[Siaran Pers] Mahkamah Konstitusi: Pelaut Migran adalah Pekerja Migran Indonesia

Jakarta, 3 Desember 2024 – Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) mengapresiasi Mahkamah Konstitusi (MK) atas Putusan Perkara Nomor 127/PUU-XXI/2023 terkait uji materi Pasal 4 ayat 1 huruf c Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (UU 18/2017) yang melindungi Pelaut dan Awak Kapal Migran Indonesia. 

MK menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya, yang pada intinya ingin mengecualikan pelaut awak kapal dan pelaut perikanan migran (keduanya selanjutnya disebut ‘Pelaut Migran’), dari rezim hukum pelindungan pekerja migran Indonesia (PMI) yang didasarkan pada UU 18/2017. 

Awak kapal dan pelaut perikanan juga diakui sebagai bagian dari pekerja migran dengan maksud untuk memberikan pelindungan penuh bagi mereka dalam memenuhi hak-haknya sebagai pekerja migran,” demikian pertimbangan Hakim Konstitusi. Dengan demikian, pengakuan hukum sebagai PMI merupakan prasyarat untuk memenuhi hak-hak konstitusional dari setiap Pelaut Migran, termasuk hak memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak.

Pertimbangan MK di atas sejalan dengan posisi Pemerintah Indonesia di tingkat internasional dan kawasan. Indonesia telah meratifikasi International Convention on the Rights of Migrant Workers and Members of their Families (‘ICRMW’) pada tahun 2012 dan mendomestikasi konvensi ini melalui pengundangan UU 18/2017. Pasal 2 paragraf 2 (c) ICRMW memasukkan pelaut sebagai bagian dari pekerja migran. 

Di tingkat kawasan, kepemimpinan Indonesia dalam ASEAN pada tahun 2023 telah memastikan pengadopsian ASEAN Declaration on the Placement and Protection of Migrant Fishers. Dalam Deklarasi ini, awak kapal perikanan migran diakui sebagai pekerja migran dan memiliki hak yang sama seperti pekerja migran di darat. 

MK lebih lanjut berpandangan bahwa pelindungan Pelaut Migran dalam UU 18/2017 secara prinsip sejalan dengan konvensi internasional, termasuk ICRMW dan Maritime Labour Convention (MLC) 2006. Pelindungan ini meliputi hak-hak dasar pekerja, kondisi kerja yang aman, jaminan sosial, serta hak-hak lain.

Dalam rangka menindaklanjuti Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017, Pemerintah Indonesia mengadopsi dan mengharmonisasikan hak-hak dan standar pelindungan internasional bagi pelaut migran sebagaimana didasarkan pada ICRMW, MLC, dan ILO C-188 ke dalam norma-norma Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2022 tentang Penempatan dan Pelindungan Awak Kapal Niaga Migran dan Awak Kapal Perikanan Migran. Kedepannya, melalui ratifikasi ILO C-188, posisi tawar Pemerintah Indonesia akan lebih kuat sewaktu bernegosiasi dengan negara tujuan penempatan atau negara bendera dalam memastikan penghormatan dan pelindungan hak-hak AKP Migran sesuai standar ILO C-188” ujar Mas Achmad Santosa, Chief Executive Officer IOJI.

MK juga berpendapat bahwa dualisme perizinan penempatan Pelaut Migran telah berakhir dengan diundangkannya PP 22/2022. Dualisme ini telah menyulitkan instansi pemerintah di tingkat pusat, daerah, dan desa dalam mengawasi penempatan Pelaut Migran serta instansi penegak hukum dalam upaya penegakan hukum terhadap eksploitasi dan pelanggaran HAM sepanjang migrasi Pelaut Migran.

Secara khusus, MK menegaskan kewajiban perusahaan penempatan Pelaut Migran untuk mengikuti persyaratan perizinan dalam UU 18/2017 dan PP 22/2022. “Ketentuan Pasal 43 dan Pasal 45 PP 22/2022 telah menentukan bahwa Surat Izin Usaha Perekrutan dan Penempatan Awak Kapal (SIUPPAK), yang sebelumnya diwajibkan dimiliki oleh perusahaan penempatan awak kapal, dialihkan menjadi Surat Izin Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (SIP3MI), sehingga perusahaan perekrut dan penempatan awak kapal yang telah memiliki SIUPPAK wajib melakukan penyesuaian dengan SIP3MI.

Putusan MK ini menjadi momentum yang tepat untuk penguatan tata kelola pelindungan Pelaut Migran. “Dalam rangka memfasilitasi terbentuknya koridor migrasi yang aman bagi Pelaut Migran, Pemerintah harus memastikan pengembangan dan harmonisasi kebijakan terkait pelindungan Pelaut Migran dalam berbagai tingkatan, dimulai dari nasional, daerah, desa hingga bilateral, kawasan, bahkan multilateral. Kebijakan prioritas yang perlu diambil adalah revisi UU 18/2017, pengembangan peraturan teknis menindaklanjuti PP 22/2022, pembentukan mekanisme koordinasi antara instansi pemerintah di berbagai tingkat, dan peningkatan kerjasama bilateral.” ujar Jeremia Humolong Prasetya, Peneliti IOJI.

Pertama, kejelasan posisi pembuat kebijakan dan pelaksana kebijakan pelindungan PMI pasca terbentuknya Kementerian Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (Kementerian P2MI). Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 165 Tahun 2024 (Perpres 165/2024), salah satu fungsi Kementerian P2MI adalah perumusan dan penetapan kebijakan terkait pelindungan PMI. Pasal 45 UU 18/2017 mengatribusikan tugas ini kepada Kementerian Ketenagakerjaan. Maka, ketentuan Pasal 45 dan pasal-pasal lain terkait Kementerian Ketenagakerjaan dalam UU 18/2017 harus direvisi.

Kedua, peraturan teknis yang menindaklanjuti UU 18/2017 dan PP 22/2022 untuk mengatur bentuk-bentuk pelindungan yang lebih rinci di seluruh tahapan migrasi Pelaut Migran. Selain itu, peraturan teknis ini juga diharapkan dapat memberikan proses bisnis penempatan Pelaut Migran yang bertanggung jawab sesuai dengan prinsip-prinsip dan norma pelindungan HAM dalam UU 18/2017 dan PP 22/2022.

Ketiga, pentingnya meningkatkan efektivitas kelembagaan pelindungan Pelaut Migran. “UU 18/2017 mengamanatkan pendekatan multi institusi (whole-of-government approach) dalam pelindungan PMI. Sesuai fungsinya dalam Perpres 165/2024, Kementerian P2MI harus membentuk mekanisme koordinasi antar semua instansi di tingkat pusat, daerah, sampai tingkat desa serta memastikan masing-masing menjalankan tugas dan tanggung jawabnya sesuai dengan norma UU 18/2017 dan PP 22/2022,” ujar Tasya Nur Ramadhani, Peneliti IOJI. 

Terakhir, pelindungan Pelaut Migran tidak mungkin terlaksana tanpa kerjasama internasional yang kuat. Hal ini terutama dikarenakan kompleksitas yurisdiksi hukum atas operasi kapal bendera asing tempat Pelaut Migran bekerja. Dalam konteks AKP migran Indonesia, berbagai laporan resmi menunjukkan bahwa mayoritas dari mereka bekerja di kapal ikan jarak jauh (distant water). Operasi kapal-kapal ini bersifat lintas negara dan melibatkan banyak yurisdiksi berdasarkan bendera kapal, domisili dan kewarganegaraan operator dan manning agent, zona maritim yang dilalui kapal tersebut, serta kewarganegaraan AKP migran. 

Maka, sewaktu terjadi pelanggaran hak pekerja di atas kapal, Pemerintah RI akan kesulitan untuk mengidentifikasi dan mengejar pertanggungjawaban hukum dari pelaku kejahatan, apalagi ultimate beneficial owner dari kapal-kapal tersebut, ujar Harimuddin, Penasihat Senior IOJI. 

Kedepannya, Kementerian P2MI bersama Kementerian Luar Negeri perlu meningkatkan perumusan perjanjian bilateral dengan negara-negara tujuan utama dari Pelaut Migran. Negara-negara ini meliputi negara bendera, negara pelabuhan, negara transit, dan negara pantai yang umumnya dikunjungi kapal-kapal bendera asing tersebut. Perjanjian bilateral ini juga dapat meningkatkan daya tawar Pemerintah Indonesia dalam pemenuhan hak-hak asasi maupun perburuhan, seperti kondisi kerja yang layak di atas kapal, standardisasi gaji, jaminan sosial, penyelesaian masalah, dan repatriasi yang aman. 

Narahubung: Jeremia Humolong Prasetya – Program Manager (jeremiahp@oceanjusticeinitiative.org)
Download PDF


*IOJI merupakan Pihak Terkait dalam perkara ini, beserta 6 (enam) serikat pekerja dan 2 (dua) kelompok masyarakat sipil lain, yang tergabung dalam Tim Advokasi Pelaut Migran Indonesia (TAPMI).