING INC. yang beralamat di 80, Broad Street, Monrovia, Liberia. Alamat dimaksud adalah alamat palsu yang telah digunakan oleh berbagai perusahaan cangkang (shell company).
  2. Nama MT AASHI adalah nama ketujuh sejak tahun 2009. Nama kapal ini sebelumnya adalah sebagai berikut

    Nama Kapal

    Dari

    Hingga

    Rising Phoenix

    sebelum 15 Juni 2020

    sebelum 5 Juli 2022

    Reem 6

    sebelum 15 Januari 2020

    sebelum 14 Juni 2020

    Onyx 7

    sebelum 14 Oktober 2019

    sebelum 14 Januari 2020

    Ace Bitumen 1

    sebelum 20 Juni 2018

    sebelum 13 Oktober 2019

    Suria Maju

    sebelum 16 November 2016

    sebelum 19 Juli 2018

    Arcturus

    sebelum 24 Januari 2009

    sebelum 15 November 2016

  3. Berdasarkan informasi dari Lloyds Intelligence operator terakhir kapal MT AASHI adalah Aurum Ship Management FZC (20 Juni 2018 sampai dengan 5 Juli 2022). Perusahaan Aurum Ship Management FZC adalah entitas yang diberikan sanksi oleh US OFAC (Office of Foreign Assets Control) karena terlibat dalam mendukung kelompok Houthi di Yemen (https://home.treasury.gov/news/press-releases/jy0603).
  4. Berdasarkan informasi yang ada, disebutkan bahwa MT AASHI berkebangsaan Gabon. Saat ini belum diketahui apakah dokumen certificate of registry kapal MT AASHI sudah diamankan bersamaan dengan kru kapal atau tenggelam bersamaan dengan karamnya kapal. Apabila telah diamankan, verifikasi keaslian dokumen perlu segera dilakukan. Dalam sebuah pemberitaan disebutkan, “Kapten Kapal menjelaskan Kapal Tanker yang terdampar bernama MT AASHI dengan Nomor IMO 9516715 OFFICIAL NO. 393684 OFFICIAL NO. 290234 REGISTER GABON dengan Jumlah Kru/Abk Kapal sebanyak 20 orang terdiri dari : – 1 (satu) orang Kapten dan 19 ABK Kapal berkewarganegaraan INDIA.”. Hasil verifikasi nomor registrasi yang disebutkan dalam pemberitaan tersebut yaitu “393684” dan “290234” pada situs http://www.intershippingservices.com/verification.php adalah “NO REGISTRATION FOUND BY THAT NUMBER.
  5. Berdasarkan penelusuran terhadap 12 situs P&I (Protection and Indemnity)/perusahaan asuransi, ditemukan fakta bahwa kapal MT AASHI tidak diasuransikan
    Hal ini berpotensi menyulitkan proses ganti rugi atas pencemaran yang terjadi.

    Pasal VII paragraf 1 International Convention on Civil Liability for Oil Pollution Damage (CLC) mengatur bahwa pemilik kapal yang membawa muatan minyak lebih dari 2.000 ton wajib untuk mengasuransikan kapalnya.

Analisis: Pencemaran Laut

Secara umum UNCLOS mengatur kewajiban setiap negara untuk melindungi dan menjaga lingkungan laut. Hak negara untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi sumber daya alam di wilayah kedaulatan dan yurisdiksinya tentu harus dilaksanakan sejalan dengan kewajiban negara untuk melindungi dan menjaga lingkungan laut serta kebijakan perlindungan lingkungan.

Kewajiban ini kemudian diatur secara lebih rinci oleh UNCLOS, yaitu:

  1. Kewajiban bagi seluruh negara, baik secara sendiri maupun bersama-sama untuk mengambil segala langkah yang diperlukan untuk mencegah, mengurangi dan mengendalikan pencemaran terhadap lingkungan laut yang bersumber dari manapun dengan menggunakan cara-cara praktik terbaik sesuai dengan kemampuannya.
  2. Kewajiban bagi seluruh negara untuk mengambil segala langkah yang diperlukan untuk memastikan bahwa aktivitas-aktivitas yang terjadi di wilayah laut yang berada di bawah yurisdiksinya tidak menimbulkan kerusakan dan polusi, dan dalam hal pencemaran tidak dapat dihindari, maka negara wajib untuk berupaya maksimal agar polutan tidak menyebar ke wilayah laut negara lain.
  3. UNCLOS menyebutkan beberapa bentuk pencemaran yang harus dicegah semaksimal mungkin oleh negara, di antaranya (i) pelepasan zat beracun dan berbahaya terutama zat-zat yang bersifat persisten dari darat, udara maupun dari aktivitas dumping  (ii) pencemaran dari kapal, baik karena kecelakaan atau keadaan darurat, karena pembuangan zat tertentu yang disengaja maupun tidak disengaja, karena desain dan konstruksi kapal dan pengawakan; (iii) pencemaran dari instalasi dan peralatan yang digunakan dalam kegiatan eksplorasi atau eksploitasi sumber daya alam di dasar laut; (iv) pencemaran dari instalasi atau peralatan lainnya yang dioperasikan di laut.

Mengenai pencemaran dari dumping, dalam kaitannya dengan kapal ALESSA di atas, UNCLOS mewajibkan negara untuk mengatur dan mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk mencegah, mengurangi dan mengendalikan kegiatan dumping. Negara wajib mengatur melalui instrumen hukum nasional agar kegiatan dumping harus mendapatkan izin terlebih dahulu dari pemerintah. 

Penegakan hukum terhadap kegiatan dumping dapat dilaksanakan baik oleh negara bendera, negara pelabuhan Pasal 218 UNCLOS, maupun negara pantai. Apabila suatu negara melaksanakan investigasi terhadap kapal asing dalam kaitannya dengan pencemaran laut, UNCLOS mengatur bahwa investigasi dilaksanakan terbatas pada pemeriksaan dokumen-dokumen kapal. Pemeriksaan fisik kapal dapat dilaksanakan jika terdapat indikasi bahwa: (i) kondisi kapal sebenarnya termasuk peralatan-peralatannya tidak sesuai dengan informasi yang tercantum dalam dokumen-dokumen kapal; (ii) isi dari dokumen-dokumen yang diperiksa tidak cukup untuk mengkonfirmasi atau memverifikasi pelanggaran yang terjadi; (iii) kapal tidak membawa dokumen-dokumen yang valid.

Terdapat beberapa peraturan perundang-undangan yang terkait langsung dengan penanganan tumpahan minyak di Indonesia antara lain:

  1. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran (“UU 17/2008”) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 6 tahun 2023 tentang Cipta Kerja (“UU 6/2023”);
  2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (“UU 32/2009”) sebagaimana telah diubah dengan UU 6/2023;
  3. Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2010 tentang Perlindungan Lingkungan Maritim (“PP 21/2010”);
  4. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan (“UU 32/2014”) sebagaimana telah diubah dengan UU 6/2023;
  5. Peraturan Presiden Nomor 109 Tahun 2006 tentang Penanggulangan Keadaan Darurat Tumpahan Minyak di Laut (“Perpres 109/2006”). Perpres 109/2006 ini membentuk Tim Nasional Penanggulangan Keadaan Darurat Tumpahan Minyak di Laut yang diketuai oleh Menteri Perhubungan dan Wakil Ketua adalah Menteri Negara Lingkungan Hidup (sekarang bernama Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan).
  6. Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 58 Tahun 2013 tentang Penanggulangan Pencemaran di Perairan dan Pelabuhan (“Permenhub 58/2013”);
  7. Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KP. 355 Tahun 2008 tentang Pusat Komando dan Pengendalian Nasional Operasi Penanggulangan Keadaan Darurat Tumpahan Minyak di Laut (“Kepmenhub 355/2008”);
  8. Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 263 Tahun 2020 Tentang Prosedur Penanggulangan Keadaan Darurat Tumpahan Minyak (tier 3) di Laut (“Kepmenhub 263/2020”).

Kepmenhub 263/2020 telah mengatur secara rinci hal-hal apa yang harus dilakukan dalam hal terjadi keadaan darurat tumpahan minyak. Khusus mengenai tumpahan aspal dari kapal MT AASHI, tim nasional harus segera mengambil alih penanganan tumpahan aspal yang terjadi di perairan Pulau Nias dari sisi pembersihan dan pemulihan lingkungan, penegakan hukum, perhitungan kerugian dan gugatan ganti rugi berdasarkan Kepmenhub 263/2020.

Berkenaan dengan pelepasan zat pencemar baik yang disengaja maupun karena kelalaian sebagaimana telah diuraikan di atas, terdapat beberapa pasal pemidanaan yang dapat diterapkan antara lain:

  1. Pasal 325 UU 17/2008 jo. UU 6/2023, yang berbunyi:
    • Setiap orang yang melakukan pembuangan limbah air balas, kotoran, sampah atau bahan lain ke perairan di luar ketentuan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
    • Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan rusaknya lingkungan hidup atau tercemarnya lingkungan hidup dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
    • Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kematian seseorang dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah).
  1. Pasal 98 UU 32/2009 jo. UU 6/2023, yang berbunyi:
    • Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
    • Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang luka dan/atau bahaya kesehatan manusia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling sedikit Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan paling banyak Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah).
    • Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang luka berat atau mati, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah);
  1. Pasal 99 UU 32/2009 jo. UU 6/2023, yang berbunyi:
    • Setiap orang yang karena kelalaiannya mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
    • Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang luka dan/atau bahaya kesehatan manusia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan paling banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).
    • Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang luka berat atau mati, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 9 (sembilan) tahun dan denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp9.000.000.000,00 (sembilan miliar rupiah);
  1. Pasal 104 UU 32/2009 jo. UU 6/2023, yang berbunyi:
    • Setiap orang yang melakukan dumping limbah dan/atau bahan ke media lingkungan hidup tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

Dalam hal terdapat sebuah perbuatan yang diatur dalam beberapa Undang-Undang,  Pasal 63 KUHP menyatakan bahwa:

  1. Jika suatu perbuatan masuk dalam lebih dari satu aturan pidana, maka yang dikenakan hanya salah satu di antara aturan-aturan itu; jika berbeda-beda, yang dikenakan yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat.
  2. Jika suatu perbuatan masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang diterapkan.

Dalam konteks pencemaran laut dari kapal, Pasal 63 ayat (1) KUHP memberikan petunjuk penerapan undang-undang yang lebih jelas dibandingkan Pasal 63 ayat (2) KUHP. Penggunaan Pasal 63 ayat (2) KUHP dalam konteks UU 32/2009 dan UU 17/2008 tidak menghasilkan jawaban yang konklusif karena kedua Undang-Undang tersebut sama-sama berkedudukan sebagai “Undang-Undang yang lebih khusus” (lex specialis).

UU 32/2009 dan UU 17/2008 sama-sama merupakan lex specialis karena mengatur secara spesifik dan terpisah dari KUHP pemidanaan terhadap perbuatan mencemari laut. Edward O.S. Hiariej menyebutkan bahwa, “dalam perkembangan ilmu hukum, termasuk hukum pidana, asas lex specialis derogat legi generali [seringkali] tidak bisa menyelesaikan sengketa yuridis bilamana terjadi suatu perbuatan yang diancam lebih dari satu undang-undang yang dikualifikasikan sebagai hukum pidana khusus. Jika demikian halnya, maka yang digunakan adalah lex specialis systematische sebagai derivat atau turunan dari asas lex specialis derogat legi generali”.

Pun demikian, lex specialis systematische juga tidak dapat memberikan jawaban yang jelas karena kedua undang-undang tersebut sama-sama memenuhi 3 (tiga) indikator lex specialis systematische yaitu: (i) ketentuan pidana materiil dalam undang-undang tersebut menyimpang dari ketentuan umum (KUHP) yang ada; (ii) undang-undang tersebut mengatur hukum pidana formil yang juga menyimpang dari ketentuan acara pidana (KUHAP) pada umumnya; dan (iii) adressat atau subjek hukum dalam undang-undang tersebut bersifat khusus (dalam hal ini kedua Undang-Undang menggunakan adressat “setiap orang”).

Pada praktiknya, tidak tertutup kemungkinan penyidikan dan penuntutan menggunakan berbagai undang-undang. Hal ini lazim diterapkan oleh jaksa untuk mencegah lepasnya terdakwa dari jerat hukum.

Kesimpulan

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut:

  1. Kegiatan kapal ikan Vietnam dan VFRS di area sengketa dan non-sengketa di Laut Natuna Utara (LNU) masih terjadi. Perjanjian garis batas ZEE Indonesia dan Vietnam yang diberitakan telah disepakati pada Desember 2022 tidak merubah situasi ini di LNU.
  2. Dengan maraknya intrusi kapal asing di LNU, kapal ikan Indonesia “terdesak” ke arah selatan, sehingga kehilangan kesempatan untuk memanfaatkan sumber daya ikan di wilayah ZEE Indonesia terutama di area yang berada dekat dengan garis landas kontinen Indonesia dan Vietnam.
  3. Aktivitas kapal ikan Vietnam dan VFRS merupakan bukti bahwa Pemerintah Vietnam tidak melaksanakan kewajibannya sebagai negara bendera kapal (flag State responsibility) dan telah melanggar kewajiban “due regard” dan “good faith” sebagaimana diatur oleh UNCLOS.
  4. Pencemaran laut akibat tumpahan minyak dari kapal terdeteksi sangat marak terjadi di selat Singapura, perairan sebelah timur Johor (Malaysia), perairan Pulau Bintan sampai ke Laut Jawa.
  5. Beberapa aktivitas sumber pencemaran adalah: (i) kegiatan ship to ship transhipment di perairan sebelah timur Johor, Malaysia yang sering mencemari pantai-pantai di Pulau Bintan, kepulauan Riau; (ii) tumpahan minyak dari kapal bernama ALESSA di sebelah timur Pulau Simeulue, Sumatera Utara pada 7 Maret 2023; dan (iii) tumpahan aspal dari MT AASHI di perairan Pulau Nias, Sumatera Utara.
  6. Hingga tanggal 20 Maret 2023, citra satelit menunjukkan bahwa aspal masih terus keluar dari kapal MT AASHI yang sudah karam di perairan Pulau Nias. Penanganan tumpahan aspal dari MT AASHI yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia dan perwakilan pemilik kapal masih belum maksimal dan cenderung lambat, apalagi bila dibandingkan dengan penanganan tumpahan minyak oleh Pemerintah Filipina di perairan Mindoro.
  7. Tim Nasional sebagaimana diatur dalam Perpres 109/2006 perlu mengambil alih penanggulangan tumpahan aspal dari MT AASHI di Pulau Nias dan melaksanakan ketentuan penanganan keadaan darurat tumpahan minyak sebagaimana diatur dalam Kepmenhub 263/2020;
  8. Pemerintah Indonesia dapat melaksanakan penegakan hukum pidana terhadap pencemaran laut dari kapal dengan menggunakan ketentuan pidana dalam UU 32/2009 sebagaimana telah diubah dengan UU 6/2023 dan UU 17/2008 sebagaimana telah diubah dengan UU 6/2023.

Rekomendasi

IOJI merekomendasikan kepada Pemerintah Indonesia agar:

  1. Segera memublikasikan titik-titik koordinat batas ZEE Indonesia dan Vietnam sesuai kesepakatan pada Desember 2022;
  2. Mempercepat penguatan sarana dan prasarana untuk pengamanan laut di Natuna yang merupakan salah 1 major project dalam RPJMN 2020 – 2024 dan salah satu kegiatan dalam Rencana Kerja Pemerintah tahun 2023 sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 108 Tahun 2022. Hal ini sangat diperlukan untuk memastikan continuous presence kapal pemerintah Indonesia di batas terluar ZEE Indonesia di LNU;
    Tangkapan layar dokumen RPJMN 2020-2024 khususnya mengenai major project Penguatan Keamanan Laut di Natuna.
  3. Mengambil langkah hukum terhadap Pemerintah Vietnam dalam kaitannya dengan operasi kapal-kapal ikan Vietnam dan kapal-kapal Vietnam Fisheries Resources Surveillance di area sengketa dan area non-sengketa LNU melalui mekanisme penyelesaian sengketa yang diatur dalam Pasal 287 UNCLOS;
  4. Bekerjasama dengan Malaysia dan Singapura untuk menindak kapal-kapal yang melakukan pencemaran laut akibat kegiatan ship to ship transhipment di perairan timur Johor, Malaysia sehingga pencemaran lintas negara dari kapal-kapal yang melakukan ship to ship transhipment dimaksud yang mencemari perairan dan pantai di Pulau Bintan dapat dikurangi;
  5. Melakukan proses hukum terhadap kapal ALESSA yang terdeteksi mencemari laut tepatnya di perairan sebelah timur Pulau Simeulue pada tanggal 7 Maret 2023;
  6. Tim Nasional sebagaimana diatur dalam Perpres 109/2006 agar segera mengambil alih penanggulangan tumpahan aspal dari MT AASHI di Pulau Nias dan melaksanakan ketentuan penanganan keadaan darurat tumpahan minyak sebagaimana diatur dalam Kepmenhub 263/2020 yaitu pembersihan dan pemulihan lingkungan, penegakan hukum, perhitungan kerugian dan gugatan ganti rugi;
  7. Tim Nasional dengan bekerjasama dengan berbagai instansi yang relevan, termasuk namun tidak terbatas pada INTERPOL melalui Divisi Hubungan Internasional POLRI, negara bendera kapal MT AASHI, negara pelabuhan asal MT AASHI sebelum karam di Indonesia dan pihak-pihak lain, melakukan verifikasi keabsahan dokumen kapal MT AASHI, dan menelusuri siapa dan dimana pemilik sebenarnya kapal MT AASHI termasuk pihak-pihak penerima manfaat dari aktivitas kapal MT AASHI;
  8. Berkaca pada penanganan kasus MT AASHI, seluruh Pemerintah Daerah di Indonesia harus membentuk dan memastikan kesiapsiagaan Tim Daerah Penanggulangan Keadaan Darurat Tumpahan Minyak sebagaimana dimaksud dalam Kepmenhub 263/2020. Dalam kaitannya dengan hal ini Tim Nasional perlu secara proaktif dan berkala memberikan bimbingan teknis kepada seluruh Pemerintah Daerah di Indonesia agar kesiapsiagaan Tim Daerah dapat dijaga pada tingkat optimal.

Share: